Ortegaza Gangster

I'm devil from deep hell....! Keep out from me...?


Al Hadist
 

Hadist Dan Hubungannya dengan Al Qur'an
·        Pengertian Hadist
·        Bentuk-Bentuk Hadist
·        Kedudukan dan Fungsi Hadist
·        Perbandingan Hadist, Hadist Qudsi dan Al Qur'an
 

Pengertian hadist
Kata "Hadist" atau al hadist menurut bahasa berarti al jadid(sesuatu yang baru), lawan kata dari al qadim (sesuatu yang lama). Kata hadist juga berarti al-khabar(berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya ialah al ahadist.
Dari sudut pendekatan kebahasaan ini, kata Hadist dipergunakan, baik dalam AL Qur'an maupun Hadist itu sendiri Dalam al Qur'an misalnya dapat dilihat pada surah Ath Thur ayat 34, surat al Kahfi ayat 6 dan Adh-Dhuha ayat 11. Kemudian pada Hadist dapat dilihat pada beberapa sabda Rasul SAW, diantaranya dari Zaid bin Tsabit riwayat Abu Dawud,At-Tirmidzi dan Ahmad yang menjelaskan do'a Rasulullah SAW thd orang yang menghapal dan menyampaikan suatu HAdist daripadanya (lihat Sunan Abu Dawud Jilid II ,Beirut,1990M/1410H hlm 179).
Secara terminologis, ahli Hadist dan ahli Ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian ttg Hadist. Dikalanagan ulama ahli Hadist sendiri ada beberpa definisi yang antara satu sama lainnya agak berbeda. misalnya :
"Segala perkataan Nabi SAW,perbuatan dan hal ikhwalnya".
yang termasuk hal ikhwal ialah segala pemberitaan ttg Nabi SAW,seperti yang berkaitan dengaan himmah,karakteristik,sejarah,kelahiran dan kebiasaan kebiasaannya. Ulama ahli hadist lainnya merumuskan dengan :
"Segala sesuatu yang bersumber dari NAbi SAW,baik berupa perkataan,perbuatan,taqrir,maupun sifatnya" (Muhammad Ash Shabag hlm 14)
Ada juga yang mendefinisikan dengan :
"Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan,perbuatan,taqrir,maupun sifatnya" (al-Qasimi hlm 16 dan At Tirmizi,Manhaj Dzawi an Nazhar,Dar al-Fikr,Beirut,1974 hlm 8)
Sementara itu para ahli Ushul memberikan definisi Hadist yang lebih terbatas dari rumusan diatas. Menurut mereka Hadist adalah:
"Segala perkataan nabi SAW yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".
(Ajjaj al Khatib, Ushul,hlm 27)
Dengan pengertian ini,segala perkataan atau aqwal Nabi SAW yang tidak ada relevansinya dengan hukum atau tidak mengandung missi kerasullannya,spt ttg cara berpakaian, berbicara,tidur,makan,minum atau segala hal yang menyangkut hal ikhwal Nabi,tidak termasuk Hadist.
Selain istilah Hadist terdapat istilah Sunnah,Khabar dan Atsar. Terhadap ketiga istilah tersebut diantara para ulama ada yang sependapat ada juga yang berbeda pendapat seperti :
Pengertian Sunnah
Menurut bahsa Sunnah berarti :
"Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelek" (Nur Ad-din 'Atar,Manhaj an Naqdi di'Ulum al Hadist hlm 27)
"Jalan yang dijalani baik yang terpuji atau tercela" ada juga "Jalan yang lurus atau benar"
Berkaitan dengan pengertian dari sudut kebahasaan ini, Rasulullah bersabda dalam suatu hadist lihat di (Shahih Muslim Syarah An-Nawawi, Juz II,Mathaba'ah al Misriyah,kairo 1349 hlm 705)
Berbeda dengan pengertian kebahasaan diatas,dalam al Qur'an kata sunnah mengacu pada arti"Ketetapan atau hukum Allah" hal ini dapat dilihat dalam Surat al kahfi ayat 55,al isra ayat 77,al anfal ayat 38,al Hijr ayat 13,al ahzab ayat 38,62,al Fathir ayat 43 dan Al Mukmin ayat 85.
Adapun sunnah menurut istilah sebagaimana dalam mendefinisikan hadist dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengartikannya sama dengan hadist, dan ada juga yang mengartikannya berbeda,bahkan ada yang memberikan syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadist. Pengertian sunna menurut ahli hadist :
"Segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan,perbuatan,taqrir,tabiat,budi pekerti,atau perjalanan hidupnya,baik sebelum diangkat menjadi Rasul,seperti ketika bersendiri di gua Hira maupun sesudahnya"(Abbas Mutawali Hamadh, As Sunnah An Nabawiyah wa Makanatuh di at-Tasyri' Dar al-Qaumiyah,kairo hlm 23)
Menurut pengertian ini kata sunnah berarti sama dengan kata hadist dalam perngertian terbatas atau sempit,sebagaimana dirumuskan oleh sebagian ulama ahli Hadist diatas. Dengan demikian jumlah Sunnah secara kuantatif jauh lebih banyak di banding kata sunnah menurut para ahli Ushul.
Para ulama yang medefinisikan Sunnah sebagaimana diatas,mereka memandang diri Rasul SAW sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Oleh karena itu mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima ttg diri Rasul SAW tanpa membedakan apakah yang diberitakan itu isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara' atau tidak. Begitu pula mereka tidak melakukan pemilahan untuk keperluan tersebut, apakah ucapannya atau perbuatannya itu dilakukan sebelum menjadi Rasul SAW atau sesudahnya. Dalam pandangan mereka apa saja tentang diri Rasul SAW sebelum atau sesudah diangkat menjadi Rasul adalah sama saja.
Pandangan demikian itu didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surat al-ahzab ayat 21 yang berbunyi :
"Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu)bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat, dan dia banyak menyebut nama Allah"
dalam surat as Syura ayat 52-53 juga disebutkan
Berbeda dengan ahli hadist,ahli ushul mendefinisikan Sunnah dengan:
"Segala sesuatu yang bersumber dari NAbi SAW selain al Qur'an al-Karim baik berupa perkataan,perbuatan,maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi penetapan hukum syara"
(Ajjaj al Khatib,Ushul hlm 19)
Definisi menurut ahli ushul tadi membatasi pegertian sunnah hanya pada suatu yang disandarkan atau yang bersumber dari Nabi SAW yang ada relevansinya dengan penetapan hukum syara'. Maka segala sifat perilaku,dejarah hidup dn segala seustau yang sandarannya kepada Nabi SAW yang tidak ada relevansinya dengan hukum syara' tidak dapat dikatakan Sunnah. Dengan definisi ini, secara kuantatif jumlah Sunnah lebih terbats jika dibandingkan dengan Jumlah Sunnah menurut ahli Hadist. Pengertian ahli Ushul tadi didasarkan pada argumentasi bahwa Rasulullah SAW adalah penentu atau pengatur undang-undang yang menerangkan kepada manusia tentang aturan-aturan kehidupan (dustur al-hayat), dan meletakan dasar2 metodologis atau kaidah-kaidah bagi para mujtahid yang hidup sesudahnya dalam menjelaskan dan menggali syariat islam. Maka segala pemberitaan tentang Rasul yang tidak mengandung atau tidak menggambarkan adanya ketentuan syara' tidak dapat dikatakan Sunnah. Hal ini mengacu pada beberapa ayat Al Qur'an antara lain surat Al Hasyr ayat 7 :
"...Apa yang diberikan Rasulullah SAW kepadamu,maka terimalah dia dan apa-apa yang dilarangnya bagimu,makatinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah,sesungguhnya Allah sangat keras Hukum-Nya"
Dalam surat an Nahl ayat 44 Allah menjelaskan bahwa al Qur'an diturunkan kepada NAbi SAW untuk dijelaskan kepada segenap manusia ttg segala isinya.
Adapun Sunnah menurut ahli Fiqh ialah :
"Segala ketetapan yang berasal dari Nabi SAW selain yang difardukan dan diwajibkan. Menurut mereka,sunnah merupakan salah satu hukum yang lima" (Musthafa as Siba'i ,As Sunnah wa makanatuha hlm 54)
Pengertian khabar dan Atsar
Kata khabar menurut bahasa adalah segala berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Dari sudut pendekatan bahasa ini kata khabar sama artinya dengan hadist. Menurut Ibn hajar al Asqalani, sebagaimana yang dikutip oleh as Suyuthi,ulama yang mendefinisikan Hadist secara luas memandang bahwa istilah hadist sama dengan khabar. keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang Marfu',mauquf dan Maqthu. (Jalal Ad-Din bin Abi bakar as Suyuthi, tadrib ar Rawi fi syarh taqrib an Nawawi Juz I hlm 42), demikian pula yang dikatakan Tirmizi. Ulama lain mengatakan khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW dedang yang datang dari NAbi SAW disebut Hadist. Ada juga yang mengatakan bahwa Hadist lebih umum dari khabar. Pada keduanya berlaku kaidah 'umumun wa khushnushun mutlaq, yaitu bahwa tiap2 hadist dapat dikatakan khabar tetapi tidak setiap khabar dikatakan hadist. (As Suyuthi)
ATSAR menurutkan pada pendekatan bahasa juga sama artinya dengan khabar,hadist dan sunnah (At Tirmizi).Sedangkan menurut istilah..disini terjadi perbedaan pendapat diantara ulama. Ahli hadist mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar. sedangkan menurut ulama khurasan bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang marfu' (Ajjaj al-Khatib,Ushul)
Bentuk-bentuk Hadist
Sesuai dengan definisi hadist maka bentuk hadist terbagi menjadi :
1. Hadist Qauli
Yang dimaksud Hadist Qauli ialah segal bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada nabi SAW. Dengan kata lain Hadist tersebut berupa perkataan Nabi yang berisi tuntutan,petunjuk Syara',peritiwa2,kisah-kisah,baik yang berkaitandengan akidah,syariah maupun akhlak.
2. Hadist Fi'li
Yang dimaksud dengan hadist Fi'li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan kata lain Hadist tersebut berupa perbuatan Nabi yang menjadi anutan prilaku para shahabat pada saat itu dan menjadi keharusan bagi semua ummat islam untuk mengikutinya.
3. Hadist Taqriri
Yang dimaksud dengan hadist taqriri ialah hadist yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang atau yang dilakukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan suatu perkara yang dilakukan oleh para shahabatnya,tanpa memberikan penegasan,apakah beliau membenarkan atau mempersalahkannya.
4. Hadist Hammi
Yang dimaksud dengan hadist hammi adalah hadist yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW yang belum terealisasikan seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 'Asyura.
5. Hadist Ahwali
Yang dimaksud dengan hadist ahwali ialah Hadist yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang tidak termasuk ke dalam kategori keempat bentuk diatas. Hadist yang termasuk kedalam golongan ini menyangkut sifat2 dan kepribadiannya serta keadaan fisiknya.
Kedudukan dan Fungsi hadist
1. Kedudukan Hadist
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadist sebagai sumber ajaran islam dapat dilihat beberapa dalil naqli dan aqli seperti dibawah ini :
a. Dalil Al Qur'an
Ali Imran ayat 32 :
"katakanlah! Taatilah Allah dan Rasul Nya jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir"
An Nisa ayat 59 :
"Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah,Rasul dan ulil amri diantara kamu sekalian.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu kembalilah kepada Allah dan Rasul,jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya."
Al Hasyr ayat 7 :
"..Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah,sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya".
dan masih banyak ayat2 lain seperti : An Nisa ayat 65 dan 80, Ali Imran ayat 31,An Nur 56,62 dan Al A'raf 158.
b. dalil Hadist Rasul SAW
Sabda Rasulullah SAW :
"Telah aku tinggalkan dua perkara pada kamu sekalian, tidak akan tersesat kamu sekalian selama berpegang teguh kamu sekalian kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya" (H.R Al-hakim dari Abu Hurairah)
"..Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunah-ku dan Sunah khulafa' ar rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.."(H.R Abu Dawud)
c. Ijma'
Ketika Abu Bakar di bai'at menjadi khalifah ia pernah berkata"Saya tidak meningglkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya"
pada saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata "Saya tahu bahwa engkau adalah batu.Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu,saya tidak akan menciummu"
pernah ditanyakan pada Abdullah bin Umar ttg salat safar dalam Al Qur'an. Ibnu Umar menjawab:"Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana Rasulullah SAW berbuat"
d. Sesuai dengan petunjuk akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat islam. Ini menunjukan adanya pengakuan bahwa nabi Muhammad membawa misi untuk menegakan amanat dari Allah yang telah mengangkatnya menjadi Rasul. Dengan demikian manifestasi dari pengakuan dan keimanan itu mengharuskan semua umatnya mentaati dan mengamalkan segala peraturan atau perundangan serta inisiatif beliau, baik yang atas bimbingan wahyu maupun hasil ijtihadnya sendiri.
2. Fungsi Hadist
Hadist berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) isi kandungan Al Qur'an. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat an Nahl ayat 44 :
"..Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada manusia.."
fungsi hadist sebagai penjelas ini bermacam2..yaitu :
a. Bayan at-Taqrir
Bayan at Taqrir disebut juga denga bayan at ta'kid dan bayan al itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menteapkan dan memperkuat apa yang diterangkan didalam al Qur'an.Fungsi hadist dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al Qur'an seperti surat al ma'idah ayat 6 ttg wudhu yang ditaqrir oleh hadist bukhari dari abu hurairah...
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai dua matakaki..."
"Rasulullah SAW bersabda: Tidak diterima shalat seseorang yang berhadast sebelum dia berwudhu"
b. Bayan at Tafsir
adalah penjelasan Hadist thd ayat2 yang memerlukan rincian atau penjelasan lebih lanjut.
c. Bayan at Tasyri'
artinya pembuatan,mewujudkan,atau menetapkan aturan atau hukum. maka maksudnya ialah penjelasan hadist yang berupa mewujudkan,mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan2 syara' yang didapati nashnya salam Al Qur'an.
d. Bayan an Nasakh
dalam mendefiniskan bayan an nasakh ini terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin. perbedaan ini terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami arti nasakh dari sudut kebahasaaan. menurut ulama mutaqaddimin bahwa yang disebut bayan an-nasakh ialah adanya dalil syara' yang datangnya kemuadian. Dari pengertian itu yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu.
Perbandingan antara Hadist,Hadist Qudsi dan Al Qur'an
Hadist Nabawi dengan Hadist Qudsi
Perbedaan antara Hadist nabawi dan Hadist Qudsi dapat dilihat pada sudut sandarannya,nisbatnya dan jumlah kuantitasnya.
Pertama dari sudut sandarannya,hadist Nabawi disandarkan kepada Nabi SAW sedangkan Hadist Qudsi disandarkan kepada Nabi SAW dan kepada Allah SWT. Pada Hadist Qudsi terdapat kata2 seperti: "Rasul SAW telah bersabda,sebagaimana yang diterima dari Tuhannya.." atau "Rasul SAW telah bersabda:"Allah SWT berfirman.."

Kedua dari sudut nisbahnya hadist nabawi di nisbahkan kepada Nabi SAW baik redaksi maupun maknanya, sedangkan Hadist Qudsi maknanya dinisbahkan kepada Allah SWT dan redaksinya kepada NAbi.
Ketiga dari sudut kuantitasnya jumlah Hadist Qudsi jauh lebih sedikit dari pada hadist Nabawi.
Hadist Qudsi dengan Al Qur'an
Al qur'an redaksi dan maknanya langsung dari Allah SWT sedangkan hadist Qudsi maknanya dari Allah SWT dan redaksinya dari NAbi SAW.
Al Qur'an merupakan bacaan yang diwajibkan dalam shalat Hadist qudsi tidak.
Hadist Qudsi ada derajat keshahihannya sedangkan al Qur'an dijamin oleh allah tidak ada perubahannya. dll
 

any comments and questions send to Az'kahfi

26 HADITS :
INTI SARI MAFAHIM ISLAMIYAH
Aziz Weliyanto, Ust.HMM FTFI

A. IFTITAH

            Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H) mengirim surat pada hakim Bashrah, Abu Musa Al-Asy’ari (w.62 H) : إِعْرِفِ اْلاَمْثَالَ وَاْلاَشْبَاهَ وَقِسِ اْلاُمُوْرَ بِنَظَاِئرِهَا    , “pahamilah persamaan dan keserupaan serta analogikanlah perkara-perkara itu, menurut kesamaannya.” (Ibnu Khaldun: Muqaddimah, Juz I:152). Dari surat khalifah al-Faruq inilah para Mujtahidin menggali kedalaman landasan filosofis bagi lahirnya kaedah agama dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, dikemudian hari, sehingga melahirkan kompilasi teori pemahaman (qawa’id al-fahm).
Tajuddin as-Shubki as-Syafi’i, misalnya mengatakan:
مَنْ رَاعَى اْلاُصُوْلَ كَانَ حَقِيْقًا بِاْلوُصُوُْلِ وَمَنْ رَاعَى اْلقَوَاعِدَ كَانَ خَلِيْقًا بِإِدْرَاكِ اْلمَقَاصِدِ
”Barangsiapa yang memelihara perkara-perkara pokok (ushuli), maka dia akan mencapai sasaran (hakiki). Dan barangsiapa yang memelihara qawa’id (formulasi), maka ia akan sampai pada tujuan.”
Mafahim Islamiyah adalah metodologi pemahaman keislamanan yang ditarik oleh para Mujtahidin dari hasil penelitian mereka terhadap tekstual & kontekstual wahyu (nushus). Kaedah ayat mereka kumpulkan dalam qawa’id tafsir, sedang cara memahami hadits mereka satukan dalam qawa’id tahdits. Kaedah-kaedah itu ada yang bersifat umum (qawa’id ‘amm), khusus (qawa’id khash). Ada yang global (ijmali) ada pula yang praktis (tafshili). Daqn semua itu terdapat dalam khazanah studi keislaman, klasik dan modern.
 Ruh ilmu keislaman bertumpu pada mafahim ini.  Ia mirip epistimologi dalam kajian filsafat ilmu. Ini karena sifatnya yang azasi dan sangat vital bagi semua kalangan dalam mengarahkan pemahaman (taujih al-fahm). Pemahaman mana kemudian berguna untuk menuntun pengamalan (الْعِلْمُ قَبْلَ الْعَمَلِ). Pemahaman yang tidak metodologis, sistemik dan prosedural berpotensi mengacau-balaukan pengamalan. Karenanya, jika pemahaman rusak, maka dapat dipastikan pengamalannya pun akan rusak.
Isinya adalah kumpulan peraturan, pedoman, prosedur umum dan tata pikir lainnya mulai dari persoalan universal (kulliyat) sampai partikular (juz’iyat), dari deduksi ke induksi, dari umum ke khusus atau dari mujmal (global) ke bayan (linier).
Mafahim ini berbicara tentang cara (way and method), system, guiedence material dan spritual yang berguna untuk memelihara esensi jiwa Islam (al-muhafadzah al-khamsah), supaya tetap berada dalam tuntutan Allah & Rasul-Nya. Terbebas dari distorsi pemikiran luar (ghazwul fikri), terjaga dari syirik dan penyakit TBC, takhayul-bid’ah dan khurafat.
B.  PEMAHAMAN UMUM (MAFHUM AL-‘AMM)
           
Imam an-Nawawi (631-676 H) dalam “Busthanu’l-‘Arifin”-nya mengumpulkan kaedah pemahaman tersebut sampai mencapai 26 hadits. Dari 26 hadits ini, mafahim Islam itu disusun dan dirumuskan secara tepat dan benar (2:229).
Hadits-1:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُاللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ ابْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Umar bin al-Khattab r.a meriwayatkan, Rasulullah s.a.w bersabda: Sesungguhnya setiap amalan itu bergantung kepada niat. Sesungguhnya setiap orang itu akan mendapat sesuatu mengikuti niatnya. Siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang berhijrah untuk mendapatkan dunia atau karena seorang perempuan yang ingin dikawininya,, dia akan mendapatkannya. Hijrah itu mengikuti apa yang diniatkan seseorang.” (HR. Bukhari, Bad’ul-wahyi:1, Iman:52; Muslim, Imarah:3530; Turmudzi, Fadha’il jihad:1571; Nasa’i, Thaharah:47, Thalaq:3373; Abu dawud, Thalaq:1882, Zuhud:4218; Ahmad, I:25,43, CD maushu’ah hadits).
Sebagaimana diketahui, niat adalah amalan batin. Sebagai amalan batin, letaknya di dalam hati sesuai kesepakatan Fikih Jumhur, tanpa ada talaffudz (pengucapan lisan). Kalaupun diucapkan (talaffudz), maka yang mengucapkan adalah bahasa hati, bukan lisan dengan cara diperdengarkan (jahr). Mengamalkan niat di luar kesepakatan Fikih Jumhur ini, adalah suatu penyimpangan pemahaman (Imam Badrudin al-Hanbali, Kitab Fatawa, Beirut:1986, 53-54).
Di samping untuk mengikhlaskan amal (tashfiyah ‘amal) dari perhatian makhluk, dilihat (riya’) dan melihat (namimah), nawaitu juga bertujuan untuk mendidik pengabdian agar tidak terjebak pada rutinitas sehingga terjangkiti kejenuhan atau keterpaksaan.
Disinilah arti penting keberadaan niat dalam semua amalan Islam, baik amalan bathin maupun amalan dhahir. Dengan tidak mengetahui makna dan hakekat niat, maka amalan orang itu batil, tanpa balasan dan ganjaran sama sekali, di dunia maupun di akhirat.
Hadits-II:
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌَّ
'Aisyah r.ah meriwayatkan, Rasulullah s.a.w bersabda: “Siapa yang mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan agama yang tidak terdapat dalam agama, maka dengan sendirinya ia akan tertolak.”
(HR. Bukhari,as-Shuluh:249; Muslim, Aqdhiyah:3242; Abu Dawud, As-Sunnah:3990; Ibnu Majah, Muqaddimah:14; Ahmad, VI:73,146, 180)
Dalam riwayat Muslim:
وفي الرِّواية الثَّانية: (مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)ّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amal, yang tidak ada contohnya dari kami, maka tertolak.”
Imam Nawawi  (Shahih Muslim, Juz XII: Kitab Aqdhiyah, p. 12) berkomentar:
Hadits diatas adalah merupakan kaedah yang sangat berarti dalam Islam. Maknanya mencakup totalitas sabda Nabi s.a.w. Lafadznya pun jelas dan terang, yaitu penolakan terhadap semua bid’ah dan setiap yang diada-adakan. Hadits pertama kerapkali menjadi dalil pembenar bagi sebagian pelaku bid’ah, dengan alasan apalogis, “saya bukan pembuat bid’ah.” Maka jawablah dengan hadits ke-2: “Hadits ini cukup jelas menolak setiap yang baru diada-adakan terlepas pelakunya itu dia sendiri atau pendahulunya.”
Hadits ini menguatkan thesis para ahli hukum, “larangan itu menunjukan rusaknya suatu perbuatan.” Yang lain menyebutkan sebaliknya, tidak rusak.” Mereka mengatakan hadits ini tidak cukup untuk menjadi argument.  Katakan padanya, ini jawaban yang sangat keliru dan sama bohongnya.
Hadits ini patut menjadi  perhatian. Ia dapat dipergunakan dalam menolak kemunkaran dan mematahkan dalil bagi mereka yang suka berapologia.”
Imam Ibnu Hajar menambahkan, dengan hadits ini kita menjadi tahu bahwa “tidak boleh melakukan suatu amal sebelum mengetahui kepastian hukumnya. Karena tidak jarang ketidaktahuan, mengosongkan niat. Bukankah hukum taklif itu juga tidak menimpa orang yang lalai.” (Fathul Bari’ (Syarah Shahih Bukhari), Juz I, Kitab Bad’ul Wahyi)
Dari hadits ini, kita menjadi tahu bahwa semua amalan Islam itu tegak di atas landasan ilmu, bukan tajhil, bukan pula taqlid.
Hadits-III:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Nu’man bin Basyir r.a meriwayatkan, aku mendengar Rasulullah s.a.w bersabda, -Nu’man memegang kedua belah telinganya-: “Sesungguhnya perkara halal itu jelas dan perkara haram itu pun jelas. Antara keduanya adalah perkara syubhat, yang tidak banyak diketahui oleh orang banyak. Siapa yang menjaga diri dari perkara syubhat, dia telah bebas (dari kecaman) untuk agamanya dan kehormatannya. Siapa yang terjerumus ke dalam syubhat, berarti dia telah terjerumus ke dalam perkara haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar kawasan larangan, maka kemungkinan besar binatangnya akan memasuki kawasan tersebut. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa (kerajaan), memiliki daerah terlarang. Ingatlah, sesungguhnya daerah yang terlarang milik Allah adalah apa saja yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan jika ia rusak, rusaklah pulalah seluruh tubuhnya, tidak lain itulah hati.”
(HR. Bukhari, Iman:50; Muslim, Musaqah:2996; Turmudzi, Buyu’:1126; Nasa’i,Buyu’:4377; Abu Dawud,Buyu’:2892; Ibnu Majah, Fitan:3974; Ahmad, Musnad Kufiyin:17624).
            Halal dan haram adalah hukum mu’amalah Islam yang berfungsi sebagai batas perhinggaan (hudud, 2:229-230). Sebagai pembatas, tentu saja kedua hukum ini menjadi syarat penentu yang jika tidak diindahkan akan menimbulkan civil efek yang merugikan semua pihak. Al-Qur’an menjadikannya sebagai ukuran bagi tegaknya sebuah peradaban, setelah keharmonisan hubungan suami-isteri (65:1). Qur’an juga menjadikannya sebagai bagian dari kriteria iman, setelah taubat, ibadat, menuntut ilmu, rukuk, sujud dan amar ma’ruf nahi munkar (58:4).
Menyimpang dari ketentuan hukum halal ini adalah sebuah pembangkangan secara terbuka terhadap Allah & Rasul (4:14). Merontokan sendi-sendi agama dan masyarakat (58:5,22). Termasuk kedzaliman, individual maupun kolektif (2:229; 65:1) yang membawa pada kehinaan (58:5) serta mendapat perkenan untuk diperangi atau dibebaskan dengan tidak mendapat proteksi apapun (9:29).
Hukum haram beririsi pantangan yang dibalik pelarangannya tersimpan sesuatu yang semestinya disucikan dan dijauhi. Kenapa dijauhi,  supaya kita senantiasa terpelihara dari kebinasaan (2:186). Adam & Hawa adalah korban pertama keganasan hukum haram ini (2:35; 7:19). Qur’an hanya mengatakan jangan dekati zina (17:32), jangan dekati isterimu yang sedang haidh (2:222), jangan dekati harta anak yatim (6:152; 17:34), atau jangan dekati sholat bagi yang mabuk (4:43). Karena dibaliknya ada fawahisy, tampak maupun tidak tampak yang memiliki daya rusak sosial (6:151; 17:32).
Hukum halal, berisi opsi ja’iz, mubah dan perintah. Halal adalah licencing of law yang diizinkan pemberlakuannya oleh Allah & Rasul-Nya, sebagai  satu-satunya pembuat hukum yang absolut  (16:116; 10:59).  Kalau yang haram berisi fawahisy dan khaba’its (7:157), maka hukum halal berisi yang baik-baik (5:4). Yang halal menyelamatkan dan yang haram melindungi.
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Allah s.w.t adalah Pemurka dan orang yang beriman juga adalah pemarah. Allah s.w.t akan murka terhadap orang mukmin apabila melakukan perbuatan haram.” (HR. Bukhari, Nikah:4821; Muslim, Taubat:4959; Turmudzi, radha’ah:1088; Ahmad, II:235,300)
            Kita hanya bisa memilih satu di antara keduanya, halal ataukah haram. Memilih yang musytabihat, juga termasuk dalam jenis yang haram. Karena sifatnya yang mengelirukan (samar-samar), dan menipu (gelap, tidak jelas, sayu-sayu) serta menyesatkan. Dikutuknya ummat pencari sapi (2:70), karena senang mengikuti hal yang tasyabah. Padahal musytabihat itu berpotensi menimbukan penyakit hati (2;118; 3:7), maka itu jaga dan jauhilah. Taati batas-batasnya dengan penuh sami’na dan wa atha’na.
Hadits-IV:
حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا * 
‘Abdullah bin Mas'ud r.a meriwayatkan, bertutur pada kami Rasulullah s.a.w seorang yang benar serta dipercayai, beliau bersabda: Kejadian seseorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama 40 hari sampai genap 40 hari kali kedua terbentuklah segumpal darah beku. Pada 40 hari ketiga berubah menjadi sekerat daging. Kemudian Allah s.w.t mengutuskan malaikat untuk meniupkan roh serta memerintahkan supaya menulis empat perkara iaitu ditentukan rezeki, tempo kematian, amalan serta nasibnya, celaka atau bahagiakah ia nanti. Maha suci Allah s.w.t di mana tiada Tuhan selain-Nya. Seseorang di antara kalian akan melakukan amalan penghuni Syurga sehingga kehidupannya hanya tinggal sehasta dari tempo kematiannya, tetapi disebabkan ketentuan takdir, ternyata dia melakukan amalan ahli Neraka, sehingga dia memasukinya. Sebaliknya, di antara kalian nanti ada yang melakukan amalan ahli Neraka, meskipun kehidupannya tinggal sehasta dari tempo kematiannya, tetapi disebabkan oleh ketentuan takdir, bertukar dengan melakukan amalan ahli Syurga, sehingga dia memasukinya.” (HR. Bukhari, Bad’u’l-khlaqi:2969; Muslim, Qadar:4781)
Faedah Hadits:
1.      Ummat manusia diminta untuk mengetahui dan senantiasa mengingat asal kejadiannya, supaya dia mengenal dari mana ia dijadikan (86:5-6), sehinga tidak lupa diri dan pada akhirnya melupakan Tuhan yang menciptakannya.
2.      Betapa besar kekuasaan Allah dalam proses penciptaan manusia yang dijadikan-Nya sebaik-baik ciptaan (ahsanu taqwim, 95:4). Disini manusia diminta untuk senantiasa zikir, syukur dan beribadah dengan baik kepada-Nya (demikian do’a Nabi s.a.w untuk Mu’adz bin Jabal).
3.      Betapa tingginya jasa orang tua sebagai madrasah keluarga, mulai dari pranatal sampai pembentukan watak kepribadian anak. Allah menggantungkan ridha dan bencinya pada orang tua karena ketinggian jasa seorang ibu. Jika setiap keluarga menyadari bahwa bangunan masyarakat ditopang oleh elemen orang tua sebagai kepala keluarga, niscaya bangunan sosial kita ikut baik.
4.      Qadha’ dan qadar ditulis sebagai suratan hidup manusia setelah lahir atau dari tiada ke ada, dan dari ada sampai tiada. Dalam mengatur hidupnya, manusia berada diantara ikhtiar (opsi), kasab (usaha) dan do’a. Qadha’ adalah takdir Allah yang sudah tercatat (al-musajjil) di lauh mahfudz, atau ketika masih berada dalam bentuk benih di tulang sulbi bapak-ibunya yang dituliskan kembali pada saat berumur 120 hari atas perintah Allah kepada malaikat. Sedang qadar adalah takdir yang berjalan sepanjang perputaran roda kehidupan (al-mauqi’). Manusia tidak boleh fatalis (jabariyah) atau determinis (qadariyah) dalam menentukan cerita hidupnya, melainkan mendayung (tawasun, moderat) di antara keduanya. (Lih. Konsultasi BJ-HMM, Vol.II/J-2/1/03)
Hadits-V:
حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ السَّعْدِيِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Hasan bin ‘Ali berkata: “Aku hapal dari dari Rasulullah s.a.w: “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Karena kebenaran itu menentramkan dan kebohongan itu meragukan.” (HR. Turmudzi, Sifat al-Qiyamah:2442; Abu Dawud, al-Asyribah:5615; Ahmad, Musnad Ahl a-bait:1630; Darimi, Buyu’:2420)
Faedah Hadits:
a.      Agama didasarkan kepada sebuah kepastian (al-Qath’iyah). Kepastian, diperoleh dari kebenaran. Sedang kebenaran sejati adalah milik Allah & Rasul-Nya, sementara kebenaran di luar keduanya bersifat relatif.
b.      Agama bukan wilayah wacana (raibah). Sebab wacana penuh dengan ketidakpastian. Ia bisa menggeser keyakinan dari benar, menjadi ragu. Sehingga semuanya menjadi wacana, karena rumus kebenaran selalu dianulir oleh ketidak pastian. 
Hadits-VI:
2240 حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكَهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
‘Ali bin Husein meriwayatkan, bersabda Rasul s.a.w: “Termasuk dari kebaikan keislaman seseorang adalah kemampuan seseorang untuk meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat.” (HR, Turmudzi, Zuhud:2240; Ibnu Majah,Fitan:3966; Ahmad, Musnad ahl al-bait:1642,1646; Malik, Jami:1402)
Faedah hadits:
a.      Kesia-siaan (al-Lahw, 21:16-17 dan furuwtha, 18:28) mengurangi kesempurnaan iman.
b.      Meninggalkan kebiasan buruk, sangat susah dilakukan bagi orang kebanyakan yang tidak memiliki power iman (api Islam).
c.       Iman sejati mengajak pemiliknya untuk mengadakan perubahan besar, internal dan eksternal.
d.      Hidup harus diisi dengan hal-hal yang bermanfaat.
Hadits-VII:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Anas bin Malik meriwayatkan dari Nabi s.a.w: Tidak beriman salah seorang di antara kalian, sebelum mendahulukan cinta terhadap saudaranya daripada dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari, Iman:12; Muslim, Iman:64-65)
Faedah:
a.      Cinta adalah tingkatan iman yang tertinggi (konsep mahabbah).
b.      Kesempurnaan cinta ditentukan oleh jiwa itsar (kepedulian sosial) terhadap lingkungan sekitar (59:9).
c.       Islam tidak mengenal kerahiban yang hanya peduli terhadap kesalehan pribadi, dengan meninggalkan kesalehan social (3:112).
  1. Iman yang benar, adalah iman yang sensitive, tidak cuek dan nafsi-nafsi. Yang penting diri sendiri terlebih dahulu, sedang orang lain ditelantarkan.






Penulis  : Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah)
Judul    : Hadits SHAHIH Tentang Menggerakkan Telunjuk Saat Tahiyyat  (Tasyahhud )


(Judul Asli: Masalah ke-29: Takhrij Ilmiyyah Dari Hadits Waail Bin Hujr Tentang Menggerak-gerakkan Jari Telunjuk Diwaktu   Tahiyyat/Tasyahhud dan Bantahan Terhadap Mereka Yang Mendha'ifkannya / Melemahkannya Dengan Dasar  Ilmiyyah Mengikuti Musthalah Ahlul Atsar/Hadits)

##237. Dari Zaaidah bin Qudamah dari 'Aashim bin Kulaib, ia berkata, "Telah mengabarkan kepadaku bapakku (yaitu Kulaib bin Syihaab) dari Waail bin Hujr - semoga Allah Meridhainya- ia berkata, 'Aku berkata (yakni di dalam hati):  Sungguh! Betul-betul aku akan melihat/memperhatikan bagaimana caranya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam mendirikan shalat?'

Berkata Waail, 'Maka aku melihat beliau berdiri (menghadap ke kiblat) kemudian bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya sehingga setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau meletakkan kedua tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya dan di atas pergelangan dan lengan.'

Berkata Waail,'Ketika beliau hendak ruku' beliau pun mengangkat kedua tangannya seperti di atas, kemudian beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya. Kemudian beliau mengangkat kepalanya (yakni I'tidal) sambil mengangkat kedua tangannya seperti di atas. Kemudian beliau sujud dan beliau letakkan kedua telapak tangannya setentang dengan kedua telinganya. Kemudian beliau duduk (duduk di sini dzahirnya duduk tahiyyat/tasyahhud bukan duduk di antara dua sujud karena Waail atau sebagian dari rawi meringkas hadits ini) lalu beliau menghamparkan kaki kirinya dan beliau letakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lutut kirinya dan beliau jadikan batas sikut kanannya di atas paha kanannya, kemudian beliau membuat satu lingkaran (dengan kedua jarinya yaitu jari tengah dan ibu jarinya), kemudian beliau mengangkat jari (telunjuk)nya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya beliau berdo'a dengannya'

(Berkata Waail), 'Kemudian, sesudah itu aku datang lagi pada musim dingin, maka aku lihat manusia (para sahabat ketika mendirikan shalat bersama nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam) mereka menggerakkan tangan-tangan mereka dari dalam pakaian mereka lantaran sangat dingin (yakni mereka mengangkat kedua tangan mereka ketika takbir berdiri dan ruku' dan seterusnya dari dalam pakaian mereka karena udara sangat dingin)'."##

HADITS SHAHIH, dikeluarkan oleh imam-imam: Ahmad bin Hambal di musnadnya (4/318 dan ini lafadznya), Abu Dawud (No. 727 dengan ringkas), Nasa'I (No. 889 dan 1268), Ad Dariimi di sunannya (1/314-315), Ibnul Jarud di kitabnya Al- Muntaqa' (No. 208), Ibnu Khuzaimah (No. 480 dan 714) dan Ibnu Hibban (No.485), semuanya dari jalan Zaaidah bin Qudamah seperti di atas.

Saya berkata: Sanad hadits ini shahih dan rawi-rawinya tsiqat dan hadits ini telah dishahihkan oleh jama'ah ahli hadits di antaranya Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, An-Nawawi, Ibnul Qayyim, dan ahli hadits besar pada zaman ini Syaikh Al-Albani dan lain-lain.

Sepanjang yang saya ketahui -wallahu a'lam- tidak ada seorang pun dari ahli hadits baik yang dahulu maupun yang sekarang yang melemahkan hadits Waail di atas kecuali tiga golongan:

Pertama          : Mereka yang masih 'pemula' dalam ilmu yang mulia ini. Yang biasanya sering mendha'ifkan hadits yang shahih atau  sebaliknya atau menjarh rawi yang tsiqat atau sebaliknya. Mereka yang merasa sudah cukup mampu untuk urusan takhrij dan tashhih atau tadl'if sesuatu hadits hanya dengan satu atau dua kitab musthalah!
Kedua             : Mereka yang ta'ashshub madzhabiyyah.
Ketiga             : Ahli ilmu yang keliru dalam ijtihadnya karena telah menyimpang dan keluar dari kaidah-kaidah ilmu hadits   yang telah disepakati oleh para 'ulama.
                       
Dan saya sangat mengharapkan bahwa Nadwah Mudzakarahnya majalah Al Muslimun termasuk dalam golongan yang ketiga ini meskipun dalam masalah ini mereka telah keliru berat sebagaimana akan datang bantahan saya terhadap mereka. (Bantahan tersebut telah dimuat di Al muslimun nomor 238 tahun 1990).

Oleh karena itu apabila kita melihat dengan insaf menurut ilmu hadits, maka tidak dapat tidak kita akan menshahihkan hadits Waail tersebut karena beberapa sebab:

Sebab pertama:       Hadits Waail bin Hujr yang diriwayatkan dari jalan 'Aashim bin kulaib dari bapaknya dari Waail bin Hujr mempunyai jalan/thuruqul hadits yang banyak sekali dari jalan 'Aashim bin kulaib.
           
            Sampai hari ini saya telah mendapatkan empat belas (14) orang rawi yang meriwayatkan dari 'Aashim bin kulaib, yaitu:

1.      Bisyr bin Mufadldlal.
2.      Zaaidah bin Qudaamah.
3.      Sufyan Ats Tsauri.
4.      Sufyan bin 'Uyaynah.
5.      Syu'bah.
6.      Abdullah bin Idris
7.      Zuhair bin Mu'awiyah
8.      Syarik bin Abdullah
9.      Israil
10.  Sallaam bin Sulaim
11.  Abdul Wahid
12.  Ibnu Fudlail
13.  Abdul Jabbar bin 'Alaa
14.  Said bin Abdurrahman.


Semua riwayat di atas dari empat belas (14) jalan telah saya takhrij dan saya turunkan satu persatunya dalam takhrij ilmiyyah saya terhadap kitab Sunan Abi Dawud (No. 726 dan seterusnya). Yang jadi pembicaraan kita dalam masalah ini (yakni hadits yuharriku) ialah riwayat Zaaidah bin Qudaamah yang dalam riwayat ini ada tambahan lafadz yang tidak terdapat di dalam riwayat-riwayat yang lain yaitu yuharrikuha.

Sebab kedua:    Keshahihan riwayat Zaaidah dari 'Aashim dari bapaknya dari Waail bin Hujr sebagaimana telah kami jelaskan di muka dan di bawah ini lebih rinci lagi:

1.      Zaaidah bin Qudaamah adalah seorang rawi yang tsiqat dan tsabit dan shahibu sunnah sebagaimana telah dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib­-nya. Dalam hal ini para imam telah ijma' tentang 'sangat tsiqat-nya' Zaaidah bin  Qudaamah bahkan beliau seorang rawi yang paling tsabit dalam mendengar hadits  dari syaikhnya. Lebih dari itu, beliau adalah salah seorang imam-imam Ahlus sunnah wal jama'ah sehingga beliau dijuluki Shahibu Sunnah [7]
2.      Adapun 'Aashim bin Kulaib bin Syihab seorang rawi yang tsiqat sebagaimana akan datan penjelasannya dengan luas dalam bantahan kami terhadap Nadwah Mudzakarahnya majalah Al Muslimun yang telah mendla'ifkan hadits yuharrikuha hanya karena penyendirian 'Aashim!?
3.      Sedangkan Kulaib bin Syihab dari bapak dari 'Ashim adalah seorang rawi yang tsiqat sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Abu Zur'ah.

Berkata Ibnu Sa'ad, "Dia seorang yang tsiqat dan aku melihat mereka (para imam) membaguskan haditsnya dan mereka berhujjah dengannya" (Tahdzibut Tahdzib 8/445-446).

            Sekarang pembaca yang saya hormati akan mngikuti pembicaraan secara khusus tentang ketsiqatan 'Ashim bin Kulaib yang pernah dimuat di majalah Al Muslimun (No. 238 tahun 1990)   

*Silakan rujuk ke kitab Al-Masaa-il (II/51-78) - Masalah 30 dan 31 oleh Al Ustadz Hakim*


_______________________________________________________________________________

Footnote:

[7] Hadits Zaaidah bin Qudamah ini merupakan ziyadatuts tsiqat (tambahan dari rawi yang tsiqat). Sedangkan tambahan dari rawi yang tsiqat ( ziyaadatuts tsiqat ) wajib diterima apabila tidak menyalahi riwayat dari rawi yang lebih tsiqat darinya yang di dalam ilmu musthalahul hadits dinamakan dengan hadits syadz. Di dalam masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk di waktu tasyahhud awal dan akhir yang hanya diriwayatkan oleh Zaaidah bin Qudamah tidak bias dikatakan atau dimasukkan ke dalam hadits syadz disebabkan:

Pertama: Tidak syak lagi bahwa Zaaidah bin Qudamah seorang rawi yang sangat tsiqat sebagaimana saya terangkan di atas dari ta'dil (pujian) para imam terhadap Zaaidah bin Qudamah
Kedua   : Mengamalkan kaidah ziyadatuts tsiqat maqbulah (tambahan dari rawi yang tsiqat wajib diterima)
Ketiga   : Ziyadatuts tsiqat maqbulah sangatlah mendasar sekali yang merupakan ketetapan asal. Seorang rawi yang tsiqat dikatakan haditsnya syadz apabila telah tegas-tegas menyalahi riwayat rawi yang lebih tsiqat darinya. Atau ada tanda-tanda yang menunjukkannya, seperti ada hadits lain yang menguatkan bahwa tambahan tersebut memang syadz. Atau hafalan rawi yang meriwayatkan tambahan tersebut perlu dibicarakan lebih lanjut.
Keempat:      Jika dikatakan, bahwa tambahan menggerak-gerakkan jari telunjuk dari Zaaidah bin Qudamah menyalahi sejumlah rawi dari 'Aashim bin Kulaib yang mana mereka tidak menyebutkan tembahan tersebut?

Saya jawab:
(1)   Ini merupakan keutamaan Zaaidah bin Qudamah dari saudara-saudaranya sesama rawi dari hadits Wail bin Hujr sehingga beliau melebioh mereka dengan tambahan tersebut.
(2)   Juga menunjukkan kepada kita bahwa sunnah nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa terpelihara dan terjaga sebagaimana terpelihara dan terjaganya Al-Qur'an hatta itu hanya diriwayatkan oleh seorang rawi seperti tambahan menggerak-gerakkan jari telunjuk oleh Zaaidah bin qudamah.
(3)   Menunjukkan bahwa hadits mempunyai bebrapa jalan (thuruq).
(4)   Menunjukkan bahwa para rawi berlebih kurang dalam meriwayatkan hadits.
(5)   Soal: Apakah menurutmu setiap tambahan dari seorang rawi di dalam satu hadits yang tambahan tersebut tidak diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain di dalam hadits yang sama dinamakan tambahannya itu syadz? Jika engkau menjawab, ya, maka bukan hanya hadits Zaaidah yang syadz, akan tetapi disana terdapat berpuluh bahkan beratus hadits yang dapat dengan mudah kita katakana syadz!? Tentu saja tidak ada seorangpun ahli hadits yang mengatakan seperti di atas. Lalu, dengan cara apa dan ilmu yang mana engkau dha'ifkan hadits Zaaidah bin Qudamah dengan mengatakannya sebagai hadits syadz. Kalau kenyataannya Zaaidah bin Qudamah hanya memberikan tambahan semata yang tidak diriwayatkan oleh saudara-saudaranya sesame rawi hadits Waail bin Hujr. Dan dia juga tidak menyalahi saudara-saudaranya, karena mereka juga tidak mengatakan bahwa nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menggerak-gerakkan jari telunjuk. Mereka hanya meriwayatkan bahwa nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berisyarat dengan jari telunjuknya, sedangkan Zaaidah memberikan tambahan menggerak-gerakkannya. Apanya yang syadz dalam riwayat ini?

·        Kelima  : Riwayat mereka bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tel;unjuknya, tidaklah menafikan adanya menggerak-gerakkan jari telunjuk baik ditinjau secara lughah maupun sesuatu yang dapat dengan cepat dan mudah ditangkap. Karena isyarat selalu terkait dengan gerak istimewa telah ada riwayat dari Zaaidah bin Qudamah.

^&^&^&^&^&^&
[Disalin oleh Jibril Jundurrahman dari kitab Al-Masaail Jilid II Hal. 43-49;
Pengarang Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat ; Cetakan I 2002 M. Penerbit Darul
Qolam, Jakarta # Dengan sedikit perubahan]





بسم الله الرحمن الرحيم
Penjelasan Hadits : Allah Tidak Lihat Jasad-Jasad Kalian

Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany Rahimahullah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad-jasad kalilan dan tidak juga kepada rupa-rupa kalian akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati kalian (dan amalan-amalan kalian)” (HR. Muslim)
Berkata Syaikh Al Albany rahimahullah sebagaimana dalam ta'liqnya atas Riyadhus Shalihin hadits no 8 :
"Imam Muslim dan yang lainnya menambahkan dalam riwayatnya 'Wa a'malikum' sebagaimana dikeluarkan dalam 'Ghayatul Marom fi takhrijil Halal wal Haram' (410)
Tambahan ini penting sekali karena kebanyakan manusia memahami hadits dengan faham yang salah, kalau seandainya engkau perintahkan seseorang dengan sesuatu yang telah diperintahkan syara’ yang penuh hikmah seperti memanjangkan jenggot dan meninggalkan tasyabuh (penyerupaan) terhadap orang kafir serta yang semisalnya dari beban-beban syariah, maka mereka menjawab bahwa yang menjadi pegangan adalah apa yang ada di hati, mereka beralasan dengan hadits ini tanpa mengetahui tambahan hadits shahih yang menunjukan bahwa Allah Tabaroka wa Ta'ala juga melihat kepada amalan-amalan mereka, apabila amalan-amalan itu shalihah maka diterimalah dan apabila tidak maka tertolaklah atas mereka, sebagaimana telah ditunjukan dalam banyak nas-nas qur'an dan sunnah
Seperti sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
"Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami sesuatu yang bukan perintah agama maka itu tertolak." (Hadits 173)
Secara hakikat bahwa tidak mungkin akan tergambar baiknya hati kecuali dengan baiknya amalan-amalan dan tidak ada kebaikan bagi suatu amalan kecuali dengan baiknya hati dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan yang demikian dengan seindah-indahnya penjelasan dalam hadits Nu'man bin Basyir .... “ Ingatlah bahwa sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal daging apabila baik gumpalan tersebut maka baiklah jasad tersebut dan sebalikya apabila rusak maka rusaklah jasad tersebut ingatlah bahwa itu adalah hati"
Dan hadtis yang lain "luruskanlah diantara shaf-shaf kalian atau allah akan jadikan perselisihan diatara hati-hati kalian” dan juga sabda beliau : " Sesungguhnya Allah indah dan menyukai keindahan " dam keindahan ini adalah keindahan secara jasad berbeda dengan persangakan kebanyakan dari manusia" (lihat hadits 617)
Dan jika engkau tahu hal ini maka siapakah yang lebih keji kesalahannya yang bisa engkau lihat dalam kitab (Riyadus shalaihin) pada kebanyakan naskah baik berupa tulisan tangan atau yang dicetak yang saya pernah lihat atasnya. Adapun tamhahan hadits yang disebutkan telah diketahui penulis (Imam Nawawi) rahimahullah dalam hadits no 1578 akan tetapi tintanya atau tinta penulisnya telah terjadi kesalahan yang pada akhirnya diletakkan di tempat yang dapat merusak makna.
Dan terus berlanjut hal ini pada setiap pencetak atau pentashih serta kalangan mualliq tanpa terkecuali juga kepada pentashih cetakab Ak Mubariyyah dan yang lainnya, bahkan terus berlanjut perkara ini atas penyarah kitab Ibnu Allan sendiri dalam penjelasan hadits (406/4) artinya ALlah Ta'la tidak mengkaitakan pahala kepada besarnya jasad, baiknya rupa serta banyaknya amal. Penyelasan ini tidak ragu lagi akan kebathilannya karena disamping bertentangan dengan hadits dalam nashnya yang sahih juga bertentangan dengan nash-nash yang banyak dari al kitab dan as sunnah yang menunjukan perbedaan derajat para hamba di dalam surga yang disebabkan banyak atau sedikitnya amal saleh yang dikerjakan hamba tersebut.
Diataranya firman Allah Ta'ala : "Dan bagi semuanya ada derajat-derajat (di surga) dengan sebab apa yang mereka amalkan (Al An'am : 132) Juga Firman-Nya dalam hadits qudsi :
"Wahai hamba-hamba-Ku itu adalah amalan-amalan kalian yang Aku telah hitung bagi kalian dan Aku beri balasan atasnya maka barangsiapa mendapatkan kebaikan maka hendaklah ia memuji Allah " (al Hadits 113)
Maka bagaimana bisa difahami Allah tidak melihat kepada amal-amal sebagaimana jasad-jasad dan rupa padahal amalan adalah pokok bagi masuknya ke dalam sorga setelah iman sebagaimana firman-Nya : 
“Masuklah kalian ke surga dengan sebab apa yang kalian amalkan “ (An Nahl : 32).
Maka perhatikanlah betapa banyak orang yang taklid sehingga menghalanginya dari kebenaran dan menjerumuskan dia ke lembah karena kesalahan yang jauh dan tidaklah yang demikian itu terjadi kecuali karena berpalingnya mereka dari mempelajari sunnah pada induk-induk kitab yang dijadikan pegangan.dan sahihah.
Wallahul Musta'an
Sumber : http://www.sahab.net/page/article.php?sid=185
بسم الله الرحمن الرحيم
Hadits Al ‘Irbadl bin Sariyah
Muhammad Ali Ishmah Al Medani
Hadits Al ‘Irbadl bin Sariyah radliyallahu 'anhu :
Dari Irbadl bin Sariyah radliyallahu 'anhu --dan dia adalah orang yang suka menangiis--, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam shalat subuh, lalu menghadapkan wajahnya ke arah kami dan memberi nasihat kepada kami dengan sebuah nasihat yang menyentuh, meneteskan air mata, dan menggetarkan hati. Ketika itu ada seseorang yang berkata : “Wahai Rasulullah, tampaknya ini adalah nasihat perpisahan, maka berilah wasiat kepada kami.” Beliau kemudian bersabda : “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar, dan patuh walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah (Ethiopia). Karena sesungguhnya jika di antara kalian ada yang hidup sesudahku, niscaya dia akan melihat banyak perselisihan. Maka wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah sesudahku yang terbimbing lagi mendapat hidayah. Berpeganglah kalian dengannya dan gigitlah dia dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan (bid’ah) adalah sesat.”

Takhrij Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh :
1.                     Abu Dawud dalam Kitabus Sunnah bab Fi Luzumis Sunnah 4607 dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud 2157.
2.                     Turmudzi dalam Kitabul Ilmi bab Ma Ja’a Fil Akhdzi Bis Sunnati Wajtinabil Bida’ (2676-Syakir) dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 2157.
3.                     Ahmad dalam Musnad-nya 4/126.
4.                     Ibnu Majah dalam Muqaddimah 43 dan 44.
5.                     Ad Darimi dalam Muqaddimah 1/44 dan 45 bab Ittiba’us Sunnah.
6.                     Al Hakim dalam Al Mustadrak 1/95-97, Kitabul Ilmi bab Fadlilah Mudzakaratil Hadits.
7.                     Al Ajurri dalam Asy Syari’ah halaman 53-54, tahqiq Al Faqi.
8.                     Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 1/4/4-Al Farisi.
9.                     Al Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah (Q:1/228) atau (1-2/halaman 74, tahqiq Al Ghamidi).
10.                 Al Harawi dalam Dzammut Kalam wa Ahlihi 1-2/69.
11.                 Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadllihi 2/181-182.
12.                 Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 11/265/1-2266/1.
13.                 Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabus Sunnah (Dhilalul Jannah-Al Albani) nomor 31 dan 54 dan beliau menshahihkannya. Lihat juga Al Irwa’ 2455 dan Syarh Ath Thahawiyyah 501.
14.                 Baihaqi dalam Sunan-nya 10/114.
15.                 Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’ 3/420/7/483.
16.                 Al Ajurri dalam Arba’in-nya hadits ke-28 (tahqiq Muhammad bin Al Hasan Ismail).
17.                 Ath Thabari dalam Al Kabir 597, 598, 600, 601, 602, 617, dan 625.
Hadits ini adalah hadits yang sangat penting lagi mulia. Berisi butiran-butiran hikmah dan nasihat yang sangat mahal harganya. Juga berisi pedoman-pedoman bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah yang terus berlaku sampai waktu yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala. Hadits ini terkenal dengan nama hadits Irbadl. Dari hadits ini dapat diambil beberapa faidah :
1.    Disyariatkannya memberi mau’idhah, yaitu : “Mengingatkan orang dengan hal yang dapat melembutkan hatinya dengan pahala atau hukuman.” (Qawa’id wal Fawa’id, Nadhim Sulthan, halaman 244)
Sifat-sifat mau’idhah (nasihat) yang baik dapat berupa :
a.              Mencari tema yang sesuai dan dibutuhkan oleh orang. Contohnya, bila dia melihat seseorang tamak dengan dunia maka hendaklah dia menerangkan kepada mereka tentang akhirat dan zuhud terhadap dunia. Dan kalau dia --misalnya-- mengajak untuk sederhana dalam melakukan ketaatan padahal mereka belum melaksanakan yang wajib sebagaimana mestinya maka hal ini berarti tidak memiliki hikmah dalam memilih tema nasihat.
b.              Menggunakan kata-kata yang jelas dalam memberi nasihat sehingga lebih mudah diterima oleh hati.
c.              Memilih waktu yang cocok. Yaitu pada saat para pendengar dalam keadaan siap, jernih pikirannya, dan tidak sedang disibukkan dengan pekerjaan. Seperti halnya nasihat yang diberikan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika selesai shalat shubuh, disaat para shahabat dalam keadaan siap.
d.              Tidak terus-menerus memberi nasihat, tetapi berselang. Sebagaimana yang diceritakan oleh Al Wa’il bahwa Abdullah bin Mas’ud biasa memberi nasihat kepada kami setiap hari Kamis. Lalu bila ada seseorang berkata kepadanya : “Sesungguhnya kami ingin agar engkau melakukannya setiap hari.” Beliaupun berkata : “Tidak ada yang menghalangiku untuk memberi nasihat kepada kalian setiap hari melainkan karena aku khawatir nanti kalian akan menjadi bosan. Karena :
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjarangkan dalam memberi nasihat karena khawatir kami menjadi bosan.” (HR. Bukhari dalam Kitab Ilmi bab Man Ja’ala li Ahlil Ilmi Ayyaman Ma’lumah dan bab Kanan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Yatakhawwal Lahum bil Mau’idhah 1/162-163-Fath)
Juga diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shifat Munafiqin bab Al Iqtishad fil Mau’idhah hadits 82-83 dan Ahmad 1/377, 378,425, 427,440, 443, 443, 465, 466 dan Turmudzi dalam kitab Al Adab bab Al Fashahah wal Bayan 2855-Syakir dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Tirmidzi 2293.
e.    Tidak terlalu panjang, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Tidak memanjangkan nasihat di hari Jum’at melainkan hanya beberapa kata yang mudah.” (HR. Abu Dawud, Kitabus Shalah bab Iqsharul Khutab 1107)
Bimbingan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam masalah nasihat adalah dengan tidak memanjangkannya karena hal tersebut tidak bisa membuat para pendengar menjadi bosan dan hilangnya faidah yang diharapkan. (Disadur dari Al Qawa’id wal Fawa’id halaman 244-246)
2.    Tingginya derajat dan keutamaan para Salafus Shalih.
Kata Irbadl : “Hati manusia ketika itu menjadi bergetar dan mata menjadi menangis.”
Menunjukkan bersihnya hati mereka, diri-diri mereka, besarnya pengagungan mereka kepada ucapan Rasul mereka, takut dan gemetarnya mereka ketika mendengar firman Rabb mereka. Semua ini merupakan tanda keimanan, istiqamah, dan kebaikan mereka. Allah Ta’ala berfirman :
“Hanyasanya orang-orang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal.” (Al Anfal : 2)
“Dan bila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, engkau lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri).” (Al Maidah : 83)
Kita wajib mencintai, menghormati, dan mengikuti mereka. Mereka adalah para pendahulu umat ini yang menyampaikan kepada kita Kitabullah dan Sunnah Nabi kita. Mencela dan menyerang mereka adalah perbuatan zindiq dan penyimpangan, sebagaimana yang diucapkan oleh Abu Zur’ah :
“Bila engkau melihat seseorang mencela seorang shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka ketahuilah sesungguhnya ia adalah zindiq, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menurut kami adalah benar, Al Qur’an adalah benar, dan yang menyampaikan Al Qur’an dan sunnah-sunnah ini kepada kita adalah mereka (shahabat, ed.). Mereka (pencela shahabat, ed.) ingin mengkritik saksi-saksi kita dengan tujuan untuk membatalkan Al Kitab dan Sunnah. Padahal mereka yang berhak untuk dikritik dan mereka adalah orang-orang zindiq.” (Al Awashim minal Qawashim, halaman 34)
3.    Membekasnya nasihat dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Hal ini tampak dari ucapan shahabat dalam hadits tadi yang menunjukkan bahwa beliau dengan sangat serius dalam memberi nasihat tidak seperti yang lainnya. Oleh karena itu mereka memahami bahwa nasihat itu adalah nasihat perpisahan.
4.    Tingginya semangat para shahabat terhadap ilmu.
Hal ini tampak dengan permintaan mereka kepada Nabi agar diberi nasihat untuk dijadikan pegangan yang kokoh serta agar mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
5.    Wasiat agar bertakwa kepada Allah Ta’ala.
Berwasiat agar bertakwa kepada Allah Ta’ala adalah sebuah wasiat yang agung. Wasiat itu adalah wasiat Allah bagi orang-orang terdahulu dan setelah mereka, sebagaimana firman-Nya :
“ … Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi Kitab sebelum kalian dan (juga) kepada kalian agar bertakwalah kalian kepada Allah … .” (QS. An Nisa’ : 131)
Kita sering mendengar kata ‘takwa’ tapi mungkin masih sedikit di antara kita yang memahami makna-maknanya.
Secara etimologi (bahasa), takwa berarti membuat (menjadikan) penjagaan dan penghalang yang melindungi dan menjagamu dari hal-hal yang engkau khawatirkan dan engkau takuti. (Al Wafi’ 113)
Dari Ibnu Mas’ud : “(Takwa adalah) Allah ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.”
Sedangkan Al Hafidh Ibnu Rajab mengatakan : “Takwa kepada Allah adalah seorang hamba menjadikan penghalang dia dan apa yang dikhawatirkannya terhadap Rabbnya berupa kemarahan dan hukuman-Nya, yaitu dengan mentaati-Nya dan menjauhi perbuatan maksiat.”
Thalq bin Habib berkata bahwa taqwallah berarti : “Engkau beramal karena taat kepada Allah di atas cahaya (petunjuk Allah), karena mengharap pahala dari Allah, dan engkau meninggalkan perbuatan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah, karena takut kepada Allah.” (Jami’ul ‘Ulum halaman 158-159)
6.    Wasiat taat kepada para Ulil Amri (pemimpin).
Yang dimaksud dengan ulil amri di sini adalah ulil amri yang sesungguhnya. Bukan sekedar orang bodoh yang mengaku sebagai ulil amri. Seorang ulil amri yang benar memiliki wilayah yang nyata, bukan “negara bawah tanah” atau “negara dalam negara”. Ulil amri yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya bukan seperti sistem yang dikembangkan oleh firqah-firqah sesat yang menyebar sekarang ini.
Al Hafidh Ibnu Rajab berkata : “Mendengar dan taat kepada para ulil amri kaum Muslim di dalamnya terdapat kebahagiaan dunia. Dengannya terbentuk maslahat-maslahat para hamba dalam kehidupan mereka. Dengannya mereka meminta bantuan untuk menampakkan agama mereka dan ketaatan kepada Rabb mereka, sebagaimana ucapan Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu : ‘Sesungguhnya para manusia tidak ada yang mampu memperbaiki urusan mereka kecuali oleh seorang imam yang baik maupun fajir (berdosa). Jika imam itu seorang yang berdosa maka seorang Mukmin tetap mampu beribadah kepada Rabbnya di dalam kekuasaannya, sementara ia (imam yang fajir) akan terus memikul kesalahan sampai matinya’.” (Ibnu Abi Syaibah 15/328. Lihat Iqadhul Himam halaman 395)
Ciri-Ciri Ahlus Sunnah Adalah Mendoakan Kebaikan Bagi Sulthan (Penguasa) Mereka
Imam Al Barbahari rahimahullah berkata : “Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan kepada para sulthan, maka ketahuilah sesungguhnya dia adalah ahlul hawa. Dan jika engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi para sulthan, maka ketahuilah sesungguhnya dia adalah Ahlus Sunnah, Insya Allah.”
Fudlail bin ‘Iyadl berkata : “Kalau aku mempunyai doa yang pasti akan dikabulkan maka aku akan mendoakan para sulthan.” Lalu ada yang bertanya : “Wahai Abu ‘Ali, terangkan kepada kami ucapanmu tadi!” Beliau menjawab : “Jika aku jadikan doa itu untuk diriku, maka hanya untukku. Dan bila aku berikan untuk sulthan, lalu ia menjadi baik, maka seluruh manusia negeri akan menjadi baik karena kebaikannya.” (Abu Nu’aim 8/91 dan Ibnu Khallal 9. Lihat Syarhus Sunnah 116-117)
Taat Kepada Ulil Amri Hanya Dalam Perkara Yang Ma’ruf
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah. Ketaatan itu hanya dalam perkara yang baik.” (HR. Bukhari dalam Kitabul Ahad bab 1 Fi Ijazati Khabaril Wahid 7257-Fath dan Muslim dalam Kitabul Imarah bab Wujubu Tha’atil Umara’ hadits (39)(1840) dan selain keduanya)
Riwayat ini menunjukkan bahwa diharamkannya bagi seorang Muslim untuk mengikuti para ulil amri dalam perkara maksiat kepada Allah. Mentaati mereka hanyalah dalam perkara yang ma’ruf.
Dari sini diketahui rusaknya pemahaman orang-orang sufi yang mengikuti para syaikh-syaikh mereka walau para guru mereka itu menyuruh untuk bermaksiat kepada Allah dengan alasan bahwa perbuatan itu pada hakikatnya bukanlah perbuatan bermaksiat kepada Allah. Juga keyakinan mereka bahwa para syaikh-syaikh mereka itu mampu melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh para murid-muridnya. Demikian juga rusaknya sebagian para muta’ashib (orang-orang fanatik) yang lebih mengutamakan mengikuti pendapat madzhab-madzhab mereka daripada mengikuti ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Juga rusaknya sebagian negara yang memusuhi para pemimpin mereka dalam berhujjah dengan syariat-syariat yang dibuat oleh manusia dari kalangan yahudi dan nashrani. (Qawa’id halaman 249-250)
Permasalahan ini juga pernah dibahas oleh Al Akh Muhammad Afifuddin dalam rubrik Tafsir edisi 4 halaman 42-50.
7.    Akan terjadi perselisihan dan perpecahan.
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah mengabarkan sejak 1400 tahun yang silam akan terjadinya perpecahan dan perselisihan di dalam tubuh kaum Muslimin setelah ditinggal beliau.
Sebagian hadits tentang perpecahan umat Islam sudah pernah saya bawakan dalam Salafy edisi
Perpecahan ini benar-benar terjadi di masa kita sekarang ini. Berbagai hasil lamunan, pikiran, dan renungan menyebar di mana-mana menguasai akal para pemuda, ilmuwan, dan mahasiswa Muslim tanpa mereka sadari. Kemudian kesesatan itu mulai menggerogoti akidah mereka, sehingga ada yang menyatakan :
Al Qur’an adalah makhluk.
Tidak adanya takdir.
Berkhianatnya para shahabat.
Allah tidak memiliki sifat.
Allah memiliki sifat tapi hanya 20 saja.
Allah seperti makhluk.
Orang Islam akan kekal di neraka.
Seseorang dihukumi kafir hanya karena melakukan dosa besar.
Dan ucapan sesat lainnya … .
Kesesatan menyebar di mana-mana memakan korban yang tidak terhingga. Terlebih setelah munculnya sekte-sekte sesat, seperti : Qadariyah, Mu’tazilah, Jahmiyah, Maturidiyah, Jabariyah, Syi’ah, Rafidlah, Asy’ariyah, dan lain-lain. Jalan keluar dari kesesatan itu semua tidak lain adalah konsisten terhadap sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
8.    Konsisten terhadap Sunnah.
Bersamaan dengan terjadinya perselisihan di kalangan umat Islam ini, Nabi kita, orang yang paling sayang kepada kita dan orang yang merasa susah bila umatnya terkena beban yang berat, tidak membiarkan begitu saja, bahkan beliau memberikan jalan keluar dalam problem yang rumit ini yaitu berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah menurut pemahaman para Salafus Shalih.
Memilih pemahaman Salaf itu tepat. Mari kita pahami Al Kitab dan As Sunnah dengannya (pemahaman Salaf, ed.) niscaya kita akan selamat. Hanya itu jalan satu-satunya, tidak ada yang lain.
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mewasiatkan kepada kita agar memegang sunnahnya dan sunnah para khalifah sesudahnya, yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radliyallahu 'anhum ajma’in. Mereka mengetahui kebenaran kemudian mengikutinya, sebab itu mereka disebut dengan ‘terbimbing’. Beliau menyuruh kita untuk menggigitnya dengan gigi geraham kita. Sebagai kiasan tentang harus kuatnya kita memegang sunnah dan jangan menyimpang darinya.
Tidak memahami Al Qur’an dan Sunnah dengan rasio semata ataupun mendahulukan akal daripada nash yang shahih. Semua ini akan berakhir pada kesesatan semata, lihatlah ucapan Imam Ar Razi dalam syairnya berikut ini :
“Akhir dari pengutamaan akal adalah ‘iqal (ruwet).
Puncak usaha para pemikir adalah kesesatan.
Ruh (jiwa) kita akan terasing dari jasad kita.
Dan hasil dunia kita hanyalah penyiksaan dan bencana.
Sepanjang umur, kita tidak memperoleh selain mengumpulkan pendapat orang begini dan begitu.
Betapa banyak kita menyaksikan orang atau negeri berlomba-lomba namun akhirnya sirna.
Betapa banyak gunung yang didaki (untuk ditaklukan).
Tapi mereka sirna sedang gunung tetap gunung (tegak).”
9.    Menjauhi bid’ah.
Di dalam hadits ini, beliau juga berwasiat agar kita menjauhi perbuatan-perbuatan bid’ah sampai beliau mengeraskannya dengan ucapan ‘setiap bid’ah adalah sesat’. Lantas apa itu bid’ah?
Bid’ah adalah sebuah cara dalam agama yang dibuat-buat untuk menyamai syariat yang dimaksud dengan menjalaninya untuk berlebihan dalam beribadah kepada Allah. (Al I’tisham 1/37 dan Ilmu Ushulil Bida’ halaman 24)
Adapun orang yang menyatakan adanya bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) beralasan dengan riwayat Umar radliyallahu 'anhu ketika mengumpulkan orang untuk shalat malam (tarawih). Maka itu adalah bid’ah secara bahasa (etimologi) saja bukan bid’ah menurut istilah (terminologi), karena bid’ah secara etimologi adalah membuat sesuatu yang belum ada contoh sebelumnya.
Al Imam Al Barbahari berkata : “Hati-hatilah engkau terhadap bid’ah yang kecil karena dia akan menjadi besar. Begitulah semua bid’ah yang terjadi dalam umat ini dulunya juga kecil seolah-olah kebenaran, maka orang-orang yang tertipu akan masuk ke dalamnya dan dia tidak bisa melepaskan diri darinya. Kemudian menjadi besar dan menjadi agama yang dianut, sehingga dia menyelisihi jalan yang lurus, sampai akhirnya dia keluar dari Islam.” (Syarhus Sunnah halaman 68-69, Ar Raddadi)
Bid’ah semakin marak dengan semakin jauhnya masa shahabat yang penuh berkah, Imam Malik berkata :
Barangsiapa membuat bid’ah dalam Islam yang dia lihat baik maka berarti dia telah menganggap Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah mengkhianati risalah ini (yaitu dia tidak menyampaikan semuanya) karena Allah berfirman : “Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Maka perkara yang pada hari itu tidak dianggap sebagai agama pada hari inipun bukan agama. (Al I’tisham 1/49 dan Ilmu Ushulil Bida’ halaman 20)
Ibnul Qayyim berkata :
Setiap lebih dekat ke masa Rasulullah maka kebenaran pun lebih banyak. (I’lamul Muwaqi’in 4/118 dan Ushul Bida’ halaman 14)
Ya Allah, matikanlah kami di atas Islam dan Sunnah. (Thabaqat Hanabilah 1/131 dan At Tasfiyah 13)
Wallahu A’lam Bis Shawab.
Hadits Sayyidul (Penghulu) Istighfar
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah tentang sabda Nabi, Sayidul Istighfar yaitu seorang hamba mengatakan “Allahumma anta rabbi laailaahailla anta” hadits ini mencakup pengetahuan yang berharga yang karenanya dikatakan sebagai sayidul istigfar. Karena inti hadits ini adalah pengenalan hamba tentang Rububiyyah Allah, kemudian mengagungkan-Nya dengan tauhid Uluiyyah (Laa ilaaha illa anta) kemudian pengakuan bahwa Dialah Allah yang menciptakannya dan mengadakannya yang sebelumnya tidak ada , maka Dia yang lebih layak untuk berbuat ihsan kepada-Nya atas ampunan dosanya sebagaimana perbuatan ihsan atasnya karena penciptaan dirinya
Kemudian perkataan “Wa ana abduka“  yaitu keyakinannya akan perkara ubudiyah, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan Ibnu Adam untuk diri-Nya dan beribadah kepda-Nya sebagaimana disebutkan dalam sebagian atsar  Allah Ta’ala berfirman :
"Wahai Ibnu Adam Aku ciptakan engkau untuk-Ku dan Aku ciptakan segala sesuatu karenamu, maka karena hak-Ku atasmu maka jangan kau sibukan dengan apa yang telah Aku citpakan untukmu dari yang Aku ciptakan kamu untuknya (ibadah)."
Di dalam atsar yang lain disebutkan : “Wahai Ibnu Adam Aku ciptakan engkau untuk beribadah kepada-Ku maka jangan bermain-main, dan Aku telah menjaminmu dengan rizkimu maka jangan merasa lelah (dari berusaha), Wahai Ibnu Adam mintalah kepada-Ku niscaya engkau akan dapati Aku, jika engkau mendapatkan Aku maka engkau akan mendapatkan segala sesuatu, jika engkau luput dari Aku maka engkau akan luput pula dari segala sesuatu, dan Aku mencintai kamu dari segala sesuatu.”
Maka seorang hamba apabila keluar dari apa yang Allah ciptakan untuknya berupa ketaatan dan ma’rifat kepada-Nya, mencintai-Nya, inabah (kembali) kepada-Nya dan tawakal atas-Nya, maka dia telah lari dari tuannya. Apabila taubat dan kembali kepada-Nya maka dia telah kembali kepada apa yang Allah cintai, maka Allah akan senang dengan sikap kembali ini. Oleh karena itu Nabi Shallahllahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang berita dari Allah :
“Sesungguhnya Allah sangat gembira dengan taubatnya hamba dari pada gembiranya seseorang yang mendapatkan kembali tungganganya yang hilang di suatu tempat dengan membawa makanan dan minumannya, Dialah yang memberikan taufiq kepadanya dan Dia pula yang mengembalikan barangnya kepadanya.”
Maka ini adalah ihsan dan karunia Allah atas hamba-Nya. Maka hakikat dari ini adalah agar tidak ada sesuatu yang lebih dicintai hamba kecuali Allah.
Kemudian sabdanya : “Wa ana ala ahdika wawa’dika mastathotu", maka Allah menjanjikan kepada hamba-hamba-Nya dengan suatu perjanjian yang Allah perintahkan dan larang padanya, kemudian Allah menjanjikan bagi yang menunaikannya dengan suatu janji pula yaitu memberikan pahala bagi mereka dengan setinggi-tingginya pahala. Maka seorang hamba berjalan diantara pelaksanaan atas perjanjian Allah kepadanya dengan pembenaran akan janji-Nya, artinya saya melaksanakan perjanjian-Mu dan membernarkan akan janji-Mu.
Makna ini sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi :
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, maka diampuni baginya dosa-dosa yang telah lalu.” 
Perbuatan iman yaitu perjanjian yang Allah tawarkan kepada hamba-hanba-Nya sedang ihtisab yaitu pengharapan pahala Allah atas keimanan. Maka ini tidaklah pantas kecuali harus bersamaan dengan sikap pembenaran atas janji-Nya. Dan sabdanya “Imanan wah tisaaban” ini adalah manshub atas maf’ul lahu yang sesungguhnya terkandung padanya pengertian bahwa Allah mensyariatkan, mewajibkan, meridhoinya dan memerintahkan dengannya. Sedang mengharap pahala dari Allah yaitu dengan mengerjakan amalan dengan ikhlas disertai mengharap pahala-Nya.
Sabdanya “mastatho’tu” yaitu bahwa tidaklah aku melaksanakan semua itu kecuali sebatas kemampuanku bukan atas apa yang semestinya dan wajib bagiku. Ini menunjukan dalil atas kekuaran dan kemampuan hamba, dan bahwasanya hamba tersebut tidaklah dipaksa atasnya, bahkan baginya ada kemampuan yaitu berupa beban perintah, larangan, pahala dan siksa. Pada hadis tersebut terdapat bantahan atas Qodariyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya bagi hamba tidak memiliki kekuasaan, kemampuan atas perbuatanya sama sekali, akan tetapi hanya siksa Allah atas perbuatan-Nya bukan atas perbuatan hamba-Nya. Pada hadits ini juga terdapat bantahan terhadap kelompok Majusiyah dan selain mereka
Kemudian perkataan : “Audzubika min syarri ma shana’tu”
Berlindung kepada Allah kemudian menggantungkan diri kepada-Nya, membentengi diri dengan-Nya, lari kepada-Nya dari apa yang dia takutkan, sebagaimana seorang yang lari dari musuh dengan berlindung di balik prisai yang menyelamatkan dia darinya. Pada hadits ini ada penetapan tentang perbuatan dan usaha dari hamba. Dan bahwa kejelekan disandarkan kepada yang berbuat bukan kepada pencipta dari kejelekan itu, maka perkataan “Audzubika min syari ma shana’tu."  Bahwa kejelekan itu hanya dari hamba, adapun Rabb maka baginya nama-nama yang baik dan segala sifat yang sempurna. Maka setiap perbutan-perbuatan-Nya penuh hikmah dan maslahat, hal ini dikuatkan dengan sabdanya :
“... dan kejelekan itu bukan kepada-Mu." (HR Muslim dalam Doa istiftah)
Kemudain perkataan “Abuu bini’matika alayya“ artinya aku mengetahui akan perkara ini, yaitu aku mengenalmu akan pemberian nikmat-Mu atasku. Dan sesungguhnya aku adalah orang yang berdosa, dari-Mu perbuatan ihsan dan dariku perbutan dosa, dan aku memuji-Mu atas nikmat-Mu dan Engkaulah yang lebih berhak atas pujian dan aku meminta ampun atas dosa-dosaku.
Oleh karena itu berkata sebagian orang-orang arif : semestinya bagi seorang hamba agar jiwanya mempunyai dua hal yaitu jiwa yang senatiasa memuji rabbnya dan jiwa yang senatiasa meminta ampun atas dosanya. Dari sini ada sebuah kisah Al Hasan bersama seorang pemuda yang duduk di masjid seorang diri dan tidak bermajlis kepadanya, maka ketika suatu hari lewat kepadanya beliau berkata : “Apa sebabnya engkau tidak bermajelis dengan kami, maka pemuda itu menjawab ' pada waktu itu aku berada diantara nikmat Allah dan dosaku yang mengharuskan aku memuji-Nya atas nikmat tersebut dan istighfar atas dosaku, dan aku ketika itu sibuk memujinya dan beristighafar kepada-Nya dari bermajelis kepadamu', maka berkata Al Hasan : Engkau lebih fakih menurutku dari Al Hasan."
Dan kapan seorang hamba bersaksi dengan dua perkara ini maka akan istiqomahlah peribadatannya kepada-Nya dan akan naik kepada derajat ma’rifat dan iman sehingga akan terus merasa kecil dihadapan Allah maka akan semakin tawadhu kepada Rabbnya, dengan demikian ini adalah kesempurnaan peribadatan Kepada-Nya dan berlepas diri dari sikap ujub, sombong dan tipuan amal.
Dan Allah-lah yang memberi petunjuk serta taufiq, segala puji hanya bagi Allah shalawat dan salam atas penghulu kita Muhammad , keluarga dan shahabatnya dan mudah-mudahan ridha Allah atas shahabat Rasulullah semuanya dan cukuplah Allah bagi kami dan Dia adalah sebaik-baiknya pelindung.
Dari tulisan : Muhammad bin Ishaq at Tamimi Ad Daari Al Hanafy
Dinukil dari Jamiul Masail Karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Tahqiq : Muhammad Uzair Syamsu ; Isyraf : Bakr Abu Zaid
Kelemahan Hadits-Hadits
Tentang Mengusap Muka Dengan Kedua Tangan
Sesudah Selesai Berdo'a
Abdul Hakim bin Amir Abdat

PENDAHULUAN

Sering kita melihat diantara saudara-saudara kita apabila telah selesai berdo'a, kemudian mereka mengusap muka mereka dengan kedua telapak tangannya. Mereka yang mengerjakan demikian itu, ada yang sudah mengetahui dalilnya, tapi mereka tidak mengetahui derajat dari dalil tersebut. Apakah sah datang dari Nabi shallallau 'alaihi wa sallam atau tidak .? Ada juga yang mengerjakan karena ikut-ikutan (taklid) saja.
Oleh karena itu jika ada orang bertanya kepada saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) : "Adakah dalilnya tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo'a, dan bagaimana derajatnya, sah atau tidak dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ..? Maka saya menjawab ; "Bahwa tentang dalilnya ada beberapa riwayat yang sampai kepada kita, tapi tidak satupun yang sah (shahih atau hasan) datangnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam".
Untuk itu ikutilah pembahasan saya di bawah ini, mudah-mudahan banyak membawa manfa'at bagi saudara-saudara.

HADIST PERTAMA

"Artinya : Dari Ibnu Abbas, ia berkata ; "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : Apabila engkau meminta (berdo'a) kepada Allah, maka hendaklah engkau berdo'a dengan kedua telapak tanganmu, dan janganlah engkau berdo'a dengan kedua punggungnya. Maka apabila engkau telah selesai berdo'a, maka usaplah mukamu dengan kedua telapak tanganmu". (Riwayat Ibnu Majah No. 1181 & 3866).
Hadits ini derajatnya sangatlah LEMAH/DLO'IF. Karena di sanadnya ada orang (rawi) yang bernama SHALIH BIN HASSAN AN-NADLARY. Para ahli hadits melemahkannya sebagaimana tersebut di bawah ini :
Kata Imam Bukhari : Munkarul Hadits (orang yang diingkari hadits/riwayatnya).
Kata Imam Abu Hatim : Munkarul Hadits, Dlo'if.
Kata Imam Ahmad bin Hambal : Tidak ada apa-apanya (maksudnya : lemah).
Kata Imam Nasa'i : Matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya).
Kata Imam Ibnu Ma'in : Dia itu Dlo'if.
Imam Abu Dawud telah pula melemahkannya.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid 2 halaman 291, 292).
Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas, tapi di sanadnya ada seorang rawi yang tidak disebut namanya (dalam istilah ilmu hadits disebut rawi MUBHAM). sedang Imam Abu Dawud sendiri telah berkata : "Hadits inipun telah diriwayatkan selain dari jalan ini, dari Muhammad bin Ka'ab al-Quradziy (tapi) SEMUANYA LEMAH. Dan ini jalan yang semisalnya, dan ia (hadits Ibnu Abbas) juga lemah". (Baca : Sunan Abi Dawud No. 1485).

HADITS KEDUA

Telah diriwayatkan oleh Saa-ib bin Yazid dari bapaknya (Yazid) :
"Artinya : Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila beliau berdo'a mengangkat kedua tangannya, (setelah selesai) beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya". (Riwayat : Imam Abu Dawud No. 1492).
Sanad hadits inipun sangat lemah, karena di sanadnya ada rawi-rawi :
IBNU LAHI'AH, seorang rawi yang lemah.
HAFSH BIN HASYIM BIN 'UTBAH BIN ABI WAQQASH, rawi yang tidak diketahui/dikenal (majhul).
[Baca : Mizanul 'Itidal jilid I hal. 569].

HADITS KETIGA

Telah diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ia berkata :
"Artinya : Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila mengangkat kedua tangannya waktu berdo'a, beliau tidak turunkan kedua (tangannya) itu sehingga beliau mengusap mukanya lebih dahulu dengan kedua (telapak) tangannya". (Riwayat : Imam Tirmidzi).
Hadits ini sangat lemah, karena disanadnya ada seorang rawi bernama HAMMAD BIN ISA AL-JUHANY.
Dia ini telah dilemahkan oleh Imam-imam : Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni.
Imam Al-Hakim dan Nasa'i telah berkata : Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij dan Ja'far Ash-Shadiq hadits-hadits palsu.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid I hal. 598 dan Tahdzibut-Tahdzib jilid III hal. 18-19]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
"Adapun tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya di waktu berdo'a, maka sesungguhnya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih (lagi) banyak (jumlahnya). Sedangkan tentang beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya (sesudah berdo'a), maka tidak ada padanya (hadits yang shahih lagi banyak), kecuali satu-dua hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah (alasan tentang bolehnya) dengan keduanya".
[Baca : Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 22 hal. 519].
Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berkata : Bahwa perkataan Ibnu Taimiyah tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih lagi banyak, ini memang sudah betul dan tepat. Bahkan hadits-haditsnya dapat mencapai derajat mutawatir karena telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat.
Di bawah ini saya akan sebutkan sahabat yang meriwayatkannya dan Imam yang mengeluarkan haditsnya :
  • Oleh Abu Humaid (Riwayat Bukhari & Muslim).
  • Oleh Abdullah bin Amr bin Ash (Riwayat Bukhari & Muslim).
  • Oleh Anas bin Malik (Riwayat Bukhari) tentang Nabi berdo'a di waktu perang Khaibar dengan mengangkat kedua tangannya.
  • Oleh Abu Musa Al-Asy'ari (Riwayat Bukhari dan lain-lain).
  • Oleh Ibnu Umar (Riwayat Bukhari).
  • Oleh Aisyah (Riwayat Muslim).
  • Oleh Abu Hurairah (Riwayat Bukhari).
  • Oleh Sa'ad bin Abi Waqqash (Riwayat Abu Dawud).
Dan lain-lain lagi shahabat yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya di berbagai tempat. Semua riwayat di atas (yaitu : tentang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a mengangkat kedua tangannya) adalah merupakan FI'IL (perbuatan) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun yang merupakan QAUL (perkataan/sabda) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ada di-riwayatkan oleh Malik bin Yasar (sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Apabila kamu meminta (berdo'a) kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan telapak tangan kamu, dan janganlah kamu meminta kepada-nya dengan punggung (tangan)".
(Shahih Riwayat : Abu Dawud No. 1486).
Kata Ibnu Abbas (sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) :
"Artinya : Permintaan (do'a) itu, yaitu : Engkau mengangkat kedua tanganmu setentang dengan kedua pundakmu". (Riwayat Abu Dawud No. 1486).
Adapun tentang tambahan "mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo'a" telah kita ketahui, semua riwayatnya sangat lemah dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi yang sunahnya itu hanya mengangkat kedua telapak tangan waktu berdoa.  Adalagi diriwayatkan tentang mengangkat kedua tangan waktu berdo'a.
"Artinya :Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Allah itu Baik, dan Ia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah perintahkan mu'minim sebagaimana Ia telah perintahkan Rasul, Ia berfirman : "Wahai para Rasul !.. Makanlah dari yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih, sesungguhnya Aku dengan apa-apa yang kamu kerjakan maha mengetahui ". (Al-Mu'minun : 51). Dan Ia telah berfirman (pula) : "Wahai orang-orang yang beriman !. Makanlah dari yang baik-baik apa-apa yang Kami rizkikan kepada kamu". (Al-Baqarah : 172). Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang mengadakan perjalanan jauh dengan rambut kusut-masai dan berdebu. (orang tersebut) mengangkat kedua tangannya ke langit (berdo'a) : Ya Rabbi ! Ya Rabbi ! (Kata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selanjutnya) : "Sedangkan makanannya haram dan minumannya haram dan pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram, maka bagaimana dapat dikabulkan (do'a) nya itu". (Shahih Riwayat Muslim 3/85).
Di hadits ini ada dalil tentang bolehnya mengangkat kedua tangan waktu berdo'a (hukumnya sunat). Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, menceritakan tentang seseorang yang berdo'a sambil mengangkat kedua tangannya ke langit. Orang tersebut tidak dikabulkan do'anya karena : Makanan, minuman, pakaiannya, dan diberi makan dari barang yang haram atau hasil yang haram.

KESIMPULAN

Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo'a. Semua hadits-haditsnya sangat dlo'if dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya.
Karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mengamalkannya berarti BID'AH.
Berdo'a dengan mengangkat kedua tangan hukumnya sunat dengan mengambil fi'il dan qaul Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah sah.
Ada lagi kebiasaan bid'ah yang dikerjakan oleh kebanyakan saudara-saudara kita yaitu : Mengusap muka dengan kedua telapak tangan atau satu telapak tangan sehabis salam dari shalat.
بسم الله الرحمن الرحيم
MIMBAR DALAM SUNNAH
Abu Abdir Rahman Zainul Arifin
Saudaraku kaum Muslimin, semoga Allah membimbing kita ke jalan yang lurus (Al Haq), yaitu jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, bukan jalan orang-orang yang dimurkai-Nya dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat. Untuk menempuh jalan yang lurus tersebut diharuskan bagi setiap orang untuk berpegang teguh kepada dua hal yang tidak ada padanya keraguan, kesesatan, dan kesalahan, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih.
Saudaraku pencari ridla Allah Subhanahu wa Ta'ala, dalam rangka menghidupkan sunnah dan mengagungkannya serta memerangi bid’ah, dituntut atas setiap individu kaum Muslimin untuk mengetahui dan memahami sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam segala hal, baik dalam perkara akidah, akhlak, ibadah, dan pergaulan, maupun hal-hal yang lain. Maka dalam kesempatan ini kami mengajak saudara-saudara semua untuk kembali dan bersemangat dalam menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan oleh kaum Muslimin yang beralih kepada kebiasaan, gaya, serta mode-mode kaum kafir.
Salah satu sunnah yang ditinggalkan oleh kaum Muslimin adalah masalah mimbar yang terdapat di masjid-masjid seluruh penjuru dunia. Sedikit sekali kaum Muslimin yang memperhatikan hal tersebut sehingga mereka (kebanyakan) melalaikan bentuk mimbar yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bahkan mereka meniru dan mencontoh mimbar-mimbar kaum musyrikin, nashrani, dan yahudi kemudian meletakkannya di masjid-masjid. Yang demikian adalah suatu kekeliruan yang harus segera diperbaiki dan dihilangkan kemudian diganti dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Lalu bagaimana mimbar yang sunnah (yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam)?
Dalam pembahasan kali ini, Insya Allah kita akan bersama-sama memeriksa tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam masalah mimbar tersebut. Pertama marilah kita memperhatikan hadits-hadits yang menerangkan sifat-sifat mimbar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
Dari Abdul Aziz bin Abi Hazim dari bapaknya bahwasanya sekelompok orang mendatangi Sahl bin Sa’ad sedang mereka berselisih pendapat tentang masalah mimbar. Maka Abu Hazim berkata : “Adapun aku, demi Allah, sungguh aku mengetahuinya dari kayu apa mimbar tersebut dibuat dan siapa yang membuatnya. Aku telah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada hari pertama beliau duduk di atasnya.” Berkata Abdul Aziz, aku katakan kepadanya : “Wahai Abu Abbas, khabarkanlah kepada kami!” Dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyampaikan kepada seorang wanita --Berkata Abu Hazim : “Sesungguhnya beliau menyebutkan namanya pada hari itu”-- : “Temuilah budak kamu yang tukang kayu untuk membuat mimbarku yang di atas mimbar itu aku berceramah kepada manusia.” Maka budak tersebut membuat mimbar ini tiga tingkatan. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyuruh untuk diletakkan di tempat ini. Mimbar tersebut terbuat dari pangkal pohon hutan. Sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berdiri di atasnya kemudian beliau bertakbir (shalat) dan bertakbirlah manusia yang ada di belakangnya sedang beliau tetap di atas mimbar. Kemudian beliau (ruku’) lalu bangkit dari ruku’ kemudian beliau turun dari mimbar (dengan berjalan mundur) sampai beliau sujud di dasar mimbar kemudian mengulanginya lagi sampai akhir shalatnya. Setelah itu beliau menghadap manusia dan bersabda : “Wahai manusia, sesungguhnya aku lakukan yang demikian agar kalian mengikuti dan mempelajari shalatku.” (HR. Muslim dalam Kitabul Masajid bab Jawazul Khuthulah ulal Khuthasataini fis Shalah hadits ke-44)
Lafadh hadits :
Imam An Nawawi berkata : “Pada hadits tersebut terdapat keterangan yang jelas bahwa mimbar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tiga tingkat.”
Dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berdiri pada hari Jum’at sambil menyandarkan punggungnya ke batang pohon yang menancap di masjid, berkhutbah kepada manusia, kemudian datang seorang Rumi dan berkata : “Alangkah baiknya kalau aku buatkan untuk Anda (Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) sesuatu yang Anda duduk padanya sedangkan engkau seperti berdiri!” Maka dia membuat mimbar untuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dua tingkat dan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam duduk pada tingkat yang ketiga. Ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam duduk di atas mimbar tersebut, pohon (yang tadinya dipakai Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersandar) mengeluarkan suara seperti teriakan sapi sampai-sampai masjid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam terguncang, sedih karena ditinggalkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam turun mendekatinya kemudian memeluknya sedang pohon tadi terus mengeluarkan suara. Ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Demi Dzat yang jiwa Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berada di tangan-Nya, kalau aku tidak memeluknya, ia akan terus mengeluarkan suara sampai hari kiamat (sedih karena ditinggalkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).” Maka beliau memerintah (shahabatnya untuk membuat lubang) dan menguburkan pohon tersebut. (HR. Ad Darimi dalam Muqadimah nomor 6 bab Maa Akraman Nabi bi Haninil Mimbar dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam As Shahihul Musnad 1/76-77).
Dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika badanya gemuk, Tamim Ad Dary berkata kepadanya : “Alangkah baiknya kalau aku buatkan sebuah mimbar untukmu, ya Rasulullah, yang akan menopang tubuh Anda!” Rasulullah menjawab : “Ya.” Maka dia membuat mimbar untuk Rasulullah dua tingkat. (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Imam Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Abu Dawud Kitabus Shalah bab Ittikhadzul Mimbar nomor 958 [1081])
Dari Anas bin Malik radliyallahu 'anhu, dia berkata : Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam jika berkhutbah pada hari Jum’at menyandarkan punggungnya kepada sepotong kayu, maka ketika manusia semakin banyak beliau bersabda : “Buatkan untukku mimbar.” Beliau ingin (suaranya) terdengar oleh mereka, maka mereka membuat mimbar untuk Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dua tingkat kemudian beliau pindah dari kayu tersebut dan menggunakan mimbar … . (HR. Ahmad 3/226)
Dari Ubay bin Ka’ab radliyallahu 'anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam shalat menghadap ke arah pangkal pohon ketika masjid masih berwujud bangsal. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkhutbah pada pangkal pohon tersebut, maka salah seorang dari shahabatnya berkata : “Apakah perlu kami buatkan untuk Anda sesuatu yang Anda berdiri di atasnya pada hari Jum’at sehingga manusia melihat Anda dan Anda dapat memperdengarkan kepada mereka khutbah Anda?” Nabi menjawab : “Ya.” Maka dibuatkan baginya mimbar tiga tingkat dan itu merupakan mimbar yang paling tinggi. Mereka meletakkannya di tempat yang biasa beliau tempati … . (HR. Ibnu Majah Kitab Iqamatush Shalah bab Maa Ja’a fi Sya’nil Mimbar 199 dan Abu Nu’aim)
Dari Sahl bin Sa’ad As Saidi radliyallahu 'anhu berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam biasa berdiri di atas kayu yang berada di masjid ketika berkhutbah, maka ketika jumlah manusia semakin banyak, dikatakan kepada beliau : “Wahai Rasulullah, kalau aku buat sebuah mimbar sehingga kau berada lebih tinggi dari manusia dengannya?” Maka beliau mengutus seseorang untuk menemui tukang kayu kemudian aku pergi dengannya sampai masuk hutan (dalam suatu riwayat) lalu menebang pangkal pohon. Kemudian dia membuatnya dan kami membawanya. Mimbar tersebut dua tingkat dan tingkat yang ketiga adalah tempat duduk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. (HR. Abu Nu’aim)
Hadits-hadits di atas menjelaskan kepada kaum Muslimin dengan penjelasan yang sangat gamblang bahwa mimbar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam terdiri dari tiga tingkat. Barangsiapa menambah atau merubahnya berarti dia telah menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Al Hafidh Ibnu Hajar pun juga menjelaskan bahwa mimbar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tiga tingkat seperti yang beliau katakan dalam Fathul Bari : “Dan tetaplah mimbar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam atas keadaannya tiga tingkat sampai akhirnya ditambah oleh Marwan pada masa kekhalifahan Mu’awiyah menjadi enam tingkat dari bawah … .” Dengan keterangan ini jelaslah bahwa mimbar yang sunnah adalah tiga tingkat.
Adapun keterangan yang menyatakan bahwa mimbar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dua tingkat pada keterangan di atas tidaklah membatalkan keterangan tiga tingkat sebab keterangan dua tingkat disebutkan karena mereka tidak menghitung tingkat yang dipakai duduk oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Hal tersebut telah diterangkan pula oleh Abu Thayib Muhammad Syamsul Haq : “Sesungguhnya mimbar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tetap seperti keadaannya semula yaitu tiga tingkat (derajat) sampai ditambah oleh Marwan pada masa kepemimpinan Mu’awiyah menjadi enam tingkat dari bagian bawah. Sedangkan keterangan bahwa mimbar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dua tingkat terjadi karena mereka tidak menganggap (menghitung) tingkat yang dipakai duduk oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.”
Berkata Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad : “Mimbar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tiga tingkat, sedang ketika mimbar tersebut belum dibuat, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkhutbah dengan bersandar di atas pangkal pohon. Maka ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pindah berkhutbah di atas mimbar, pangkal pohon tersebut berteriak mengeluarkan suara sampai didengar oleh orang yang berada di masjid, sehingga Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam turun dari mimbar dan memeluknya (hingga dia diam).”
Dari keterangan di atas juga dipahami bahwa dalam berkhutbah sang khatib berdiri pada tingkat ke dua dan duduk pada tingkat ketiga. Wallahu A’lam Bis Shawab.
Kemudian hal yang perlu diperhatikan pula bahwa mimbar yang lebih dari tiga tingkat merupakan suatu perbuatan bid’ah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Sifat Shalat Nabi : “Beginilah mimbar yang sunnah, (yaitu) mimbar yang memiliki tiga tingkat (derajat), tidak lebih dari itu. Sedangkan tambahan lebih dari tiga tingkat adalah bid’ah Umawiyah yang seringkali mengganggu shaf (memutus barisan shaf). Untuk menghindari hal tersebut maka dipasanglah mimbar tersebut pada pojok barat masjid atau di mihrab yang ternyata juga termasuk bid’ah. Demikian juga meninggikannya pada tembok sebelah selatan seperti singgasana dengan tangga yang menempel pada tembok. Padahal sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.”
Sebagai penutup uraian tentang mimbar ini saya nukilkan perkataan Imam Syafi’i rahimahullah sebagai berikut :
Sampai kepada kami hadits dari Salamah bin Al Akwa’ bahwasanya dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkhutbah dengan dua khutbah dan duduk dengan dua duduk. Orang yang menyampaikan khabar kepadaku mengatakan : “Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berdiri pada tingkat di bawah tempat duduk istirahat (yaitu tingkat kedua, pent.). Kemudian beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengucapkan salam lalu duduk pada tempat duduk istirahat (yaitu tingkat ketiga, pent.) sampai muadzin selesai adzan. Kemudian beliau berdiri berkhutbah kemudian duduk dan berdiri lagi untuk khutbah kedua.”
Riwayat Imam As Syafi’i ini juga menerangkan bahwa dalam berkhutbah sang khatib berdiri pada tingkat kedua dari mimbar dan duduk pada tingkat ketiga.
Wallahu A’lam Bis Shawab.
Maraji’ :
1.                                Fathul Bari. Ibnu Hajar Al Asqalani.
2.                                ‘Aunul Ma’bud. Ibnul Qayyim Al Jauziyah.
3.                                Mausu’ah Al Hadits An Nawawi. Imam An Nawawi.
4.                                Nailul Authar. Imam As Syaukani.
5.                                Sunan Ad Darimi. Imam Ad Darimi.
6.                                Shahihul Jami’. Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al Wadi’i.
7.                                Syarah Shahih Muslim. Imam An Nawawi.
8.                                Zaadul Ma’ad. Ibnul Qayyim.
9.                                Shahih Abu Dawud. Syaikh Al Albani.
10.                            Shahihul Musnad. Syaikh Muqbil.
11.                            Musnad Imam Ahmad.
12.                            Sunan Ibnu Majah.
بسم الله الرحمن الرحيم
SALAH SATU SIFAT MUNAFIQIN : MENINGGALKAN JIHAD KARENA CINTA DUNIA
Rasulullah shallahu ’alaihi wassallam bersabda: "Jika kalian sudah jual beli dengan ‘inah, memegang ekor sapi, rela dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan dan Alllah tidak akan melepaskan kehinaan tersebut sampai kalian kembali kepada agama kalian" (HR Abu Daud dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih Abu Daud No.3956)
Hadits ini merupakan ancaman dari Allah terhadap orang-orang yang melanggar dan tidak mau menjalankan syariat Allah karena sebab cinta dunia.
Makna hadits:
1. Berjual beli dengan ‘inah
Yakni satu macam jual beli dengan riba.. Karena Allah Ta’ala mengharamkan riba, Allah berirman;
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (AL Baqarah: 275)
Rasululah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
"Pemakan riba, yang memberikannya, yang menuliskan dan dua orang saksinya sama saja (dalam dosa)" (HR Muslim).
2. Memegang ekor sapi dan rela dengan pertanian
Menunjukkan sikap sangat mementingkan perkara dunia sehingga terlalu bergantung kepada dunia, serta meninggalkan syariat dan hukum-hukumnya.. Sebagaimana telah disinggung oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam:
"Suatu saat nanti, orang-orang kafir akan mengerubuti kalian sebagaimana hewan mengerubuti makanan ditempatnya". Seorang shahabat berkata: "Apakah karena Hal itu sedikitnya jumlah kami wahai Rasululah?". Beliau menjawab: "Bahkan ketika itu kalian dalam jumlah yang banyak, akan tetapi kalian seperti buih di lautan. Sungguh Allah akan menghilangkan rasa takut musuh kalian kepada kalian, dan melemparkan ke dalam dada kalian al wahn". Shahabat berkata: "Apa itu al wahn wahai Rasulullah?". Beiau menjawab: "Cinta dunia dan takut mati" (Hadits shahih,lihat Ash shahihah:958).
3. Meninggalkan jihad
Hal ini merupakan hasil dari sangat cintanya seseorang kepada dunia, sebagaimana Allah berfirman:
"Wahai oramg-orang yang beriman! Mengapa kalian jika disuruh untuk berangkat perang dijalan Allah kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu, apakah kalian lebih senang dengan kehidupan dunia dari pada akhirat? Ketahuilah, sesungguhnya perhiasan dunia jika dibandingkan akhirat sangat kecil sekali" (At Taubah 38).
Maka diantara sifat orang munafik adalah tidak mau berjihad dan mencari ber.bagai macam alasan untuk tidak berjihad. Karena memang orang munafiq lebih mencintai kehidupan dunianya daripada kehidupan di akhirat.
Ketika perang tabuk Rasulullah berkata kepada seorang munafiq: "Apakah kalian hendak ikut berperang?". Orang munafiq itu berkata:"Ya Muhammad, jangan engkau fitnah kami, karena di Romawi banyak wanita-wanita cantik"
Sebagian diantara mereka menggembosi semangat kaum muslimin, menghasut untuk tidak berangkat jihad. Mereka berkata : "Janganlah kalian keluar (berjihad) di waktu panas"
Sebagian beralasan: "Sesungguhnya rumah-rumah kami adalah aurat"
Dan berbagai macam cara mereka untuk tidak berang jhad bersama Rasululah. Bahkan ketika ada shahabat yang shahid mereka mencibir dengan mengatakan: "Kalau seandainya mereka bersama kami niscaya dia tdak akan mati". Itulah diantara sifat kaum munafiqin yang anti terhadap jihad karena cinta dunia dan takut mati.
4. Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian dan tidak akan menghilangkannya hingga kalian kembali kepada agama kalian.
Ini merupakan penjelasan yang tegas bahwasanya agama yang benar, yang kaum muslimin harus kembali kepadanya adalah seperti yang difirmankan oleh Allah:
"Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah agama Islam" (Al Imran : 19)
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan Aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu dan Aku ridha Islam menjadi agamamu" (Al Maidah:3).
Imam Malik berkata ketika menafsirkan ayat ini: "Tidak akan baik umat yang belakangan ini kecuali dengan sesuatu yang telah membuat baik umat terdahulu (yakni para shahabat radiyallahu’anhum)".
Maksudnya adalah, apabila ingin mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan, hendaknya beragama sesuai dengan cara para shahabat dan Rasulullah beragama, atau dengan kata lain memahami Al Qur’an dan hadits Rasulullah dengan pemahaman para shahabat.
Saudaraku fillah, agar kita terhindar atau terlepas dari ancaman Allah di atas maka jauhilah perbuatan riba, dan segeralah bertaubat kepada Allah.. Belajarlah agama yang benar. Amalkanlah syariat Allah,.berjihadlah dan bantulah para mujahidin, mudah-mudahan Allah merahmati kita semua Amiin.
بسم الله الرحمن الرحيم
Neraka & Surga
Muhammad Ali Ishmah Al Medani
(Keadaan Dan Para Penghuninya)
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Ketika Allah telah menciptakan Surga, Dia berfirman kepada Jibril : ‘Pergilah dan lihatlah ke sana.’ Maka Jibril pergi dan melihat ke sana. Lalu kembali dan berkata : ‘Wahai Rabb-ku, demi ‘izzah-Mu tidak ada seorang pun yang mendengar tentangnya melainkan ia ingin masuk ke dalamnya.’ Kemudian Allah menutupi Surga itu dengan hal-hal yang tidak disukai, lalu Allah berfirman : ‘Hai, Jibril, pergilah dan lihatlah ke sana.’ Maka Jibril pun pergi dan melihat ke sana, lalu kembali dan berkata : ‘Wahai Rabb-ku demi ‘izzah-Mu aku khawatir tak ada seorang pun yang dapat masuk ke dalamnya.’ Ketika Allah telah menciptakan Neraka, Dia berfirman : ‘Hai Jibril, pergilah dan lihatlah ke sana.’ Maka Jibril pun pergi dan melihat ke sana, lalu kembali seraya berkata : ‘Demi ‘izzah-Mu, tidak ada seorang pun yang mendengar tentangnya ingin memasukinya.’ Kemudian Allah meliputinya dengan hal-hal yang disukai (syahwat). Kemudian Dia berfirman : ‘Hai Jibril, pergilah dan lihatlah ke sana.’ Maka Jibril pun pergi dan melihatnya seraya berkata : ‘Wahai Rabb-ku, demi ‘izzah-Mu aku khawatir tidak akan ada seorang pun yang tertinggal kecuali akan masuk ke dalamnya.’ “
Hadits ini diriwayatkan oleh :
-         Ahmad dalam Musnad-nya 2/333, 354, 373.
-         Abu Dawud dalam Sunan-nya Kitabus Sunnah, bab Fi Khalqil Jannah wan Nar 4744 dan dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3970 Syaikh Al Albani berkata : Hasan Shahih.
-         Tirmidzi dalam Sunan-nya bab Shifatil Jannah, bab Ma Ja’a Annal Jannata Huffat bil Makarih 3698, dalam Shahih Sunan Tirmidzi dengan nomor 2075 Syaikh Al Albani berkata : Hasan Shahih.
-         An Nasa’i dalam Sunan-nya kitab Al Aiman wan Nudzur bab Al Half bi ‘Izzatillah 3772 dan dalam Shahih An Nasa’i 3523 Al Albani berkata : Hasan Shahih.
-         Al Ajurri dalam As Syari’ah halaman 345, ta’liq Al Faqi.
-         Al Lalika’i dalam Syarhus Sunnah 6/1190 nomor 2250 dan Abu Ya’la Al Maushuh-li 5/356 nomor 5914 dalam Musnad-nya. Semua dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu. Lihat pula keterangan ini dalam Al Qa’id ila Tash-hihil ‘Aqa’id 9, Syarah Ath Thahawiyah 558, Misykah 5696, Shahihul Jami’ 5210.
“ ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalau kalian melihat apa yang telah aku lihat niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.’ Para shahabat bertanya : ‘Apa gerangan yang engkau lihat, wahai Rasulullah ?’ Beliau berkata : ‘Aku telah melihat Surga dan Neraka.’ ”
Hadits ini diriwayatkan oleh :
-         Muslim dalam Kitabush Shalah bab Tahrimu Sabqil Imam, kitab 4 bab 25 hadits 112.
-         An Nasa’i dalam Kitabus Sahur bab An Nahyu ‘an Mubadaratil Imam, kitab 13 bab 103. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa’i 1291 dari Anas.
“ … aku melihat ke dalam Neraka, maka aku melihat penghuninya yang paling banyak adalah para wanita.”
Hadits ini diriwayatkan oleh :
-         Bukhari dalam kitab Bad’ul Khalq bab Maa Ja’a fi Shifatil Jannah (kitab 59 bab 8).
-         Tirmidzi dalam kitab Shifatil Jahannam bab Maa Ja’a Anna Aktsara Ahli Nar An Nisa’ (kitab 40 bab 11 hadits ke-2602), dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 2098 dari Ibnu Abbas.
-         Ahmad 2/297 dari Abu Hurairah. Dan hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahihul Jami’ 1030.
Penjelasan
Ahlus Sunnah wal Jamah meyakini bahwa Surga dan Neraka adalah makhluk Allah. Surga disediakan untuk orang-orang yang bertakwa lagi Mukmin. Sedangkan Neraka disediakan untuk orang-orang kafir. Sebagaimana tercantum dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Al Imam Al Hasan bin Ahmad Al ‘Athar Al Hamadzani dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abi Hatim berkata : “Aku bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah radhiallahu 'anhuma tentang madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dan mereka peroleh dari ulama di seluruh negeri.” Kemudian beliau menyebutkan secara global akidah keduanya dan berkata : “Surga dan Neraka itu benar, keduanya adalah makhluk, keduanya tidak akan binasa. Surga sebagai balasan untuk wali-wali-Nya dan Neraka sebagai hukuman bagi orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya, kecuali orang yang dirahmati.” (Dzikrul I’tiqad wa Dzammul Ikhtilaf halaman 910. Riyadlul Jannah bi Takhrij Ushulis Sunnah oleh Ibnu Zamain tahqiq Abdullah Al Bukhari halaman 134)
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Surga dan Neraka sudah ada sekarang meskipun golongan Mu’tazilah menentang permasalahan ini. Abul Hasan Al Asy’ari rahimahullah mengatakan bahwa telah terjadi perselisihan tentang Surga dan Neraka, apakah keduanya telah diciptakan atau belum. Maka Ahlus Sunnah meyakini bahwa keduanya telah diciptakan. Sedangkan mayoritas ahlul bid’ah menyatakan bahwa keduanya belum diciptakan. (Maqalat Al Islamiyyah 2/168)
Ibnu Abil ‘Izzi menyatakan : “Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa Surga dan Neraka adalah makhluk dan sudah ada sekarang. Ahlus Sunnah terus menerus dalam keadaan seperti itu. Kemudian muncul golongan Mu’tazilah dan Qadariyah yang mengingkarinya dan mengatakan bahwa Allah menciptakan Surga dan Neraka nanti di hari kiamat. Yang mendorong mereka berpendapat begitu adalah dasar pemikiran mereka yang rusak yang mereka jadikan syariat terhadap setiap perbuatan Allah. Misalnya ungkapan mereka bahwa “Allah harus berbuat begini dan begitu” atau “Allah tidak pantas berbuat begini dan begitu”. Mereka mengukur perbuatan Allah dengan perbuatan makhluk, sehingga mereka terjerumus menjadi kaum musyabihah (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dalam hal perbuatan Allah. Pemikiran Jahmiyah pun masuk kepada mereka sehingga mereka pun terjerumus pada mu’athilah (meniadakan sifat-sifat Allah). Mereka menyatakan bahwa apabila Surga diciptakan sebelum hari pembalasan, maka hal ini adalah perbuatan yang sia-sia karena Surga akan kosong dalam waktu yang lama. Mereka pun menolak dalil-dalil yang membantah pemahaman mereka yang rusak ini. Mereka menyimpangkan dalil-dalil dan menganggap sesat serta membid’ahkan orang yang membantah pendapat mereka. (Syarh Al Aqidah At Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, tahqiq Al Albani halaman 920 dan tahqiq Ahmad Syakir halaman 920)
Seorang Imam Ahus Sunnah wal Jamaah di masanya, yaitu Imam Abu Muhammad Al Hasan bin Ali Al Barbahari (wafat 329 H) menyatakan dalam Syarhus Sunnah : “Kita mengimani bahwa Surga dan Neraka adalah benar adanya, keduanya adalah makhluk. Surga berada di langit yang ketujuh dan atapnya adalah Arsy. Neraka di bawah bumi yang ketujuh. Keduanya telah diciptakan. Allah Maha Mengetahui tentang jumlah penduduk Surga dan orang yang masuk ke dalamnya dan jumlah penduduk Neraka. Keduanya tidak hancur dan akan kekal bersama Allah selama-lamanya.” (Syarhus Sunnah. Al Barbahari. Tahqiq Ar Radadi halaman 74)
Imam Abu Bakr Muhammad bin Al Husain Al Ajurri (wafat 360 H) mengatakan dalam kitabnya Asy Syari’ah : “Ketahuilah --semoga Allah merahmati kita semua-- sesungguhnya Al Qur’an bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menciptakan Surga dan Neraka sebelum menciptakan Adam ‘Alaihis Salam dan telah menciptakan bagi Surga penghuninya dan bagi Neraka demikian juga sebelum Dia menciptakan mereka ke dunia. Orang-orang yang dilingkupi Islam dan merasakan manisnya iman tidak berselisih dalam hal ini. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah, maka kita berlindung kepada Allah terhadap orang yang mendustakan hal ini.” (Asy Syari’ah. Al Ajurri halaman 345. Ta’liq Abdul Hamid Faqi)
Dalil-dalil yang menunjukkan sudah adanya Surga dan Neraka di dalam Al Qur’an pun banyak, di antaranya :
Allah berfirman :
“Maka takutlah kalian terhadap Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu yang telah disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah : 24)
“Sesungguhnya Kami telah menyediakan bagi orang-orang dhalim itu api Neraka yang pagarnya melingkupi mereka.” (Al Kahfi : 29)
“Dan telah Kami sediakan Jahannam untuk mereka dan Neraka Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (Al Fath : 6)
“Dan telah Kami sediakan Neraka Sa’ir bagi orang-orang yang telah mendustakan hari kiamat.” (Al Furqan : 11)
Demikianlah akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dibangun di atas Al Qur’an dan As Sunnah, bukan berdasarkan lamunan, khayalan, hasil pemikiran, simposium sehari atau yang sejenisnya.
Memohon Surga Dan Berlindung Dari Api Neraka
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda : “Barangsiapa memohon Surga kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala tiga kali maka Surga akan berkata : ‘Ya Allah masukkanlah dia ke dalam Surga.’ Dan barangsiapa memohon perlindungan dari Neraka tiga kali maka Neraka akan berkata : ‘Ya Allah, jauhkanlah dia dari Neraka.’ “ (HR. Tirmidzi dalam Sunan-nya kitab Shifatul Jannah bab Ma Ja’a fi Shifatin Nar wal Jannah 2572-Syakir. Dalam Shahih Tirmidzi 2079 Al Albani berkata : Shahih)
Dari ‘Adi bin Hatim (ia berkata) : “Aku mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Barangsiapa di antara kalian sanggup mendinginkan Neraka walau dengan separuh buah kurma maka hendaklah ia lakukan.’ “ (HR. Muslim dalam Shahih-nya. Kitabuz Zakat bab Al Hatstsu ‘alash Shadaqah nomor 1016)
Beberapa Sifat Para Penghuni Surga Dan Neraka
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Surga dan Neraka bertengkar. Surga berkata : ‘Yang masuk ke dalamku adalah orang-orang yang lemah dan miskin.’ Neraka berkata : ‘Yang masuk ke dalamku adalah orang-orang yang keras dan sombong.’ Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata kepada Neraka : ‘Engkau adalah adzab-Ku. Aku menyiksa denganmu siapa pun yang Aku kehendaki.’ Dan berkata kepada Surga : ‘Engkau adalah rahmat-Ku, Aku rahmati denganmu siapa pun yang Aku kehendaki.’ Dan masing-masing kalian akan Aku penuhi.’ “ (HR. Bukhari dalam Kitabut Tauhid bab 25 dari Abu Hurairah hadits 7449. Muslim dalam Kitabul Jannah bab An Nar Yadkhuluhal Jabbarun wal Jannah Yadkhuluhadl Dlu’afa nomor 34-36 dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id dan lain-lain)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Para penghuni Neraka adalah setiap orang yang kasar, gemuk sampai miring dalam berjalan dan orang yang sombong.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 6/169, 214 dari Abdullah bin ‘Amr. Al Hakim dalam Mustadrak-nya 2/499 dari Abdullah bin ‘Amr 3/619 dari Suraqah. Ath Thabrani dalam Al Kabir 6589 dari Suraqah. Lihat juga Shahihul Jami’ 2529 dan Ash Shahihah 1741)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Dua jenis penduduk Neraka yang belum pernah aku lihat, (yaitu) suatu kaum yang membawa cambuk-cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang dan para wanita yang memakai pakaian tapi telanjang, menyimpang dari ketaatan kepada Allah, kepala-kepala mereka seperti punuk onta yang miring. Mereka (para wanita) itu tidak akan masuk ke dalam Surga dan tidak mendapati baunya, padahal baunya tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim nomor 52, 125 atau 2128. Ahmad 2/356, 440 dan lain-lain. Lihat juga Shahihul Jami’ 3799 oleh Al Albani dan beliau menshahihkannya)
Dari Imran bin Hushain berkata : “Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Sesungguhnya penghuni Surga yang paling sedikit adalah para wanita.’ “ (HR. Muslim 95, 2738. An Nasa’i 385)
Perbandingan Antara Panasnya Api Dunia Dengan Api Neraka
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“ ‘Api kalian ini yang dinyalakan oleh anak Adam adalah satu bagian dari 70 bagian Neraka Jahannam.’ Ada shahabat yang berkata : ‘Wahai Rasulullah, ini saja sudah demikian keadaannya.’ Beliau bersabda : ‘Sesungguhnya yang lainnya ada 69 bagian lagi semuanya seperti itu panasnya.’ “ (HR. Malik dalam Muwaththa’ 2/324. Ahmad dalam Musnad-nya 2/467. Bukhari dalam kitab Bad’ul Khalqi bab Shifatin Nar hadits 3265. Muslim dalam Kitabul Jannah bab Fii Syiddati Narri Jahannam dan lain-lain. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Tirmidzi nomor 2088, 2089 dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id. Lihat juga At Ta’liqur Raghib 4/226 : Q)
Kerasnya Adzab Bagi Para Ahli Neraka
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiamat adalah para penggambar.” (HR. Bukhari dalam Kitabul Libas bab ‘Azabul Mushawirin Yaumal Qiyamah hadits 595 - Fath dari Ibnu Mas’ud. Muslim dalam Kitabul Libas bab Tahrim Tashwir hadits 98 atau 2109 dari Ibnu Mas’ud dan lain-lain. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa’i 9950 dan Ghayatul Maram 119)
Kekalnya Penduduk Surga Dan Neraka Serta Peristiwa Penyembelihan Maut
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Bila penduduk Surga dan penduduk Neraka (masing-masing) sudah masuk ke dalamnya, maut (kematian) didatangkan hingga dijadikan di antara Surga dan Neraka, kemudian disembelih. Setelah itu ada yang menyeru : ‘Wahai para penghuni Surga, tidak ada lagi kematian. Maka bertambahlah kegembiraan penghuni Surga. Wahai penghuni Neraka, tidak ada lagi kematian. Maka bertambahlah kesedihan penghuni Neraka.’ ” (HR. Bukhari dalam Kitabut Tafsir bab Wa Andzirhum Yaumal Nasyrah hadits 473 dari Abu Sa’id dan Kitabur Riqab bab Shifatul Jannah wan Nar hadits 6584 dari Ibnu Umar dan dalam lafadh Abu Sa’id : “(Maut itu) seperti kambing gemuk.” Muslim dalam Kitabul Jannah bab An Nar Yadkhuluhal Jabbarun hadits 143 dan 285 dari Ibnu Umar dan lain-lain. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Tirmidzi 2083 dan lihat ta’liq beliau dalam Adl Dla’ifah 2669)
Oleh karena itu alangkah bahayanya apa yang telah dilontarkan Dr. Yusuf Al Qardlawi di dalam kitabnya “Bagaimana bermu’amalah dengan Sunnah (Kaifa Nata’mal Ma’as Sunnah).” Halaman 160 (edisi berbahasa Arab). Di situ dia berkomentar dengan perkataan yang sangat rusak yaitu : “Bagaimana kematian itu bisa disembelih ? Atau kematian bisa mati ?” Oleh karena itu tidaklah berlebihan apabila Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hafidhahullah memasukkan Dr. Yusuf Al Qardlawi sebagai salah satu tokoh ‘aqlani (golongan yang mengutamakan akal dalam beragama).
Orang Bertauhid Yang Disiksa Di Neraka Akan Dikeluarkan Darinya
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Akan diadzab segolongan orang bertauhid sampai mereka menjadi abu, kemudian mereka mendapatkan rahmat sehingga mereka dikeluarkan dan dicampakkan ke pintu Surga. Para penghuni Surga akan menyiramkan air kepada mereka sehingga mereka tumbuh seperti tumbuhnya tanaman di tempat subur lalu mereka masuk Surga.” (HR. Tirmidzi dalam kitab Shifat Jahannam 2597 bab 10 dari Jabir radhiallahu 'anhu. Lihat Shahih Tirmidzi 2094 dan lain-lain)
Di antara faedah yang dapat dipetik dari penjelasan di atas adalah bantahan terhadap pendapat atau keyakinan yang menyatakan bahwa orang Islam yang masuk Neraka tidak akan keluar lagi. Pendapat mereka itu adalah sesat. Hendaklah mereka segera bertaubat kepada Allah dan kembali kepada pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah, sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat.
Demikianlah pembicaraan singkat tentang Surga dan Neraka. Sesungguhnya masih banyak dalil-dalil yang membicarakan tentang Surga dan Neraka tetapi cukuplah kiranya beberapa hadits yang shahih sebagai peringatan bagi kita semua.
Ya Allah ya Rabb kami, jauhkanlah kami dari Neraka-Mu dan masukkanlah kami ke Surga-Mu.
“Maka barangsiapa yang dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, sesungguhnya ia telah beruntung. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali Imran : 185)
Wallahu A’lam Bis Shawab.
HUKUM MERIWAYATKAN DAN MENGAMALKAN HADIST-HADIST DHA'IF
UNTUK FADHAA-ILUL A'MAL (KEUTAMAAN AMAL)
TARGHIB DAN TARHIB DAN LAIN-LAIN

Dalam membahas masalah ini saya bagi menjadi dua bagian :

PERTAMA
Menjelaskan beberapa kesalahan dan kejahilan dalam memehami perkataan sebagian ulama tentang mengamalkan hadist dhaif untuk fadhaa-ilul a'mal :
1.      Kebanyakan dari mereka menyangka bahwa masalah mengamalkan hadist-hadist dhaif untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib tidak ada khilaf lagi - tentang bolehnya- diantara para ulama. Inilah persangkaan yang jahil. Padahal , kenyataannya justru sebaliknya.
Yakni telah terjadi khilaf diantara mereka para ulama sebagaimana diterangkan secara luas di dalam kitab-kitab musthalah . dan menurut mazhab Imam Malik , Syafi'I , Ahmad bin Hambal , Yahya bin Ma'in, Abdurahman bin Mahdi , Bukhari , Muslim , Ibnu Abdil Baar , Ibnu Hazm dan para imam ahli hadist lainnya , mereka semua TIDAK MEMBOLEHKAN beramal dengan hadist dhaif SECARA MUTLAK meskipun untuk fadhailul a'mal dan lain-lain. Tidak syak lagi inilah mazhab yang haq. Karena tidak ada hujjah kecuali hadist-hadist yang telah tsabit dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam . Cukuplah saya turunkan perkataan Imam Syafi'I :" idza shohhal hadistu fahuwa mazhabiy" apabila telah sah suatu hadist . maka itulah mazhabku.
2.      Mereka memahami bahwa mengamalkan hadist dha'if itu untuk menetapkan (itsbat) tentang suatu amal. Baik mewajibkan , menyunatkan (mustahab) , mengharamkan atau memakruhkannya meskipun tidak datang nash dari Al kitab dan As Sunnah .
Seperti mereka telah menetapkan dengan hadist-hadist dha'if beberapa macam shalat sunat dan ibadah lainnya yang sama sekali tidak ada dalil shahih dari As Sunnah secara tafsil (terperinci) yang menerangkan tentang sunatnya. Kalaupun demikian pemahaman mereka dalam mengamalkan hadist-hadist dha'if untuk fadhaailul a'mal.
Allahumma ! Memang demikianlah yng selama ini mereka amalkan. Maka, jelaslah bahwa mereka telah menyalahi ijma ulama sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Karena barang siapa yang menetapkan (istbat) tentang sesuatu amal yang tidak ada nashnya dari al Kitab dan As Sunnah baik secara jumlah (garis besarnya) dan tafsil atau secara tafsil (rinci) saja, maka sesungguhnya ia telah membuat syariat yang tidak diizinkan oleh Allah Jalla wa 'Alaa.
Kepada mereka ini , Imam Syafi'I , telah memperingatkan dengan perkataannya yang masyhur :"man istahsana faqod syaro'a" - barang siapa yang menganggap baik (istihsan) - yakni tentang suatu amal yang tidak ada nash dan Sunnah - maka sesungguhnya ia telah membuat syariat baru !!!! Semoga Allah merahmati Imam Syafi'I yang terkenal dikalangan salaf sebagai naashirus sunnah (pembela sunnah).
Ketahuilah! Bahwa yang dimaksud oleh sebagian ulama boleh beramal dengan hadist-hadist dho'if untuk fadhail a'amal atau targhib dan tarhib , ialah apabila yelah datang nash yang shahih secara tafsil (rinci) yang menetapkan tentang suatu amal - baik wajib, sunat,haram atau makruh- kemudian datang hadist-hadist dho'if (yang ringan dho'ifnya) yang menerangkan tentang keutamaannya (fadha'il a'mal) atau targhib dan tarhib dengan syarat hadist-hadist tsb tidak sangat dho'if atau maudhu' (palsu), maka inilah yang dimaksud.
3.       Salah faham dengan perkataan Imam Ahmad bin Hambal dan ulama salaf lainnya yang semakna perkataannya dengan beliau yang menyatakan :
"Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tentang halal, haram , sunan (sunat-sunat) dan ahkam, KAMI KERASKAN (yakni kami periksa dengan ketat) sanad-sanadnya. Dan apabila kami meriwayatkan dari nabi shalallahu alaihi wa sallam tentang FADHA ILUL A'MAL dan tidak menyangkut hukum dan tidak marfu' (tidak disandarkan kepada beliau shalallahuu alaihi wa sallam ) KAMI PERMUDAH di dalam (memeriksa) sanad-sanadntya. (shahih riwayat Imam Al Khatib al Bhagdhadi dikitabnya al kifaayah fi ilmir riwaayah hal 134)
Perkataan Imam Ahmad diatas diriwayatkan juga oleh Imam-imam yang lain (banyak sekali) tetapi tanpa tambahan : dan yang tidak marfu . Maksudnya : Riwayat-riwayat mauquf (yakni perkataan dan perbuatan shahabat) atau riwayat-rwayat dari tabi'in dan atha'ut taabi'in. Kebanyakan dari mereka dalam memahami perkataan Imam Ahmad diatas, bahwa BELIAU MEMBOLEHKAN mengamalkan hadist-hadist dha'if untuk fadha ilul a'mal !!
Jelas sekali , pemahaman diatas keliru bila ditinjau dari beberapa sudut ilmiah, diantaranyaa ialah :" bahwa yang dimaksud oleh Imam Ahmad bin Hambal dengan tasahul (bermudah-mudah) dalam fadha ilul a'mal ialah hadist-hadist yang DERAJATNYA HASAN (bukan hadist-hadist dha'if meskipun ringan kelemahannya). Karena , hadist pada zaman beliau dan sebelumnya tidak terbagi kecuali menjadi 2 bagian : SHAHIH dan DHA'IF.

S
EDANGKAN HADIST DHA'IF TERBAGI PULA MENJADI 2 BAGIAN
PERTAMA : hadist-hadist dha'if yang ditinggalkan , yakni tidak dapat diamalkan atau dijadikan hujjah.
Kedua : Hadist-hadist dha'if yang dipakai, yakni dapat diamalkan atau dijadikan hujjah .
Yang terakhir ini kemudian dimasyhurkan dan ditetapkan sebagai salah satu bagian dari derajat hadist oleh Imam Tirmidzi dengan istilah HADIST HASAN. Jadi , Imam Tirmidzi yang PERTAMA KALI membagi derajat hadist menjadi bagian : SHAHIH , HASAN dan DHA'IF.
Demikianlah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qoyyim dan para ulama lainnya.

KEDUA
Menjelaskan kesalahan mereka yang TIDAK PERNAH memenuhi syarat-syarat yang telah dibuat oleh sebagian ulama dalam mengamalkan hadist dha'if untuk fadha ilul a'mal atau targhib dan tarhib.
Ketahuilah !! Sesungguhnya ulama-ulama kita yang TELAH MEMBOLEHKAN beramal dengan hadist-hadist dha'if di atas , telah membuat BEBERAPA PERSYARATAN yang SANGAT BERAT dan KETAT. Persayaratan tsb tidak akan dapat dipenuhi kecuali oleh mereka (ulama) yang membuatnya atau ulama-ulama yang memiliki kemampuan sangat tinggi dalam ilmu hadistnya (para muhadist).
Dibawah ini saya turunkan sejumlah persyaratan yang telah dibuat oleh para ulama kita Kemudian , saya iringi dengan beberapa keterangan yang sangat berfaedah. Insya Allahau ta'ala.
1.      Syarat pertama
Hadist tersebut khusus untuk fadhailul amal atau targhib dan tarhib. Tidak boleh untuk aqidah atau ahkam (spt hukum halal, haram ,wajib, sunat , makruh) atau tafsir Qur'an. Jadi , seorang yang akan membawakan hadist-hadist dho'if , terlebih dahulu HARUS MENGETAHUI mana hadist dha'if yang MASUK bagian fadha ilul a'mal dan mana hadist
dha'if yang masuk bagian aqidah atau ahkam.
Tentu saja persyaratan pertama ini CUKUP BERAT dan tidak sembarang orang dapat mengetahui perbedaan hadist-hadist dha'if diatas kecuali mereka YANG BENAR-BENAR AHLI HADIST.
Kenyataannya, kebanyakan dari mereka (khususnya kaum KHUTOBAA'- para penceramah / khotib) tidak mampu dan telah melanggar persyaratan pertama ini.
Berapa banyak hadist-hadist dho'if tentang aqidah dan ahkam yang mereka sebarkan melaului mimbar-mimbar dan tulisan-tulisan.!!!!
2.      Syarat kedua
Hadist tersebut TIDAK SANGAT DHOIF apalagi MAUDHU' , BATIL , MUNGKAR dan Hadist-hadist yang TIDAK ADA ASALNYA.
Yakni, yang boleh dibawakan hanyalah hadist-hadist yang ringan (kelemahannya). Persyaratan kedua ini LEBIH BERAT dan SULIT  dibandingkan dengan syarat yang pertama. Karena, untuk mengetahui suatu hadist itu derajatnya SHAHIH , HASAN, DHA'IF ringan , sangat  DHA'IF , dst.
Bukanlah pekerjaan yang mudah sebagaimana telah dimaklumi oleh mereka yang faham betul dengan ilmu yang mulia ini.
Pekerjaan tsb merupakan yang sangat berat sekali yang hanya dapat dikerjakan oleh para AHLI HADIST yang benar-benar ahli. Dan persyaratan kedua inipun DILANGGAR besar-besaran . Berapa banyak hadist yang batil dan mungkar , sangat dha'if , maudhu' ,dan tidakada asalnya yg mereka sebarkan dengan lisan maupun tulisan.
Anehnya orang-orang jahil ini kalau dinasehati oleh ahli ilmu dengan cepat mereka menjawab :"Dibolehkan untuk Fadha ilul a'mal". Lihatlah betapa sempurnanya kejahilan mereka !!!
3.      Syarat ketiga
Hadist tsb TIDAK BOLEH DI-I'TIQODKAN (diyakini) sebagai sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam sebab bisa terkena ancaman beliau : yakni berdusta atas nama beliau. (Dapat dibaca tulisan saya : Ancaman berdusta atas nama Nabi Shalallahu alaihi wa sallam). Persyaratan ketiga ini SAMA SEKALI tidak dapat dipenuhi, yang membawakan dan mendengarkan betul-betul MENYAKINI sebagai sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam
4.      Syarat keempat
Hadist tsb harus mempunyai dasar yang umum dari hadist yang shahih . Persyaratan yang ke-4 ini selain susah dan lagi-lagi mereka tidak dapat memenuhinya, juga apabila TELAH ADA hadist yang shahih untuk apalagi segala macam hadist-hadist yang dha'if.
5.      Syarat ke-5
Hadist tsb TIDAK BOLEH DIMASYHURKAN (DIPOPULERKAN). Menurut Imam ibnu
Hajar rahimahulllah , apabila hadist-hadist dha'if itu dipopulerkan, niscaya akan terkena ancaman berdusta atas nama nabi Shalallahu alaihi wa sallam.
Lihatlah ! Ramai-ramai mereka menyebarkan dan mempopulerkan hadist-hadist dha'if , sangat dha'if , bahkan maudhu' sehingga umat lebih mengenal hadist-hadist tsb daripada hadist shahih. Innalillahi wa inna ilahi rooji'un !! Alangkah terkenanya mereka dengan ancaman nabi Shalallahu alaihi wa sallam.
6.      Syarat ke-6
Wajib memberikan bayan (PENJELASAN) bahwa hadist tersebut dha'if saat menyampaikan atau membawakannya. Kalau tidak , niscaya mereka terkena kepada kepada ancaman menyembunyikan ilmu dan masuk ke dalam ancaman Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :" Ancaman berdusta atas nama Nabi Shalallahu alaihi wa sallam".
Demikian ketetapan para muhaqiq dari ahli hadist dan ulama ushul sebagaimana diterangkan oleh Abu Syaamah (baca Tamaamul minnah : Al Bani hal :32)
Inilah hukum orang yang "diam", tidak menjelaskan hadist-hadist dha'if yang ia bawakan untuk fadhailul a'mal.
Maka bagaimana dengan orang yang "diam" terhadap riwayat-riwayat yang bathil , sangat dha'if, atau maudhu untuk fadhailul a'mal ??? Benarlah para ulama kita - rahimahumullah- bahwa mereka terkena ancaman menyembunyikan ilmu dan berdusta atas nama nabi shalallahu alaihi wa sallam.
7.      Syarat ke-7
Dalam membawakannya TIDAK BOLEH menggunakan lafadz-lafadz jazm (yang menetapkan) seperti :"Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah bersabda atau mengerjakan sesuatu atau memerintahkan dan melarang dan lain-lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam BENAR-BENAR bersabda dst.
Tetapi wajib menggunakan lafadz TAMRIDH (yaitu lafadz yang TIDAK MENUNJUKKAN sebagai sesuatu ketetapan) , seperti :
Telah diriwayatkan dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam dan yang serupa dengannya dari lafadz tamridh sebagaimana telah dijelskan oleh imam Nawawi dalam muqoddimah kitabnya al majmu'syarah muhadzdzab (1/107) dan para ulama lainnya.
Persyaratannya yang terakhir ini , selain mereka tidak memiliki kemampuan , juga tidak bisa dipakai lagi pada jaman kita sekarang (dimana ilmu hadist sangat gharib / asing sekali).
Karena kebanyakan dari ahli ilmu sendiri (kecuali ahli hadist) teristimewa kaum khutobaa / para khatib dan orang awam tidak dapat membedakan antara lafadz jazm dan tamridh.
Dikutip dari risalah :
Berhati-Hati Dalam Meriwayatkan Hadist Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam Dan Beberapa Kesalahan Dalam Meriwayatkan Dan Hukum Meriwayatkan Dan Mengamalkan Hadist-Hadist Dhaif Untuk Fadhaa-Ilul A'mal , Tagrib Dan Tarhib Dan Lain-Lain
Maraaji' :
1)        Al Muhalla (1/2) Ibn Hazm
2)        Al-Fash fil-milal wal-ahwaa wan-nihal (2/222) Ibn Hazm , tahqiq Doktor muhammad Ibrahim Nashr dan Doktor Abdurrahman 'Umairah.
3)        Al-Majmu' Syarah Muhadz-dzab (1/101 dan 107) imam Nawawi.
4)        Majmu' Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (18/23-25 dan 65-66 dan 249, 1/250-252)
5)        A'laamul Muwaqi'in (1/31-32) Ibnul Qayyim.
6)        Al-Kifaayah fil-ilmir-riwaayah (hal: 133 dan 134) Imam Al Khatib al Bhagdadi.
7)        Al-Madkhal (hal :29) Imam Hakim.
8)        Muqaddimaha Ibnu Shallah (hal : 49) Imam Ibnu Shalah.
9)        An-Nukat 'ala Kitabi Ibnu Shalah (2/887-888) Ibnu Hajar
10)    Tadribur-raawi (1/298-299) Imam As Suyuthi
11)    Al-Qaulul- Badii'fish Shalaati alal Habibisy-Syafi'I (hal : 258-260 akhir kitab) Imam As Shakhaawiy.
12)    Qawwwa'idut tahdist (hal :113-121) Al Qaasimi.
13)    Taujihun Nazhar ila Ushulil Aatsar (hal 297)
14)    Al I'thishom (1/224-231) Imam Syaathibiy , tahqiq 'Allamah Sayyid Rasyid Ridha.
15)    Ikhtishar 'Ulumul Hadist (hal : 90-92) Ibnu Katsir tahqiq Ahmad Syakir.
16)    Muqoddimah al Adzkar (hal : 5-6) Imam Nawawi
17)    Tamaamul Minnah (hal : 32-40) al Albani
18)    Muqoddimah Shahih Jami'us Shaghir (1/44-51) Al Albani
19)    Muqoddimah Dho'if Jami'us Shaghir (1/44-51) Al Albani
20)    Silsilatul AhaadistAdh Dha'ifah wal Maudhu'ah (3/21-26) al Albani
21)    21. Muqaddimah Shahih Targhib , Al Albani.

Penulis : Ustadz Abdul Hakim Abdat
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
****************************************************************************************************
HUKUM MERIWAYATKAN HADITS-HADITS DHAIF UNTUK FADHAILUL A'MAL, TARGHIB DAN TARHIB
Sebagian dari kaum muslimin menyangka bahwa masalah mengamalkan hadits-hadits dhai'if untuk fadhaa-ilul  a'mal atau targhib dan tarhib tidak ada khilaf lagi -tentang bolehnya- diantara para ulama. Inilah persangkaan yang jahil. Padahal, kenyataannya justru kebalikannya, yakni telah terjadi khilaf diantara para ulama sebagaimana diterangkan secara luas di dalam kitab-kitab mushthalah. Dan menurut madzhab Imam Malik, Syafi'i, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma'in, Abdurrahman bin Mahdi, Bukhari, Muslim, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Hazm dan para imam ahli hadits lainnya, mereka semuat tidak membolehkan beramal dengan hadits dha'if secara mutlaq meskipun untuk fadhaa-ilul a'mal. Tidak syak lagi inilah madzhab yang haq. Karena tidak ada hujjah kecuali dari hadits-hadits yang telah tsabit dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Cukuplah perkataan Imam Syafi'i rahimahullahu ta'ala:
"Apabila telah shah sesuatu hadits, maka itulah madzhabku."
Adapun yang dimaksud oleh sebagian ulama bahwa boleh beramal dengan hadits-hadits dhai'if untuk fadhaa-ilil amal atau tarhib dan targhib ialah apabila telah datang nash yang shahih secara tafshil yang menetapkan (itsbat) tentang sesuatu amal, baik wajib, sunat, haram atau makruh, kemudian datang hadits-hadits dhai'if (yang ringan dha'ifnya) yang menerangkan tentang keutamaannya (fadhaa-ilul a'mal) atau tarhib dan targhibnya dengan syarat hadits-hadits tersebut tidak sangat dha'if atau maudhu' (palsu) maka inilah yang dimaksud oleh sebagian ulama: boleh beramal dengan hadits-hadits dha'if untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib. Akan tetapi para ulama yang membolehkan tersebut telah membuat beberapa persyaratan yang sangat berat dan ketat.
Syarat pertama: hadits tersebut khusus untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib, tidak boleh untuk akidah atau ahkaam atau tafsir Qur-an. Jadi seseorang yang akan membawakan hadits-hadits dha'if terlebih dahulu harus mengetahui mana hadits dha'if yang masuk bagian fadhaail dan mana hadits dha'if yang masuk bagian akidah atau ahkaam.
Syarat kedua: hadits tersebut tidak sangat dha'if apalagi hadits-hadits maudhu', bathil, mungkar dan hadits-hadits yang tidak ada asalnya. Untuk membawakannya seseorang harus dapat membedakan derajat hadits-hadits tersebut. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang-orang yang ahli dalam hadits.
Syarat ketiga: hadits tersebut tidak boleh diyakini sebagai sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam.
Syarat keempat: hadits tersebut harus mempunyai dasar yang umum dari hadits shahih
Syarat kelima: hadits tersebut tidak boleh dimasyhurkan (diangkat ke permukaan sehingga dikenal umat). Imam Ibnu Hajar rahimahullahu ta'ala mengatakan bahwa apabila hadits-hadits dhai'if itu dimasyhurkan niscaya akan terkena ancaman berdusta atas nama Nabi shalallahu 'alaihi wasallam.
Syarat keenam: wajib memberikan bayan (penjelasan) bahwa hadits tersebut dha'if saat menyampaikan atau membawakannya.
Syarat ketujuh: dalam membawakannya tidak boleh menggunakan lafadz-lafadz jazm (yang menetapkan), seperti: 'Nabi shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda' atau 'mengerjakan sesuatu' atau 'memerintahkan dan melarang' dan lain-lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wasallam benar-benar bersabda demikian. Tetapi wajib menggunakan lafadz tamridh (yaitu lafadz yang tidak menunjukkan sebagai suatu ketetapan). Seperti: 'Telah diriwayatkan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam' dan yang serupa dengannya dari lafadz tamridh sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam muqodimah kitabnya al majmu'syarah muhadzdzab (1/107) dan para ulama lainnya.
Jadi demikianlah, kita hendaklah tidak memudah-mudahkan meriwayatkan suatu hadits sampai kita yakin betul bahwa hadits tersebut benar-benar shahih dan apabila kita hendak membawakan hadits dha'if untuk fadhaa'ilul a'mal maka perhatikan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama kita seperti telah disebutkan di atas. Wallahu a'lam.
Rujukan: Majalah As-Sunnah No.03/Th.I Rajab 1413H, hal. 5-9.
Diedit ulang : Abdul Kholiq S
********************************************************************************************
HUKUM MERIWAYATKAN HADIST MAUDLU'/PALSU
Oleh
Abdul Hakim bin Amir Abdat

"Man haddatsaa 'annii (wafii riwaayatin : man rawaa 'annii) bihadiitsiy-yura (wafii lafdzin : yara) annahu kadzibbin, fahuwa ahadul-kadzibiina
(wafii lafdzin :al-kadzibayini)"
"Barangsiapa yang menceritakan dariku (dalam riwayat yang lain : meriwayatkan dariku) satu hadist yang ia sangka (dalam satu lafadz : yang ia telah mengetahui) sesugguhnya hadits tersebut dusta/palsu, maka ia termasuk salah seorang dari para pendusta (dalam satu lafadz : dua pendusta)"
TAKHRIJUL HADITS
Hadits ini derajadnya SHAHIH dan MASYHUR sebagaimana diterangkan oleh Imam Muslim di muqaddimah shahihnya (1/7).
Dan telah diriwayatkan oleh beberapa shahabat :
1. Samuroh bin Jundud
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Muslim (1/7), Ibnu Majah (No. 39) Ahmad (5/20), Ath-Tahayalis di musnadnya (Hal : 121 No. 895), Ath-Thahawi di kitabnya : Al-Musykilul Atsar" (1/75), Ibnu Abi Syaibah di mushannafnya (8/595), Ath-Thabrani di kitabnya "Al-Mu'jam Kabir" (7/215 No. 6757), Ibnu Hiban (No. 29) dan di kitabnya "Adl-Dlu'afaa" (1/7) dan Al-Khatib Baghdadi di kitabnya "Tarikh Baghdad" 4/161).
2. Mughirah bin Syu'bah
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Muslim (1/7), Ibnu Majah (No. 41), Tirmidzi (4/143-144 di kitabul ilmi), Ahmad 94/252,255), Ath-Thayalis (Hal : 95 No. 690), Ath-Thahawi di "Musykil" (1/175-176), Ibnu Hibban di kitabnya "Adl-Dlua'afaa" (1/7).
3. Ali bin Abi Thalib
Dikeluarkan oleh Imam-imam : Ibnu Majah (No. 38 & 40), Ibnu Abi Syaibah (8/595), Ahmad (1/113) dan Ath-Thahawi (1/175) di kitabnya "Musykilul Atsar").
Lafadz hadits dari riwayat Imam Muslim dan lain-lain, dan riwayat yang kedua (man rawa 'anni) dari mereka selain Muslim. Berkata Tirmidzi : Hadist Hasan Shahih.
LUGHOTUL HADITS :
Lafadz (yara) ada dua riwayat yang shahih.
1. Dengan lafadz "yura" didlomma huruf "ya" nya, maknanya "zhan" atinya : Ia sangka.
"Yakni : Hadits  tersebut baru ia "sangka-sangka" saja sebagai hadits palsu/maudlu, kemudian ia meriwayatkannya juga, maka ia termasuk kedalam ancaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas".
2. Dengan lafadz "yara" di fat-ha "ya" nya, yang maknanya "yu'lamu", artinya : Ia telah mengetahui.
"Yakni :  Hadits tersebut telah ia ketahui kepalsuannya, baik ia mengetahuinya sendiri sebagi ahli hadits atau diberitahu oleh Ulama ahli Hadits, kemudian ia meriwayatkan/membawakannya tanpa memberikan bayan/penjelasan akan kepalsuannya, maka ia termasuk ke dalam kelompok pendusta hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam".
Demikian juga lafadz "alkadzibiina" terdapat dua riwayat yang shahih :
  1. Dengan lafadz   "alkadzibiina"  hurup  "ba"  nya di kasro yakni dengan bentuk jamak.    Artinya : Para pendusta.
  2. Dengan   lafadz "alkadzibayina"  hurup  "ba"  nya di  fat-ha   yakni dengan  bentuk mutsanna (dua orang). Artinya : Dua pendusta. [Syarah Muslim : 1/64-65 Imam Nawawi]
SYARAH HADITS
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : (Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan dariku satu/sesuatu hadits saja), yakni baik berupa perkataan, perbuatan taqrir,atau apa saja yang disandarkan orang kepada Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam, apakah menyangkut masalah-masalah ahkam (hukum-hukum), aqidah, tafsir Qur'an, targhib dan tarhib atau keutamaan-keutamaan amal (fadlaa-ilul a'mal), tarikh/kisah-kisah dan lain-lain. (Yang ia menyangka/zhan) yakni sifatnya baru "zhan" tidak meyakini (atau ia telah mengetahui) baik ia sebagai ahli hadits atau diterangkan oleh ahli hadits (sesungguhnya hadits tersebut dusta/palsu), kemudian ia meriwayatkannya dengan tidak memberikan penjelasan akan kepalsuannya, (maka ia termasuk salah seorang dari pendusta/salah seorang dari dua pendusta) yakni yang membuat hadits palsu dan ia sendiri yang menyebarkannya.
Berkata Imam Ibnu Hibban dalam syarahnya atas hadits ini di kitabnya "Adl-Dlu'afaa" (1/7-8) : "Di dalam kabar (hadits) ini ada dalil tentang sahnya apa yang telah kami terangkan, bahwa orang yang menceritakan hadits apabila ia meriwayatkan apa-apa yang tidak sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, apa saja yang diadakan orang atas (nama) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan ia mengetahuinya, niscaya ia termasuk salah seorang dari pendusta".
Bahkan zhahirnya kabar (hadits) lebih keras lagi, yang demikian karena beliau telah bersabda: "Barangsiapa yang meriwayatkan dariku satu hadits padahal ia telah menyangka (zhan) bahwa hadits tersebut dusta". Beliau tidak mengatakan bahwa ia telah yakin hadits itu dusta (yakni baru semata-mata zhan saja). Maka setiap orang yang ragu-ragu tentang apa-apa yang ia marfu'kan (sandarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), shahih atau tidak shahih, masuk kedalam pembicaraan zhahirnya kabar (hadits) ini". (baca kembali keterangan Nawawi di Masalah ke 2).
Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berkata : Hadits ini mengandung beberapa hukum dan faedah yang sangat penting diketahui :
  1. Berdasarkan hadits shahih di atas dan hadist-hadits yang telah lalu dalam Masalah ke-2, maka Ulama-Ulama kita telah IJMA' tentang haramnya -termasuk dosa besar- meriwayatkan hadits-hadits maudlu' apabila ia mengetahuinya tanpa disertai dengan bayan/penjelasan tentang kepalsuannya.Ijma Ulama di atas menjadi hujjah atas kesesatan siapa saja yang menyalahinya. (Syarah Nukhbatul Fikr (hal : 84-85). Al-Qaulul Badi' fish-shalati 'Alal Habibisy Syafi'(hal : 259 di akhir kitab oleh Imam As-Sakhawi). Ikhtisar Ibnu Katsir dengan syarah Syaikh Ahmad Syakir (hal : 78 & 81) Qawaa'idut Tahdist (hal : 150 oleh Imam Al-Qaasimiy).
  2. Demikian juga orang yang meriwayatkan hadits yang ia sangka (zhan) saja hadits itu palsu atau ia ragu-ragu tentang kepalsuannya atau shahih dan tidaknya, maka menurut zhahir hadits dan fiqih Imam Ibnu Hibban (dan Ulama-ulama lain) orang tersebut salah satu dari pendusta. Menurut Imam Ath-Thahawiy diantara syarahnya terhadap hadits di atas di kitabnya "Musykilul Atsar" (1/176) : "Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan dasar ZHAN (sangkaan), berarti ia telah menceritakan (hadits) dari beliau dengan tanpa haq, dan orang yang menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang batil, niscaya ia menjadi salah seorang pendusta yang masuk kedalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Barangsiapa yang sengaja berdusta atas (nama)ku, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka". (baca kembali hadits-hadit tersebut di Masalah ke 2).
  3. Bahwa orang yang menceritakan kabar dusta, termasuk salah satu dari pendusta, meskipun bukan ia yang membuat kabar dusta tersebut (Nabi SAW telah menjadikan orang tersebut bersekutu dalam kebohongan karena ia meriwayatkan dan menyebarkannya.
  4. Menunjukkan bahwa tidak ada hujjah kecuali dari hadits-hadits yang telah tsabit (shahih atau hasan) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
  5. Wajib menjelaskan hadits-hadist maudlu'/palsu dan membuka aurat (kelemahan) rawi-rawi pendusta dan dlo'if dalam membela dan membersihakn nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentu saja pekerjaan yang berat ini wajib dipikul oleh ulama-ulama ahli hadits sebagai Thaaifah Mansurah.
  6. Demikian juga ada kewajiban bagi mereka (ahli hadits) mengadakan penelitian dan pemeriksaan riwayat-riwayat dan mendudukan derajad-derajad hadits mana yang sah dan tidak.
  7. Menunjukkan juga bahwa tidak boleh menceritakan hadits dari Rasulullah SAW kecuali orang yang tsiqah dan ahli dalam urusan hadits.
  8. Menunujukan juga bahwa meriwayatkan hadits atau menyandarkan sesuatu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukanlah perkara yang "ringan", tetapi sesuatu yang "sangat berat" sebagaimana telah dikatakan oleh seorang sahabat besar yaitu Zaid bin Arqam [Berkata Abdurrahman bin Abi Laila : Kami berkata kepada Zaid bin Arqam : " Ceritakanlah kepada kami (hadits-hadits) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam !. Beliau menjawab : Kami telah tua dan (banyak) lupa, sedangkan menceritakan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangatlah berat ". (shahih riwayat Ibnu Majah No. 25 dll)]. Oleh karena itu wajiblah bagi setiap muslim merasa takut kalau-kalau ia termasuk salah seorang pendusta atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan hendaklah mereka berhati-hati dalam urusan meriwayatkan hadits dan tidak membawakannya kecuali yang telah tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menurut pemeriksaan ahli hadits.
  9. Dalam hadits ini (dan hadits yang lain banyak sekali) ada dalil bahwa lafadz "hadits" dan maknanya telah ada ketetapan langsung dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sabda beliau :"Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan dariku satu HADITS....yakni : Segala sesuatu yang disandarkan kepadaku, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir dan lain-lain, maka inilah yang dinamakan hadits atau sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam".
  10. Menunjukan juga bahwa hadits apabila telah tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik hadits mutawatir atau hadits-hadits ahad, menjadi hujjah dalam aqidah dan ahkam (hukum-hukum) dan lain-lain. Demikian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dan tidak ada yang membedakan dan menyalahi kecuali ahlul bid'ah yang dahulu dan sekarang. Adapun ahlul bid'ah yang dahulu mengatakan (menurut persangkaan mereka yang batil) : Tidak ada hujjah dalam aqidah dan ahkam kecuali dengan hadits-hadits mutawatir !?. Demikian paham yang sesat dari sekelompok kecil Mu'tazilah dan Khawarij. Sedangkan ahlul bid'ah zaman sekarang mengatakan (menurut persangkaan mereka yang batil) : Untuk ahkam dengan hadits-hadits ahad, sedangkan untuk aqidah tidak diambil dan diyakini kecuali dari hadits-hadits mutawatir.
Kalau ditaqdirkan pada zaman kita sekarang ini tidak ada lagi orang yang memalsukan hadits (walaupun kita tidak menutup kemungkinannya), tetapi tidak sedikit bahkan banyak sekali saudara-saudara kita yang membawakan hadits-hadits yang batil dan palsu. Tersebarlah hadits palsu itu melalui mimbar para khotib, majelis-majelis dan tulisan di kitab-kitab dan majalah-majalah yang tidak sedikit membawa kerusakan bagi kaum muslimin. Innaa lillahi wa inna ilaihi raaji'un !
Mudah-mudahan hadits di atas dan hadits-hadits di Masalah ke 2 dapat memberikan peringatan dan pelajaran bagi kita supaya berhati-hati dalam menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aamiin ..!
"Kedudukan dan Penjelasan Hadits “Perselisihan Umatku adalah Rahmat”
Perselisihan dan kontradiksi pendapat yang mewarnai umat ini, seakan sudah menjadi perkara yang dianggap lumrah. Slogan-slogan dari sebagian orang yang mengatakan : “Perselisihan itu adalah rahmat, jadi diantara kita harus memiliki rasa toleransi”, atau “Kita saling tolong-menolong pada hal-hal yang kita sepakati dan kita bertoleransi pada hal-hal yang kita perselisihkan” pun turut menghiasi, seakan menyetujui perselisihan yang kian larut ini.
Sekilas slogan-slogan tersebut memberi kesejukan dan ketenangan jiwa manusia. Dengan dalih "... walaupun berselisih atau berbeda pemahaman, yang penting ukhuwah (persaudaraan) tetap terjalin." Walhasil ketika bermuamalah, mereka berusaha untuk tidak menyentuh perkara yang diperselisihkan demi menjaga keutuhan ukhuwah. Sekalipun perkara tersebut adalah sesuatu yang prinsip (jelas) hukumnya dalam agama. Sehingga amar ma’ruf nahi munkar sulit dijalankan, karena adanya rambu-rambu toleransi ala mereka.
Mereka tak sadar –bahwa dengan sikap seperti itu- justru melanggengkan perselisihan yang tajam pada umat ini.
Bila kita melihat realita yang ada, tidak sedikit dari kalangan muslimin yang terperosok jauh akibat perselisihan tersebut. Mereka tidak bisa menerima dan menjalani konsekwensi dari slogan-slogan di atas tadi (“perselisihan adalah rahmat” dan lain-lain). Perselisihan pun menjadi kian meruncing nan tajam.
Bahkan diantara mereka terjatuh dalam pertikaian, permusuhan, bersitegang urat sampai pada bentrokan fisik. Karena masing-masing pihak merasa bangga dan ingin memenangkan pendapat yang dipeganginya.
Semisal dalam hal pemilihan madzhab diantara imam yang empat. Baik dalam perkara aqidah, fiqih maupun muamalah. Sebagai contoh : “Si A tidak mau sholat di masjid yang berbeda madzhab” atau “si B tidak mau bermakmum di belakang si C karena madzhabnya berbeda”. Dan contoh-contoh lain yang telah melanda kehidupan umat Islam. Lalu apakah perselisihan yang demikian ini dikatakan sebagai “rahmat”?
Perkataan Ulama tentang Hadits ini
Al-Hadits merupakan sumber rujukan utama umat Islam setelah Al-Qur’an. Kedudukan Al-Hadits sedemikian penting, maka mengetahui keshohihan (kebenaran)nya adalah suatu konsekwensi logis. Namun dalam menentukan suatu hadits itu shohih atau tidak, bukanlah hal sepele. Oleh karena itu kita dilarang untuk sembarangan menukil hadits, jika belum pasti keshohihannya.
Ahlul Hadits adalah para ulama yang mereka memahami ilmu-ilmu seputar permasalahan hadits. Baik dari segi matan/redaksi hadits maupun sanad (deretan/rangkaian para perawi hadits yang bersambung sampai kepada Rasulullah). Ahlul Hadits berupaya keras untuk mengumpulkan, meneliti dan memisahkan hadits yang shohih dari yang dho’if (lemah) dan maudhu’ (palsu). Berikut penulis nukilkan perkataan Ahlul Hadits tentang sebuah hadits masyhur : “Perselisihan Umatku adalah Rahmat”.
Asy Syeikh Al Muhadits Nashiruddin Al Albani rohimahullah dalam Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah mengenai “hadits” ini, beliau berkata : “Hadits ini tidak ada asalnya”. Para muhadits sudah berupaya keras untuk mendapatkan sanad hadits ini tetapi mereka tidak mendapatkannya. Sampai beliau (Al Albani) berkata : “Al Munawi menukil dari As Subki bahwa dia berkata : “Hadits ini tidak dikenal oleh para muhadits, dan saya belum mendapatkannya baik dalam sanad yang shohih, dho’if, atau maudlu’.
Syaikh Zakariya Al Anshori menyetujuinya dalam ta’liq atas Tafsir Al Baidlawi 2/92 Qaaf (masih dalam manuskrif).
Makna hadits ini pun diingkari oleh para ulama peneliti hadits. Al ‘Allamah Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam Juz 5/hal 64 setelah beliau mengisyaratkan bahwasanya “ucapan” itu bukan hadits : “Ini adalah ucapan rusak yang paling rusak. Karena jika perselisihan itu rahmat, tentu kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang muslim pun yang mengatakan demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau perselisihan, rahmat atau dibenci. Di kesempatan lain beliau mengatakan : “batil dan dusta”. (Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah juz 1, hadits no 57 hal 141)
Dalam kitab Zajrul Mutahawin bi Adz Dzoror Qo’idatil Ma’dzaroh wa Ta’awun hal 32, yang ditulis oleh Hamad bin Ibrohim Al Utsman dan kitab ini telah dimuroja’ah (diteliti ulang) oleh Asy Syeikh Al Allamah Sholeh bin Fauzan Al Fauzan. Disebutkan bahwa : “Hadits ini lemah secara sanad dan matan. Tidak diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadits dengan lafadz ini.
Adapun yang masyhur adalah hadits “Perselisihan para shahabatku adalah rahmat”. Dan sebagian dari ulama ahli ushul menyebutkan hadits tersebut sebagaimana yang dilakukan Ibnul Hajib di dalam Mukhtashornya tentang ushul fiqih.
Berkata Abu Muhammad ibnu Hazm : “Adapun hadits yang telah disebutkan “Perselisihan umatku adalah rahmat” adalah kebatilan dan kedustaan yang bermuara dari orang yang fasik.” (Al Ahkam fi Ushulil Ahkam 5/61)
Al Qoshimy mengomentari (sanad dan matan) hadits ini, dalam kitab Mahasinut Ta’wil 4/928 : “Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa hadits ini tidak dikenal keshohihan sanadnya. At Thobrony dan Al Baihaqy meriwayatkannya di dalam kitab Al Madkhol dengan sanad yang lemah dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’.
Adapun ‘ilat (kelemahan) hadits ini adalah :
  1. Adanya perawi yang bernama Sulaiman bin Abi Karimah, Abu Hatim Ar Rozy melemahkannya.
  2. Perawi yang bernama Juwaibir, dia seorang Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya) sebagaimana yang dinyatakan Nasa’i, Daruquthny. Dia meriwayatkan dari Adh Dhohhak perkara-perkara yang palsu termasuk “hadits” ini.
  3. Terputusnya (jalur riwayat) antara Adh Dhohhak dan Ibnu ‘Abbas.Berkata sebagian ulama : “Hadits ini menyelisihi nash-nash ayat dan hadits, seperti firman Allah Ta’ala : “Dan mereka senantiasa berselisih kecuali orang yang yang dirahmati Robbmu” dan sabda Rasulullah “Janganlah kalian berselisih, maka akan berselisih hati-hati kalian” (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan dikeluarkan di dalam Sunan Abu Daud oleh Asy Syeikh Al Albani) dan hadits-hadits yang lain banyak sekali. Maka kesimpulannya bahwa kesepakatan (di atas kebenaran) itu lebih baik daripada perselisihan.
Penutup
Setiap muslim yang mengaku beriman kepada Allah dan hari Akhir, niscaya akan menyatakan bahwa dirinya cinta kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Namun cinta tidaklah cukup di lisan saja. Bahkan harus diwujudkan dalam amal perbuatan. Salah satu bukti cinta kita kepada Beliau adalah tidak lancang/berani dalam menukil suatu ucapan, lalu mengatasnamakan Rasulullah. Hendaklah takut akan ancaman Beliau : “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menempatkan tempat duduknya dari api neraka”. (HR.Bukhori)
Alhamdulillah dari penjelasan Ahlul Hadits di atas, dapat diketahui bahwa hadits “Perselisihan umatku adalah rahmat” ternyata bukan merupakan sabda Rasulullah. Atau disebut juga hadits maudhu’. Padahal hadits ini sangat tenar dan menyebar bahkan menjadi pegangan para aktivis dakwah. Namun sebagai seorang muslim yang mau menerima kebenaran, tentulah akan bersegera meninggalkan hadits ini, sebagai salah satu wujud cinta dia kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Allah berfirman : “Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imron : 103)
Al Hafidz Ibnu Katsir rohimahullah berkata : “Allah telah memerintahkan kepada mereka (umat Islam) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak hadits juga terdapat larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu dan berkumpul (di atas kebenaran).” (Tafsir Ibnu Katsir 1/367)
Sesungguhnya tidak terdapat satu dalilpun dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan bahwa perselisihan itu adalah rahmat. Maka sikap menyetujui perselisihan dan menganggapnya sebagai rahmat, justru menyelisihi nash-nash mulia, yang jelas-jelas mencela terjadinya perselisihan. Adapun yang ridho dengan perselisihan tersebut, tidaklah mereka memiliki sandaran dalil melainkan berpegang pada “hadits” yang maudhu’ ini. Wallahul muwafiq ila sabilish showab.
(Sumber : Buletin Jum’at Al Jihad, diterbitkan Yayasan As Salaf Samarinda. Telpon (0541) 7010648. Penulis Al Ustadz Abu Abdurrahman Abdul Aziz As Salafy. Judul asli "Kedudukan dan Penjelasan Hadits “Perselisihan Umatku adalah Rahmat”. )
Abu Almaqri
Kelemahan hadist tahrik dalam tasyahud
Pertanyaan No. 1 :
Terlihat dalam praktek sholat, ada sebagaian orang yang menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud dan ada yang tidak menggerak-gerakkan. Mana yang paling rojih (kuat) dalam masalah ini dengan uraian dalilnya?.
Pertanyaan No.2 :
Dikalangan masyarakat ada sebagian orang yang berisyarat dengan jari telunjuknya pada saat duduk antara dua sujud sebagaimana berisyarat dengan jari telunjuk pada saat tasyahud, apakah hal tersebut ada tuntunan dalilnya dari hadits Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam?.
Pertanyaan No.3 :
Apakah ada tuntunan dalam hadits Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam ketentuan bahwa ketika disebutkan
لا إله إلا الله , jari telunjuk mulai diangkat pada ucapan إلا الله (tepatnya di ucapan huruf hamzah) ?.
Jawab : Oleh : Ust. Abu Muhammad Dzulqarnain

Fenomena semacam ini yang berkembang luas di tengah masyarakat merupakan satu hal yang perlu dibahas secara ilmiah. Mayoritas masyarakat yang jauh dari tuntunan agamanya, ketika mereka berada dalam perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah agama sering disertai dengan debat mulut dan mengolok-olok yang lainnya sehingga kadang berakhir dengan permusuhan atau perpecahan. Hal ini merupakan perkara yang sangat tragis bila semua itu hanya disebabkan oleh perselisihan pendapat dalam masalah furu’ belaka, padahal kalau mereka memperhatikan karya-karya para ulama seperti kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawy, kitab Al-Mughny karya Imam Ibnu Qudamah, kitab Al-Ausath karya Ibnul Mundzir, Ikhtilaful Ulama karya Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dan lain-lainnya, niscaya mereka akan menemukan bahwa para ulama juga memiliki perbedaan pendapat dalam masalah 'Ibadah, mu'amalah dan lain-lainnya, akan tetapi hal tersebut tidaklah menimbulkan perpecahan maupun permusuhan diantara mereka. Maka kewajiban setiap muslim dan muslimah adalah mengambil segala perkara dengan dalilnya. Wallahul Musta’an.

Adapun masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud atau tidak mengerak-gerakkannya, rincian masalahnya adalah sebagai berikut :

Hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk ketika tasyahud ada tiga jenis :
1. Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali.
2. Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan.
3. Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk hanya sekedar diisyaratkan (menunjuk) dan tidak dijelaskan apakah digerak-gerakkan atau tidak.

Namun perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk kebanyakannnya adalah dari jenis yang ketiga dan tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan tidak ada keraguan lagi tentang shohihnya hadits-hadits jenis yang ketiga tersebut, karena hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary, Imam Muslim dan lain-lainnya, dari beberapa orang sahabat seperti ‘Abdullah bin Zubair, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Humaid As-Sa’idy, Wa`il bin Hujr, Sa’ad bin Abi Waqqash dan lain-lainnya.

Maka, yang perlu dibahas disini hanyalah derajat hadits-hadits jenis pertama (tidak digerakkan sama sekali) dan derajat hadits yang kedua (digerak-gerakkan).

Hadits-Hadits Yang Menyatakan Jari Telunjuk Tidak Digerakkan Sama Sekali Sepanjang pemeriksaan kami, ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut.

HADITS PERTAMA

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا
“Sesungguhnya Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasa`i dalam Al-Mujtaba 3/37, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no. 638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no. 676. Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.

Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini Sebagai Berikut :
1. Hajjaj bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawakib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya.

2. Ibnu Juraij. Nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata Akhbarani (memberitakan kepadaku).
3. Muhammad bin ‘Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur).

4. ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah).
‘Abdullah bin Zubair. Sahabat.
Derajat Hadits
Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari ‘Illat (cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz "laa yuharrikuha" (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz.
Sebelum kami jelaskan dari mana sisi syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk :
Pertama : Syadz karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena beberapa faktor.
Kedua : Syadz karena menyelisihi. Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah

رِوَايَةُ الْمَقْبُوْلِ مُخَالِفًا لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ
“Riwayat seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya”.

Maksud “rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud “rawi yang lebih utama” adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah.
Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dho’if (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits.
Maka kami melihat bahwa lafadz "laa yuharrikuha" (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan karena beberapa perkara :

1. Muhammad bin ‘Ajlan walaupun ia seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi hafalannya.

2. Riwayat Muhammad bin ‘Ajlan juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).

Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut adalah :

* Al-Laits bin Sa’ad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131.
* Abu Khalid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashabul Hadits hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, ‘Abd bin Humaid no.99.

* Yahya bin Sa’id Al-Qoththon, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990, An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu ‘Awanah 2/247 dan Al-Baihaqy 2/132.

* Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879.

Demikianlah riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya dari Muhammad bin ‘Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) akan tetapi Muhammad bin ‘Ajlan dalam riwayat Ziyad bin Sa’ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
Ada tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari ‘Amir bin ‘Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin ‘Ajlan juga meriwayatkan dari ‘Amir ini akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan), maka ini menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Ajlan yang menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut, oleh karenanya riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut. Tiga orang ini adalah :

* ‘Utsman bin Hakim, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194-195 dan Abu ‘Awanah 2/241 dan 246.
* Ziyad bin Sa’ad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879.
* Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.
Maka tersimpul dari sini bahwa penyebutan lafadz "laa yuharrikuha" (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits ‘Abdullah bin Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad bin ‘Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin Sa’ad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang tersebut di atas sangat kuat menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari Muhammad bin ‘Ajlan. Wallahu A’lam.

HADITS YANG KEDUA

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَيُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ وَلاَ يُحَرِّكُهَا وَيَقُوْلُ إِنَّهَا مُذِبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُوْلُ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah shollallohu 'alaihi wassalam mengerjakannya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.

Derajat Hadits

Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqot (orang-orang terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), kalimat ini bermakna Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama.
Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.

Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, melainkan dari ‘Ali bin ‘Abdurrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :

1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.

2. Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.

3. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.

4. Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.

5. Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.
‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.

6. Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz "laa yuharrikuha" (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :

pertama: Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).

kedua:Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.

Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.

Kesimpulan :
Seluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Hadits-Hadits Yang Menyatakan Bahwa Jari Telunjuk Digerak-Gerakkan Sepanjang pemeriksaan kami, hanya ada satu hadits yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan yaitu hadits Wa`il bin Hujr dan lafadznya sebagai berikut :

ثُمَّ قَبَضَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَحَلَقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهِِ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْ بِهَا
“Kemudian beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent.), maka saya melihat beliau mengerak-gerakkannya berdoa dengannya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasa`i 2/126 dan 3/37 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’ no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860 dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427. Semuanya meriwayatkan dari jalan Za`idah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.

Derajat Hadits

Zhohir sanad hadits ini adalah hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan belum tentu selamat dari ‘illat (cacat) dan syadz. Berangkat dari sini perlu diketahui oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz dan penjelasannya adalah bahwa : Za`idah bin Qudamah adalah seorang rawi tsiqoh yang kuat hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang rawi ini semuanya tsiqoh bahkan sebagian dari mereka itu lebih kuat kedudukannya dari Za`idah sehingga apabila Za`idah menyelisihi seorang saja dari mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab syadznya riwayat Za`idah.
Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan).

Dua puluh dua rawi tersebut adalah :
1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.

2. Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.

3. Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.

4. Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.

5. ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.

6. ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.

7. Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.

8. Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.

9. Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
10. Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.

11. Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.

11. Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
12. Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.
13. Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
14. ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.

15. Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
16. Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
17. Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.

18. ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.

19. Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.

20. ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.

21. Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Za`idah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharikuha (digerak-gerakkan) adalah syadz.

Kesimpulan :
Penyebutan lafazh "yuharrikuha" (jari telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wa`il bin Hujr adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Wallahu A’lam.
Pendapat Para Ulama Dalam Masalah Ini

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud dan perbedaan tersebut terdiri dari tiga pendapat :
Pertama : Tidak digerak-gerakkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang paling kuat dikalangan orang-orang Syafiiyyah dan Hanbaliyah dan ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm.
Kedua : Digerak-gerakkan. Dan ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan orang-orang Malikiyyah dan disebutkan oleh Al-Qodhi Abu Ya’la dari kalangan Hanbaliyah dan pendapat sebagian orang-orang Hanafiyyah dan Syafiiyyah.
Ketiga : Ada yang mengkompromikan antara dua hadits di atas. Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullahu ta’ala- dalam Syarah Zaad Al-Mustaqni’ mengatakan bahwa digerak-gerakkan apabila dalam keadaan berdoa, kalau tidak dalam keadaan berdoa tidak digerak-gerakkan. Dan Syaikh Al-Albany -rahimahullahu Ta’ala- dalam Tamamul Minnah mengisyaratkan cara kompromi lain yaitu kadang digerakkan kadang tidak.

Sebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua hadits yang berbeda kandungan maknanya, ada yang menyebutkan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan dan ada yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan. Namun dari pembahasan di atas yang telah disimpulkan bahwa hadits yang menyebutkan jari digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah dan demikian pula hadits yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah. Adapun cara kompromi yang disebutkan dalam pendapat yang ketiga itu bisa digunakan apabila dua hadits tersebut di atas shohih bisa dipakai berhujjah tapi karena dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah maka kita tidak bisa memakai cara kompromi tersebut, apalagi hadits yang shohih yang telah tersebut di atas bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam hanya sekedar berisyarat dengan jari telunjuk beliau. Maka yang akan kita bahas disini adalah apakah pada lafadz (Yusyiru) yang artinya berisyarat terdapat makna mengerak-gerakkan atau tidak. Penjelasannya adalah bahwa kata “berosyarat” itu mempunyai dua kemungkinan :
Pertama : Dengan digerak-gerakkan. Seperti kalau saya memberikan isyarat kepada orang yang berdiri untuk duduk, maka tentunya isyarat itu akan disertai dengan gerakan tangan dari atas ke bawah.

Kedua : Dengan tidak digerak-gerakkan. Seperti kalau saya berada dalam maktabah (perpustakaan) kemudian ada yang bertanya kepada saya : “Dimana letak kitab Shohih Al-Bukhary?” Maka tentunya saya akan mengisyaratkan tangan saya kearah kitab Shohih Al-Bukhary yang berada diantara sekian banyak kitab dengan tidak menggerakkan tangan saya.
Walaupun kata “berisyarat” itu mengandung dua kemungkinan tapi disini bisa dipastikan bahwa berisyarat yang diinginkan dalam hadits tersebut adalah berisyarat dengan tidak digerak-gerakkan. Hal tersebut bisa dipastikan karena dua perkara :

Pertama : Ada kaidah di kalangan para ulama yang mengatakan Ash-Sholatu Tauqifiyah (sholat itu adalah tauqifiyah) maksudnya tata cara sholat itu dilaksanakan kalau ada dalil dari Al-Qur`an maupun As-Sunnah. Maka hal ini menunjukkan bahwa asal dari sholat itu adalah tidak ada gerakan di dalamnya kecuali kalau ada tuntunan dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dan demikian pula berisyarat dengan jari telunjuk, asalnya tidak digerakkan sampai ada dalil yang menyatakan bahwa jari telunjuk itu diisyaratkan dengan digerakkan dan telah disimpulkan bahwa berisyarat dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk adalah hadits lemah.
Maka yang wajib dalam berisyarat itu dengan tidak digerak-gerakkan.

Kedua : Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim :

إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً
“Sesungguhnya di dalam sholat adalah suatu kesibukan”

Maka ini menunjukkan bahwa seorang muslim apabila berada dalam sholat ia berada dalam suatu kesibukan yang tidak boleh ditambah dengan suatu pekerjaan yang tidak ada dalilnya dari Al-Qur`an atau hadits Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam yang shohih.

Kesimpulan :
Tersimpul dari pembahasan di atas bahwa pendapat yang rojih tentang keadaan jari telunjuk dalam berisyarat (menunjuk) ketika tasyahud adalah tidak digerakkan. Wallahu A’lam.

Lihat pembahasan di atas dalam :
Kitab Al-Bisyarah Fi Syudzudz Tahrik Al-Usbu’ Fi Tasyahud Wa Tsubutil Isyarah, Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 4/151, Subulus Salam 1/189, Nailul Authar, ‘Aunul Ma’bud 3/196, Tuhfah Al-Ahwadzy 2/160.
Madzhab Hanafiyah lihat dalam : Kifayah Ath-Tholib 1/357.
Madzhab Malikiyah : Ats-Tsamar Ad-Dany 1/127, Hasyiah Al-Adawy 1/356, Al-Fawakih Ad-Dawany 1/192.
Madzhab Syafiiyyah dalam : Hilyah Al-Ulama 2/105, Raudhah Ath-Tholibin 1/262, Al-Majmu’ 3/416-417, Al-Iqna’ 1/145, Hasyiah Al-Bujairamy 1/218, Mughny Al-Muhtaj 1/173.
Madzhab Hambaliyah lihat dalam : Al-Mubdi’ 1/162, Al-Furu’ 1/386, Al-Inshaf 2/76, Kasyful Qona 1/356-357.
Jawab terhadap pertanyaan 2

Ada hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut, yaitu hadits Wa`il bin Hujr yang berbunyi :

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرِ قَالَ ثُمَّ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فَرَفَعََ يَدَيْهِ حِيْنَ كَبَّرَ يَعْنِيِ اسْتَفْتَحَ الصَّلاَةَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ رَكَعَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ قَالََ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَسَجَدَ ... ثُمَّ جَلَسَ فَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى ثُمَّ وَضَعَ يَدَيْهِ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ ذِرَاعَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ أَشَارَ بِسَبَابَتِهِ وَوَضَعَ الإِْ بْهَامَ عَلَى الْوُِسْطَى فَأَتَى سَائِرَ أَصَابِعِهِ ثُمَّ سَجَدَ ...
“Saya melihat Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam takbir lalu beliau mengangkat tangannya ketika takbir, yakni beliau memulai sholat dan beliau mengangkat kedua tangannya ketika beliau takbir dan mengangkat kedua tangannya ketika beliau ruku’ dan mengangkat tangannya ketika beliau berkata : “Samiallahu liman hamidah” dan beliau sujud kemudian meletakkan tangannya sejajar dengan kedua telinga beliau kemudian beliau sujud … kemudian beliau duduk membaringkan kaki kirinya kemudian beliau meletakkan kedua tangannya, yang kiri di atas lututnya yang kiri dan meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya kemudian beliau berisyarat dengan jari telunjuknya dan meletakkan ibu jari di atas jari tengah kemudian beliau menggenggam seluruh jari-jarinya kemudian beliau sujud …”.

Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Abdur Razzaq dalam Al-Mushonnaf 2/68 no.2522, Ahmad dalam Musnadnya 4/317 dan lafadz di atas adalah lafadz beliau, Ath-Thobarany 22/34 no.81 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/429-430. Semua meriwayatkan dari ‘Abdur Razzaq dari Sufyan Ats-Tsaury dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.
Hadits ini merupakan kunci penyelesaian dalam permasalahan ini, apabila hadits ini shohih (bisa diterima) maka berisyarat dengan telunjuk dalam duduk antara dua sujud adalah perkara yang disyariatkan tapi sebaliknya bila hadits ini lemah maka artinya perkara tersebut tidaklah disyariatkan, karena itulah kami mengajak untuk melihat derajat hadits ini.

Derajat Hadits Berisyarat Saat Duduk Diantara Dua Sujud
Telah dijelaskan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan yang meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib ada 23 orang rawi dimana 23 orang rawi ini sepakat menyebutkan bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berisyarat dengan jari telunjuknya, akan tetapi ada tiga bentuk riwayat yang menjelaskan tempat berisyarat dengan telunjuk pada riwayat mereka :

Pertama : Ada riwayat yang menjelaskan bahwa tempat berisyarat hanya ketika tasyahud dan hal ini tersebut dalam riwayat Musa bin Abi Katsir dan sebagian riwayat Syu’bah bin Hajjaj, Ibnu ‘Uyainah dan ‘Abdullah bin Idris.

Kedua : Riwayat yang tidak menjelaskan dimana letak berisyarat dengan telunjuk tersebut tapi Zhohirnya hal tersebut dalam tasyahud. Bisa dilihat dalam riwayat Bisyr bin Mufadhdhal, Sufyan Ats-Tsaury, ‘Abdul Wahid bin Ziyad, Zuhair bin Mu’awiyah, Khalid bin ‘Abdullah Ath-Thahhan, Muhammad bin Fudhail, Sallam bin Sulaim, Abu ‘Awanah, Ghailan bin Jami’, Qois bin Rabi’, Musa bin Abi Katsir.

Ketiga : Dua riwayat di atas diselisihi oleh ‘Abdur Razzaq dalam periwayatannya dari Sufyan Ats-Tsaury dari ‘Ashim dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr kemudian menyebutkan isyarat dengan jari telunjuk pada duduk antara dua sujud.
Dari uraian di atas sangat jelas bahwa riwayat ‘Abdur Razzaq dari Sufyan Ats-Tsaury yang menjelaskan bentuk ketiga. Telah meyelisihi riwayat 22 orang rawi yang menjelaskan bentuk pertama maupun kedua. Maka bisa dipastikan bahwa riwayat ‘Abdur Razzaq terdapat kesalahan yang menyebabkan penyebutan berisyarat dengan telunjuk ketika duduk antara dua sujud dianggap syadz, sehingga riwayat ini tidak bisa diterima. Kesalahan yang terjadi dalam hadits ini mungkin berasal dari Sufyan Ats-Tsaury dan mungkin dari ‘Abdur Razzaq.
Akan tetapi meletakkan kesalahan pada ‘Abdur Razzaq adalah lebih beralasan karena dua hal :
Pertama :‘Abdur Razzaq walaupun seorang rawi tsiqoh (terpercaya) dan hafidz (seorang penghafal) akan tetapi beliau mempunyai awham (kesalahan-kesalahan) yang menyebabkan sebagian para ulama mengkritik beliau.

Kedua : ‘Abdur Razzaq telah menyelisihi dua rawi dari Sufyan Ats-Tsaury yang kedua rawi tersebut meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsaury dan keduanya tidak menyebutkan isyarat pada duduk antara dua sujud.

Dua rawi tersebut adalah :
1. Muhammad bin Yusuf Al-Firyaby, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasa`i 3/35 dan Al-Kubro 1/374 no. 1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.

2. Abdullah bin Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318.

Riwayat dua orang rawi ini khususnya Al-Firyaby yang termasuk orang yang paling hafal riwayat-riwayat Sufyan Ats-Tsaury, sehingga semakin menguatkan bahwa riwayat ‘Abdur Razzaq adalah riwayat syadz. Maka jelaslah lemahnya riwayat ini yang dijadikan sebagai dalil disyariatkannya berisyarat dengan telunjuk pada duduk antara dua sujud. Karena itulah riwayat ini telah dilemahkan oleh dua orang ulama besar ahli hadits zaman ini yaitu Syaikh Al-Albany -rahimahullahu Ta’ala- dan Syaikh Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy -rahimahullahu Ta’ala-.

Kesimpulan
Tidak disyariatkan mengangkat telunjuk pada saat duduk antara dua sujud karena hadits yang menjelaskan hal tersebut adalah hadits syadz (lemah).
Lihat : Al-Bisyarah hal.75-77 dan Tamamul Minnah hal.214-216.
Jawab terhadap pertanyaan No. 3:
Madzhab kebanyakan orang-orang Syafi'iyyah menyatakan bahwa disunnahkan berisyarat dengan jari telunjuk kemudian diangkat jari telunjuk tersebut ketika mencapai kata hamzah (
إ ) dari kalimat لا إله إلا الله. Hal ini disebutkan oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 3/434 dan dalam Minhaj Ath-Tholibin hal.12.
Dan hal yang sama disebutkan oleh Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 1/362 dan beliau tambahkan bahwa hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy. Namun tidak ada keraguan bahwa yang disyariatkan dalam hal ini adalah mengangkat jari telunjuk dari awal tasyahud hingga akhir. Hal ini berdasarkan hadits-hadits shohih yang sangat banyak jumlahnya yang telah tersebut sebagiannya pada jawaban pertanyaan no.1 yang menjelaskan bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam ketika duduk tasyahud beliau menggenggam jari-jari beliau lalu membuat lingkaran kemudian mengangkat telunjuknya, maka dzohir hadits ini menunjukkan beliau mengangkat jari telunjuk dari awal tasyahud sampai akhir.
Adapun bantahan terahadap madzhab orang-orang Syafi'iyyah maka jawabannya adalah sebagai berikut :

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy itu adalah hadits Khafaf bin Ima’ dan di dalam sanadnya ada seorang lelaki yang tidak dikenal maka ini secara otomatis menyebabkan hadits ini lemah.

2. Hal yang telah disebutkan bahwa dzohir hadits-hadits yang shohih menunjukkan bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam mengangkat jari telunjuk dari awal hingga akhir menyelisihi hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqy tersebut sehingga ini semakin mempertegas lemahnya riwayat Al-Baihaqy tersebut.

3. Orang-orang Syafiiyyah sendiri tidak sepakat tentang sunnahnya mengangkat jari telunjuk ketika mencapai huruf hamzah (
إ ) dari kalimat لا إله إلا الله , karena Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 3/434 menukil dari Ar-Rafi’y (salah seorang Imam besar dikalangan Syafiiyyah) yang menyatakan bahwa tempat mengangkat jari telunjuk adalah pada seluruh tasyahud dari awal hingga akhir.

4. Hal yang disebutkan oleh orang Syafiiyyah ini tidak disebutkan di dalam madzhab para ulama yang lain. Ini menunjukkan bahwa yang dipakai oleh para ulama adalah mengangkat jari telunjuk pada seluruh tasyahud dari awal hingga akhir.

Kesimpulan :

Jadi yang benar di dalam masalah ini adalah bahwa jari telunjuk disyariatkan untuk diangkat dari awal tasyahud hingga akhir dan tidak mengangkatnya nanti ketika mencapai huruf hamzah ( إ
) dari kalimat لا إله إلا الله . Wallahu A’lam..

Mengenal
Hadits-Hadits Dhoif !

Melengkapi khazanah keilmuan kita tentang hadits-hadits yang lemah tampaknya sangat dibutuhkan di zaman ini. Tanpa tahu derajat sebuah hadits, kita akan sembarangan dalam mengambil segala hal yang disandarkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, padahal beliau tidak pernah mengatakan, mengerjakan atau membenarkan hal tersebut. Parahnya di masyarakat kita begitu banyak hadits lemah bahkan palsu yang beredar.
Beberapa hadits mungkin akrab di telinga kita, namun setelah diberi penilaian oleh ulama hadits, ternyata bukan hadits yang sah dari nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Fenomena ini tentu akan semakin menguak kesadaran kita untuk lebih mengetahui mana hadits yang sah adanya, dan mana pula yang tidak sah yang tak laik kita ambil. Diantara hadits yang mungkin telah akrab dengan kita, diantaranya
“Nama-nama yang paling dicintai oleh Allah adalah apa-apa yang disembah (dengan menggunakan kata ‘abdul) dan apa-apa yang dipuji (seperti Ahmad, Muhammad dll)”
hadits tidak ada asalnya (Kasyful khofaa` 1/390/51)
“Perbedaan pada umatku adalah rahmat”
hadits tidak ada asalnya (As Silsilah Adh Dhoifah 1/78/57)
Para sahabatku seperti bintang-bintang dengan siapa saja kamu mengikuti mereka maka berarti kamu telah mendapatkan petunjuk”
hadits maudhu’/palsu (As-Silsilah Adh-Dhoifah 1/78/58)
“Jibril telah mewasiatkan kepadaku (untuk berbuat baik) kepada tetangga sampai empat puluh rumah, sepuluh dari sini, sepuluh dari sini, sepuluh dari sini, sepuluh dari sini”
Hadits Dhoif/lemah (As-Silsilah Adh-dhoifah 1/294/274)
“Tidak ada sholat bagi tetangga masjid kecuali di masjid”
hadits Dhoif/lemah (As-Silsilah Adh-Dhoifah 1/216/183)
“Takbir itu dengan tegas”
tidak ada asalnya (As-Silsilah Adh-dhoifah 1/101/71)
“Bertawasullah dengan kehormatanku karena kehormatanku di sisi Allah sangat besar”
Tidak ada asalnya (As-Silsilah Adh-dhoifah 1/30/22)
“Cinta tanah air termasuk dari Iman”
hadits maudhu’/lemah (As-silsilah Adh-dhoifah 1/55/36)
“Barang siapa menikah sebelum berhaji maka sungguh ia telah memulai dengan kemaksiatan”
hadits Maudhu /palsu (As-Silsilah Adh-dhoifah 1/250/222)
“Kebaikan itu selalu ada pada diriku dan pada umatku sampai hari kiamat nanti”
tidak asalnya (As-Silsilah Adh-dhoifah 1/51/30)
Beramallah untuk duniamu seolah-olah Engkau akan hidup selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah Engkau akan mati besok."
Hadits dhoif ( Silsilah hadits dhoif I/8)
" Siapa yang adzan maka dialah yang qamat."
Hadits dhoif (Silsilah hadits dhoif I/no 35)
" Barangsiapa menunaikan ibadah haji tetapi tidak menziarahi kuburku berarti telah menjauhiku."
Hadits maudhu' (silsilah hadits dhoif I/45)
" Barangsiapa mengenal dirinya, berarti ia telah mengenal Tuhannya."
Hadits dhoif (Silsilah hadits dhoif I/ 66)
" Bunyikanlah rebana-rebana kalian semoga Allah memberkahi kalian."
(hadits ini yang melatarbelakangi lagu tholaal badru 'alaina)
hadits la ashla lahu/tidak ada asalnya (silsilah haadits dhoif I/488)
'Hendaknya kalian baca surat yasiin untuk orang yang mati diantara kalian"
Hadits dhoif/lemah ( Dhoif jami' ash shaghir wa ziadatuhu 1072/151)
"Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya bersholawat kepada orang-orang yang berada di shof-shof kanan "
Hadits dhoif (dhoif Abi dawud 153)
"Janganlah kamu melihat kecilnya kemaksiatan , akan tetapi lihatlah keagungan yang dimaksiati"
Hadits maudhu'Al Qowaid Al Majmu'ah fi ahaditsil maudhu'ah 87/250)
"Jika kamu sekalian meminta kepada Allah maka mintalah dengan kedudukanku, sebab kedudukanku di sisi Allah sangat agung"
hadits maudhu'(majmu' fatawa ibnu taimiyah 27/126)
"Barang siapa yang ikhlas kepada Allah selama 40 hari maka akan muncul hikmah dari lisannya yang bersumber dari hatinya".
Hadits dhoif (al ahaditsu Adh dhoifah wal batilah 27/24)
'Kita kembali dari jihad yang kecil kepada jihad yang besar'.
Hadits tidak ada asalnya (Majmu' fatawa 11/197)
'Seorang yang berilmu (faqih) lebih berat bagi syetan daripada seribu orang ahli ibadah'.
Hadits batil ( Hadits dhoifah dan bathilah 28/108)
'Barangsiapa yang berpegang teguh dengan sunnahku di saat terjadi kerusakan umat maka baginya pahala seratus orang yang mati syahid.'
Hadits dhoif jiddan/sangat lemah ( Silsilah dhoifah 1/133/326)
'Sesungguhnya termasuk dari sunnah mengantarkan tamu sampai ke pintu rumah.'
Hadits dhoif ( Dhoif jami' shaghir wa ziyadatuhu 290/1996)
'Barangsiapa tengah berbicara kemudian dia bersin, maka pembicaraannya itu benar'.
Hadits bathil ( Silsilah hadits dho'if dan maudhu 136 )
'Tiga hal yang menyenangkan dan mengembangkan badan, yaitu: wewangian(parfum), pakaian yang lunak, dan minum madu'.
Hadits maudhu ( Silsilah hadits dho'if dan maudhu 138 )
'Orang yang paling sengsara ialah yang padanya terkumpul kefakiran dunia dan akhirat'
Hadits maudhu ( Silsilah hadits dho'if dan maudhu 139 )
'Zina itu mengakibatkan kefakiran.'
Hadits bathil ( Silsilah hadits dho'if dan maudhu 140 )
PEMUDA YANG MENIKAH PADA USIA MUDA
Pemuda mana saja yang menikah pada usia mudanya, maka berteriaklah syetan "celakalah dia telah terjaga agamanya dari godaanku."
Hadis maudhu' (palsu) Sisilah hadis dho'if dan maudu' jilid 2 no. 659
TIDURNYA ORANG YANG BERPUASA DICATAT SEBAGAI IBADAH
Orang yang berpuasa dicatat sebagai orrang yang seddang ibadah kendatipun ia tidur diatas ranjangnya.
Hadis dho'if (lemah) Sisilah hadis dho'if dan maudu' jilid 2 no. 653
MENUNTUT ILMU KETIKA KECIL BAGAI MENGUKIR DIATAS BATU
Perumpamaan ornag yang menuntut ilmu dimasa kecil bagaikan ukiran pada batu, dan perumpamaan orang yang menuntut ilmu dimasa tua bagaikan orang menulis diatas air.
Hadis maudhu' (palsu) Sisilah hadis dho'if dan maudu' jilid 2 no. 618
Keringanan dari Allah
Sesungguhnya Allah senang bila diterima keringanan-keringanan-Nya, seperti senangnya seorang hamba mendapat ampunan-Nya.
Hadis bathil no. 508/ii
Tapi ada hadis dengan matan hampir serupa yang shohih
"Allah menyukai hamba yang menjalankan setiap rukhshah dari-Nya, sebagaimana juga Allah menyukai mereka yang menjalnkan perintah-perintah-Nya."
Kepedulian terhadap dunia dan akhirat
"sebaik-baik kalian adalah yang tidak meninggalkan urusan akhiratnya untuk kepentingan dunianya dan tidak pula meninggalkan kepentingan dunianya untuk kepentingan akhiratnya dan tidak menjadi beban bagi manusia"
hadist maudhu'.Hadist no. 501 / II
Cukuplah kematian sebagai nasehat
"cukuplah kematian sebagai nasehat, cukuplah keyakinan sebagai kekayaan, dan cukuplah ibadah sebagai kesibukan" …
hadist ini sangat dho'if hadis no. 502 / II
Sebaik-baik makanan
"sebaik-baik makanan adalah kismis, dapat menguatkan otot-otot, menghilangkan kesakitan atau kepenatan, meedakan emosi, menghilangkan bau mulut, menghilangkan riya', membeningkan warna… (perawi menyebutkan sepuluh keistimewaanya, namun tidak dihafalnya)….
Hadis maudhu' no. 504 / II
Orang yang tidak rela dengan qodar Allah
Allah swt berfirman dalam hadis qudsi,

"barang siapa tidak rela dengan qadha (ketetapan-Ku) dan tidak pula bersabar dengan cobaan-Ku, maka hendaklah ia mencari tuhan selain Aku. ….

Hadis sangat dha'if no 505/II
Hati melunak dimusim dingin
Hati anak cucu adam akan melunak pada musim dingin, karena Allah swt menciptakan adam dari tanah dan tanah itu akan melembek ketika musim dingin. …
hadis maudhu' no. 511 / ii
Rakyat dan pemimpin
Tidaklah rakyat akan binasa sekalipun zalim dan bejat moralnya, apabila para penguasanya membimbing dan terbimbing. Dan tidaklah rakyat itu akan binasa apabila mereka membimbing dan terbimbing, meskipun para penguasanya zalim dan bejat moralnya. …
hadis dha'if no. 514 / ii
Jima'
"Apabila seorang dari kalian menjimak istrinya atau budak wanitanya, maka jangan melihat kepada kemaluanya, karena yang demikian dapat menyebabkan kebutaan."
hadits maudhu' 195/I
Dari segi makna hadis diatas bertentangan dengan hadis shahih yang ada dalam hadis Shahihaini dan Ashabus Sunan lainya, yang menyebutkan bahwa Aisyah Ra. Mandi bersama Rasulullah saw dengan bergantian gayungnya dan bahkan saling berebutan gayung. Hadis tersebut dengan jelas menunjukkan pembolehan suami istri saling melihat kemaluan masing-masing, baik dalam keadaan mandi bersama atau ketika bersetubuh. Yang lebih menguatkan akan hal ini adalah riwayat Ibnu Hibban dari sanad Sulaiman bin Musa bahwasanya ia ditanya tentang seorang seorang suami yang melihat kemaluan istrinya, maka ia menjawab, "Aku tanyakan kepada Atha, maka ia menjawab, 'Aku tanyakan kepada Aisyah ra., maka Ia menjawab seraya menyebutkan hadis. Demikianlah penjelasan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari I/190. Ia berkata, "inilah Nash tentang pembolehan seorang suami melihat lkemaluan istrinya atau sebaliknya."
Jenggot
"Termasuk dari kebahagiaan seseorang adalah memendekkan (menipiskan) jenggotnya"
hadits maudhu' no. 193/I
Hati hamba-hamba allah
"sesungguhnya (ketika) allah memperhatikan hari para hamba-Nya, maka Ia tidak mendapatkan hati yang lebih bersih dari hati para sahabatku, karena itulah allah memilih mereka dan menjadikan (mereka) sebagai sahabatku. Maka, apa yang dilihat oleh mereka sebagai sesuatu yang baik, baik pula disisi allah dan apa yang dianggap mereka buruk, buruk pula disisi allah."
hadits maudhu' no. 532 / ii
Bahasa arab
barang siapa diantara kalian yang dapat berbicara dengan bahasa arab secara baik, maka janganlah menggunakan bahasa persia karena yang demikian itu dapat menyebabkan kemunafikan. …
hadis maudhu no. 523 /ii
Makanan yang berminyak
Makanlah (makanan) yang berminyak dan gunakanlah (minyak) untuk menggosok karena sesungguhnya minyak itu dapat menyembuhkan tujuh puluh penyakit, diantaranya adalah kusta. …
hadis mungkar no. 512 / ii
Membersihkan alat dapur dan halaman
Membersihkan alat dapur dan halaman rumah bisa menyebabkan kekayaan …
hadis maudhu' no. 513/ii
Haji
Ayam adalah sebagai daging kambing bagi kaum fuqara' dari umat-ku dan shalat jum'at adlah sebagai haji kaum fuqara'
hadis maudhu' no. 192/i
Akal
Agama adalah akal. Siapa yang tidak memiliki agama, tidak ada akal baginya.
Hadis tersebut bathil. Diriwayatkan oleh Imam An Nasa'I dari Abi Malik Basyir bin Ghalib no. 1 / I
Sholat
Barangsiapa yang sholatnya tidak dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak menambah sesuatupun dari Allah SWT kecuali kejauhan
hadis bathil no. 2 / I.
Amal
Beramalah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya dan beramalah untuk akhiratmu seolah-olah engkau mati esok.
Sekalipun riwayat ini sangat masyhur dan hampir setiap orang mengutipnya, tetapi Hadits tersebut dho'if karena adanya dua penyakit dalam sanadnya. Pertama majhulnya atau asingnya budak atau pengikut Umar bin Abdul Aziz sebagai salah satu perawi sanadnya. Kedua, dho'ifnya pencatat bagi Laits yang bernama Abdullah bin Soleh. Silsilah Hadits Dho'if no. 8 / I.
Berbincang-Bincang Dalam Masjid
Berbincang-bincang dalam masjid itu menggerogoti pahala-pahala seperti binatang ternak memakan rerumputan.
Hadits tidak bersumber. Al Ghozali meriwayatkannya dalam kitab Ihya Ulumiddin I/136. Silsilah Hadits Dho'if no.4 / I.
Debu
Hindarilah debu, karena darinyalah timbulnya penyakit asma.
Silsilah Hadits Dho'if no. 6 / I.
Umara dan fuqaha
"Ada dua golongan dari umatku, yang bila keduanya baik atau saleh, maka baiklah semua manusianya. Yaitu umara ( penguasa) dan fuqaha (ulama)."
Dalam riwayat lain disebut umara dan ulama. Hadits tersebut maudhu'. Ia telah diriwayatkan oleh Tamam dalam kitab al-Fawa'id I/238 dan Abu Naim dalam kitab al-Haliyyah IV/96, serta Ibnu Abdil Bar dalam kitab Jami' Bayanil-'ilmi I/184, dari sanad Muhammad bin ziyad yang oleh Imam Ahmad dinyatakan sebagai pendusta atau pemalsu hadits. Hadits teresbut juga diutarakan oleh Al-Ghazali dalam Ihya I/6, seraya menyandarkan kepada Rasulullah saw, dan telah dinyatakan oleh al-Hafizh al-Iraqi bahwa sanadnya dha'if. (Silsilah Hadits Dho'if No. 16/I.)
Berbuat dosa sambil tertawa
"Barangsiapa berbuat dosa sambil tertawa, pastilah ia masuk neraka sambil menangis."
Hadits di atas maudhu'. Ia diriwayatkan oleh Abu Naim. Dalam sanadnya terdapat Umar bin Ayyub dari Muhammad bin Ziyad. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa ia (Umar bin Ayyub) telah dikecam oleh Ibnu Hibban. (Silsilah Hadits Dho'if No. 17/I.)
Jamban
"Jadikanlah jamban (kakus) sebagai tempat membuang hajat karena yang demikian dapat melalaikan jin dari menggoda anak-anak kalian."
Hadits di atas maudhu'. Ia diriwayatkan oleh Ibnu Abdi dalam kitab al-Kamil II/288 dan AL-Khatib V/279, yaitu dari sanad Muhammad bin Ziyad dari Ibnu Abbas r.a. Ibnu Hajar mengatakan bahwa dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Ziyad al-Yasykari yang telah dinyatakan pendusta. (Silsilah Hadits Dho'if No. 18/I.)
Alat Pemintal
"Hiasilah majelis isteri-isteri kalian dengan alat pemintal"

Hadits ini maudhu'. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnul Jauzy dalam sederertan hadits-hadits maudhu' dari sanad Al Khotib dan telah dikuatkan oleh As Suyuti ndalam kitab La'Ali II/179. Hadits No.19/I.
Sayur-Mayur
"Hiasilah hidangan makanan kalian dengan sayur mayur karena itu merupakan pengusir syeitan sambil mengucap bismillah"
Hadits ini maudhu'. Iya diriwayatkan oleh Abdur Rahman bin Nasir Ad Dimasqi dalam kitab Al Fawa'id II/229 dan Abu Naim dalam kitab Akhbar Al Asbahan II/216 dan sebagian dari sanad Ala bin Maslamah. Pakar hadits Ibnu Hibban dan Dzahabi, bahwasannya Ala adalah pemalsu dan tukang mencampur aduk hadits. Hadits No. 20/I.
"Cukuplah permohonanku pada-Nya dengan pengetahuannya tentang keadaanku"
Hadits tersebut tidak mempunyai sumber yang marfu'. Sebagian ulama telah menyatakannya sebagai ucapan atau do'a nabi Ibrahim AS ini termasuk kisah kisah Israiliyah. Al Albani menemukan riwayat tersebut dalam kitab Tanzih Asy Syariah Al Marfu'ah 'Anil Akhbarisy Syani'ah Al Maudhu' I/250 karangan Ibnul Iraqi. Ibnu Taimiyah berkata hadits tersebut maudhu'. Hadits No. 21/I
Tawasul
"Bertawasullah dengan kedudukan dan jabatanku, karena kedudukanku disisi Allah sangat agung"

Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-Qo'idah al-jalilah menegaskan bahwa hadis tersebut tidak ada sumbernya dalam hadis marfu'. Hadis marfu'
(Silsilah Hadits Dho'if I / no. 23)

Fatimah
"Allah yang menghidupkan dan mematikan sedang ia maha hidup, tidak akan mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, bimbinglah hujjahnya, luaskanlah tempat masuknya, atas hak nabimu dan para nabi sebelumku karena engkaulah maha pengasih dan maha penyayang."
Hadis ini dho'if.
Diriwayatkan oleh Ath Thobrani dalam kitab Al Kabir dan Anas dalam Al Al Ausath. Abu Naim meriwayatkannya dalam kitab Haliyayatul Auliya III/121.
(Silsilah Hadits Dho'if I/no.23.

Otoritas Tafsir Qur’an, di Tangan Siapa

Aziz Weliyanto, dalam Diskusi Bulanan Munawwarah H/V:20/4/2003

 

Tafsir Qur’an, Mengapa ya?

 

Sebagai kitab terbuka, Qur’an butuh tafsir, berkenaan dengan banyaknya dimensi Qur’an yang harus disibak, agar pesan universalnya cepat membumi (21:108; 34:28). Pada tingkat “kenapa” (aksiologi) dan “apanya” (konsepsiologi), tak ada masalah. Masalah kemudian muncul pada tataran siapa (authorized) dan bagaimana (epistimologi) menafsirkan Qur’an sehubungan dengan kemampuan daya jangkau penafsirnya dalam menerjemahkan bahasa i’jaz Qur’an yang unik, atau aspek balaghahnya yang tinggi juga ketelitian (tarkib) redaksinya yang memukau. Sastrawan ‘arab saja lumpuh, ketika ditantang oleh Qur’an untuk membuat susunan kalimat, seperti/kurang lebih sama dengan 1-surah dari al-Qur’an (2;23; 10:38), meningkat pada 10-surah (11:13) sampai keseluruhan, 114-surah (52;34). Karena jangankan manusia, jin saja menyerah KO (17:88). Seorang ahli pernah berkomentar, hanya ada 2-orang yang berani menjawab tantangan Qur’an; orang gila dan terlalu PD dengan dirinya alias stres.

 

Masalahnya bukan apa-apa, Qur’an adalah bahasa wahyu, kalimatnya pun, bukan kalimat manusia. Satu lagi, tidak semua orang dapat berhubungan secara rapat dengan Tuhan, guna memperoleh informasi-Nya, langsung maupun tidak langsung agar fungsi dan missi wahyu sesuai dengan skenario Tuhan. Karena itu, Allah memilih manusia cerdas, amanah, jujur dan terpercaya sebagai jembatan komunikasi informasi wahyu itu. Itulah para Nabi & Rasul. Untuk meyakinkan manusia akan kebenaran tugas tabligh ini, Tuhan membekali para Nabi & Rasul dengan bukti yang pasti dan terjangkau bernama mu’jizat, yang tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa. Pada sisi ini, otoritas pertama tafsir Qur’an berada penuh di tangan Rasulullah s.a.w. sebagai seorang penyampai (24:54; 16:22; 5:99) dan penerjemah pertama Qur’an (16:44). Demikian pula dengan tugas Nabi sebagai pembaca awal pasca turun wahyu, sebagai mu’allim (soko guru) dan pentazkiyah jiwa (3:164; 2:151) lewat Qur’an, jelas melibatkan peran sunnah sebagai patner Qur’an, menyusul peran sahabat dan persyaratan ketat lainnya.   

 

Masalah lain yang terikat dengan kebebasan menafsirkan Qur’an adalah berita ghaib Qur’an. Kisah purbakala dan umumnya perkara keimanan, tertutup untuk diinterpretasikan secara dirayah (logika formal) apalagi isyari (bathini), tanpa dukungan data resmi dari pemilik/sumber berita itu sendiri. ‘A’isyah pernah berkata kepada Masruq bin Ajdan, Tabi’in Senior dari Kufah (Baghdad). Kata ‘A’isyah: “Wahai Abu Aisyah yaitu Masruq! Ada tiga perkara, siapa yang memperkatakan salah satu daripadanya berarti dia telah melakukan kebohongan yang amat besar terhadap Allah s.w.t. Aku bertanya: Apakah tiga perkara itu? Aisyah menjawab: Pertama: Siapa yang mendakwa bahwa Muhammad s.a.w melihat Tuhannya, bohong besarlah ia.Kedua:Siapa yang menganggap Rasulullah s.a.w menyembunyikan sesuatu dari kitab Allah, dustalah ia. Ketiga: Siapa saja yang mendakwa Nabi menceritakan perkara yang akan terjadi besok hari, maka saksikanlah bahwa ia itu murni pendusta.” (Bukhari-Muslim, CD Room Al-Bayan, 108).

 

Yahudi>  Sebab bagaimanapun, berita ghaib Qur’an tidak seluruhnya bisa dibuktikan oleh survey arkeologi seperti temuan ahli purbakala, Loret yang menemukan mumi Maniptah di lembah raja-raja Luxor Mesir pada 1896 M, meski kebenarannya dikukuhkan kembali oleh Elliot Smith atas idzin Pemerintah Mesir pada 8 Juli 1908. Benarkah ia Fir’aun yang tenggelam di laut merah sebelah utara, seperti kita saksikan di mesium Mesir saat ini. Ya-tidaknya, masih menyisakan keraguan karena hal itu diperkirakan terjadi 1200 tahun SM. Kalau bukan karena informasi Qur’an dalam, 10:92, niscaya temuan itu masih disangsikan.

 

Qur’an juga berisi tamtsil (nuansa metafora) yang susah ditebak makna hakikinya. Sahabat pernah salah mempersepsikan antara benang putih dan benang hitam untuk pemaknaan fajar shadiq dalam puasa (2:187), juga kalalah dalam pewarisan (4:176). Orang kafir dalam berdo’a diumpamakan seperti orang yang membentangkan kedua tangannya ke dalam air, supaya dapat sampai ke mulutnya. Padahal air itu tidak akan sampai ke mulutnya.(13:14). Tamtsil ada yang terus terang ada pula yang tersembunyi. Terhadap tamtsil tersembunyi, jelas dibutuhkan data tafsir nabawi seperti dipaparkan panjang lebar oleh Imam Hakim at-Turmudzi dalam Al-Amtsal Min Kitab wa as-Sunnah (Libanon:1409). 

 

Jika demikian kenyataannya, apakah Qur’an itu tertutup untuk ditafsirkan sebagai kitab terbuka yang berbicara kepada ummat manusia semua zaman. Jawaban pertanyaan inilah yang menarik para ahli Tafsir sepanjang periode kodifikasi dan modifikasinya. Hasilnya adalah corak tafsir dalam berbagai pendekatan; Tafsir Bi’l-Ma’tsur (pendekatan riwayat, periode I-penghimpunan), Tafsir Bil-Dirayah (pendekatan nalar, periode II-perampungan], Tafsir bil-Isyari (pendekatan ta’wil, periode III-pengembangan). Berbagai corak-tafsir ini muncul, selain karena perkembangan ilmu, juga karena ketidak-puasaan terhadap corak  tafsir yang ada sebelumnya yang menurut sebagian pihak cenderung membusanai Qur’an dengan makna yang sempit, bahkan terkadang literalis, rigid dan tekstual. Bagaimana kata jawabnya, mari kita lanjutkan.
Tafsir Ilmiah Qur’an & Kebebasan Tafsir
             Qur’an adalah kitab konsep, dan karena itu ia menyebut dirinya dengan hudan (petunjuk), bayyinat (aksioma) dan furqan (pembeda) [2:185]. Sebagai kitab konsep, tentu saja ia butuh paradigma yang memungkinkan kita memahami gambaran aksiologis dan wawasan epistimologisnya agar kita mengetahui doktrin Islam secara utuh (2:208). Qur’an juga adalah kitab hukum (book of laws) bahkan sumber dari segala sumber (source of laws), selanjutnya Qur’an adalah book of sciences (kitab ilmu pengetahuan) yang memuat informasi (naba’) klasik, kini, dan akan datang. Dalam kaitan ini Qur’an terbuka untuk dipakai sebagai paradigma dalam rangka memahami realitas. Pertanyaannya,-seperti sering Immanuel Kant tanyakan- apakah kita mampu memahami hakiki dari realitas? Apakah sesungguhnya realitas itu? Apakah paradigma atau perspektif yang kita bangun itu betul-betul merupakan perspektif Qur’an, tanpa tercampur oleh subyektifitas atau prakonsepsi penafsirnya? Selanjutnya, apakah latarbelakang intelektual, kultural atau bahkan latarbelakang kelas, dijamin tidak akan berpengaruh dalam kegiatan penafsiran dari apa yang kita sebut dengan perspektif atau paradigma itu?
Pertanyaan inilah yang sulit dipecahkan oleh pemerhati tafsir sosial/tafsir realitas sejak digagas pertamakali oleh hujjatu’l-Islam Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H/1057-1111 M), seorang tokok ensiklopedis dalam ilmu-ilmu manqul (tradisional) dan ma’qul (rasional) yang mengharumkan nama Universitas Nidzamiyah di Baghdad. Ghazali tak kuasa mengurai postulatnya sendiri dan menyerah pada kenyataan wahyu, sampai gagasannya kembali dilanjutkan oleh Filosof Ibnu Rusyd, kelahiran Kordova 520 H/1126 M melalui “Risalah Fi Harakah Al-Falak” (Risalah Tentang Gerak Alam Semesta). Tapi, di belakang hari Ibnu Rusyd mengiritik habis teori al-Ghazali melalui Tahafut at-Tahafut (kerancuan dalam kerancuan), kritikannya ia arahkan juga pada Ibnu Sina lewat “Maqalah Fi Radd ‘Ala Ibn Sina” (Paper kritik atas pemikiran Ibnu Sina).
          Barangkali sikap yang baik untuk diikuti adalah apa yang dilakukan oleh Syeikh Muhammad Abduh, pendiri Pan Islamisme Mesir bersama gurunya Jamaluddin Al-Afghani. Syeikh Muhammad 'Abduh (1849-1905), adalah salah seorang ahli Tafsir abad 19 yang paling mengandalkan akal, tetapi ia menganut prinsip "tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang samar (mutasyabihat) atau tidak terperinci oleh Al-Quran (mujmal)." Ketika menafsirkan firman Allah dalam QS 101:6-7 tentang "timbangan amal perbuatan di Hari Kemudian", 'Abduh menulis: "Cara Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui; maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya kepada Allah SWT atas dasar keimanan.( 'Abduh, Tafsir Juz 'Amma, Dar al-Hilal, Mesir, 1962, h. 139). Bahkan, 'Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas, dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh oleh sahabat 'Umar bin Khaththab ketika membaca abba dalam surat Abasa (QS 80:32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya. (ibid. hal.26)
Ibn 'Abbas, sang Turjumanul Qur’an (juru bicara tafsir Qur’an) yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. (Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Halabiy, Mesir, 1957, II:164).
Intinya adalah ada pembatasan penafsiran menyangkut materi ayat-ayat Qur’an (bagian keempat), dan menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga). Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Quran yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a) ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, contoh soal seperti ya sin, alif lam mim, dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang membagi ayat-ayat Al-Quran kepada muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), dan bahwa tidak ada yang mengetahui ta'wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam 'lmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih (3:7). Atau (b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah an sich, dan sebagainya, yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.
Terhadap tafsir metafisis atau irrasional itu, tak satupun yang dapat menjangkaunya, kecuali Allah s.w.t dan Rasul-Nya, itu pun atas idzin Allah. Penjelasan sahabat pun dalam bidang ini hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga bersumber dari Nabi saw, konon lagi penjelasan orang lain yang beda zaman dengan Rasulullah s.a.w (Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Mesir, 1961, I: 53.
Para khulafa’ adalah orang yang paling takut mendahulukan akalnya dari pada naqal. Abu Bakar as-Shiddiq r.a sebagaimana diriwayatkan Abu Usamah dari Nafi’, Al-Jamhi dan Ibnu Malikah, berkata Abu Bakar: “Tanah mana yang akan menampungku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku mengatakan tentang 1-ayat saja dari kitabu’l-Lah berdasarkan ra’yu atau dengan sesuatu yang tidak aku ketahui.”
Khalifah ‘Umar berkhutbah di atas mimbar: “Wahai sekalian manusia, sesunguhnya ra’yu itu hanyalah yang berasal dari Rasulullahlah yang benar, sesungguhnya Allah s.w.t telah memberitahukan kepadanya. Dan yang datang dari kita hanyalah praduga dan terkaan semata. Khalifah ke-2 bergelar Amirul Mu’minin ini selanjutnya membaca ayat, “sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kalian mengadili manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepada kalian (4:105).”
          Abu Karib Muhammad bin al-A’la menceritakan dari Hafs bin Ghayats dari A’masy dari Abu Ishaq as-Sya’bi dari Abul Kheir dari ‘Ali bin Abu Thalib. Khalifah ke-4 ini berkata: “Seandainya agama dibangun berdasarkan ra’yu, niscaya mengusap bagian bawah sepatu lebih baik daripada mengusap bagian atasnya.” (HR. Abu Dawud).
Ra’yu ada yang sesat (dhallun-mudhillun), benar (haq) dan ragu-ragu (syak), demikian Ibnu Qayyim, murid favorit Ibnu Taimiyah dalam I’lamul Muwaqi’in. Ra’yu yang benar dan bisa diterima hanya ada 3: pertama: Ra’yu’n-Nushush (pendapat yang didasarkan pada nash shahih dan sharih). Hatinya bersih, pikirannya jernih, fitrahnya suci, ilmunya luas dan ‘aqidahnya lurus. Kedua: ra’yu al-istidlal (ra’yu yang berargument) didasarkan pada hujjah, burhan dan istinbath dalil, seperti dilakukan oleh Abu Bakar ketika ditanya tentang makna kalalah dalam 4:176 (orang yang meninggal tanpa orang tua dan keturunan). “Jika jawaban saya benar, maka itu dari Allah. Jika salah, maka itu dari saya dan setan”. Ketiga: ra’yu ijma’ (pendapat konsensus) seperti kita saksikan pada ijma’ sahabat atau fatwa institusi ulama, karena ummatku, kata Nabi s.a.w, tidak akan berkumpul dalam kesesatan. Keempat: ra’yu al-mashadir (pendapat yang memiliki sumber) yang digali dari salafuna’s-shalih, karena pada hakekatnya pemikiran manusia khususnya tentang agama, sudah terpikirkan oleh pendahulu kita (ulama mutaqaddimin) [Ibnu Qayyim, Beirut:1996, Juz I:77-80, terj. Asem Saifullah, FM dkk, Jakarta:2000).
Atsar dan riwayat ini dikemukakan, sehubungan dengan sejarah tafsir ilmiah Qur’an yang cenderung lebih mengedepankan akal daripada naql, lebih mempertimbangkan konteks kekinian daripada konteks nuzul ayat. Cenderung menganut madzhab liberal dan membuang makna literal ayat. Selanjutnya, lari mengejar fenomena dan tega meninggalkan sunnatullah. Dr. Yusuf Qardhawi mencatat 6-kesalahan serius pemerhati tafsir ini:
1.      Mengabaikan nash yang sejatinya wajib diikuti, baik nash Qur’an maupun Sunnah. Pengabaian terhadap nash, bisa disebabkan oleh [a].ketidak-mengertian mereka terhadap ketetapan nash (al-jahl) atau [b]. al-hawa, nash ada tapi dicampur-adukan (talbis) dan atau sengaja disembunyikan (kitman). [c]. kesalahan metodologi yang berakibat pada kekeliruan isinbath hukum.
2.      Salah memahami nash atau menyimpang dari konteksnya.
3.      Kontra (tidak menerima) ijma’ yang telah ditetapkan.
4.      Qiyas tidak pada kedudukannya, seperti analogi yang merusak (qiyas fasid) dengan menganalogikan nash qath’I (definitif) kepada nash dzanni (relatif), atau mengqiyaskan masalah ta’abbdi ke masalah ta’aqquli (mu’amalah).
5.      Terbawa arus oleh fikih realitas dan aliran modern yang dianggapnya lebih aktual dan empirik.
6.      Berlebih-lebihan mengungkapkan kepentingan umum, walaupun harus mengabaikan nash. (Qarhawi, Ijtihad Kontemporer,Kairo,1994, terj.Abu Barzani,Surabaya,1995,h.63-94).
Jadi, masalah pokoknya bukan pada boleh atau tidaknya, melainkan pada mampu atau tidaknya. Atau lebih radikal lagi, bebas liberal atau bebas terkendali. Sebab jika semua orang bisa masuk dan mengaku bisa main tafsir tanpa syarat memadai, lalu apa bedanya Qur’an dengan kitab sebelumnya, yang rusak gara-gara banyak diakali oleh pembacanya (2:75). Qur’an pun menjadi tidak lagi sebagai kitab mu’jizat, yang bodoh tak ada beda dengan yang berilmu, ayat semuanya menjadi muhkamat, tak ada yang mutasyabih.   Kalau sudah seperti itu, betapa kita ini lebih Yahudi daripada Yahudi.#
Hadits Pertama: Metoda Dakwah kepada Allah
Syaikh Robi' bin Hadi al Madkholi
عن ابن عباس – رضي الله عنهما – أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما بعث معاذاً إلى اليمن قال :
« إنك تأتي قوماً من أهل الكتاب ، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله - وفي راوية : إلى أن يوحدوا الله - فإن هم أطاعوك لذلك، فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة ، فإن أطاعوك لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم. فإن هم أطاعوك لذلك، فإياك وكرائم أموالهم ، واتق دعوة المظلوم ، فإنه ليس بينها وبين الله حجاب ».
( أخرج الحديث البخاري ومسلم والنسائي وابن ماجه والدارمي وأحمد ).
Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma, sesungguhnya Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus Mu'adz ke Yaman, beliau bersabda, "Sesungguhnya Engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab, maka jadikan awal yang engkau dakwahkan kepada mereka syahadat Laa ilaaha illallah (Tiada sesembahan yang haq kecuali Allah) – dalam sebuah riwayat: agar mereka mentauhidkan Allah -. Jika mereka telah mentaatimu dalam perkara itu, maka ajarilah mereka bahwa sesungguhnya Allah mewajibkan mereka lima sholat setiap sehari semalam. Maka jika mereka telah mentaatimu dalam perkara itu, ajarilah mereka bahwa sesungguhnya Allah mewajibkan shodaqoh atas mereka, (shodaqoh itu) diambil dari orang-orang kaya di antara mereka kemudian dikembalikan kepada orang-orang miskin di antara mereka. Jika mereka mentaatimu dalam perkara itu, maka hati-hatilah kamu dari harta-harta mulia milik mereka, dan takutlah do'a orang yang dizholimi, karena sesungguhnya tidak ada hijab (penghalang) antara dia dengan Allah."
(Dikeluarkan oleh al Bukhori[1], Muslim[2], an Nasa'i[3], ibnu Majah[4], ad Darimi[5], dan Ahmad[6])
Periwayat Hadits:
Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutholib al Hasyimi, anak paman Rosulullah, al hibrul bahr karena keluasan ilmunya, dan dia adalah salah satu sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, dan salah satu yang bernama Abdullah dari kalangan sahabat yang fuqoha (dalam ilmunya). Telah meninggal pada tahun 68 Hijriyah.
Kosakata:
بعث : mengutus.
أهل الكتاب : Yahudi dan Nashoro.
شهادة أن لا إله إلا الله : pengakuan bahwasanya tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan ibadah kepada selainNya adalah salah dan merupakan kesyirikan kepada Allah.
يوحدوا الله : mengesakanNya dalam ibadah.
افترض : mewajibkan dan mengharuskan.
صدقة : maksudnya zakat yang wajib.
أطاعوك : mereka patuh dan melaksanakan (perintah).
كرائم : harta pilihan, yang paling berharga, dan paling tinggi nilainya.
Pembahasan Hadits: Keterangan Metode Dakwah kepada Allah
Makna Hadits secara Global:
Hadits ini menerangkan tahapan-tahapan yang wajib dilalui oleh da'i yang menyeru kepada Allah. Tahap pertama seorang da'i wajib untuk memulai dengan dakwah kepada tauhid, mengesakan Allah semata dalam ibadah, dan menjauhi syirik kecil maupun besar. Hal itu terwujud dengan persaksian bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad Rosulullah. Maksud dari syahadat ini bahwasanya segala macam ibadah adalah hak yang diperuntukkan kepada Allah semata, sedang selain dariNya tidak mempunyai hak sekecil apapun, meskipun dia adalah malaikat yang didekatkan, nabi yang diutus, orang sholih, batu, pohon, matahari, atau bulan.
Dan janganlah berdo'a kecuali kepada Allah, jangan beristighotsah kecuali kepadaNya, jangan meminta pertolongan kecuali kepadaNya, jangan bertawakal kecuali kepadaNya, dan jangan takut dan berharap kecuali kepadaNya.
Maka barangsiapa yang menyelewengkan sedikit dari ibadah-ibadah tersebut atau selainnya untuk selain Allah, sungguh dia telah menyekutukan Allah. Allah berfirman,
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun." (QS al Maaidah: 72).
Dan bukanlah yang diinginkan dari syahadat Laa ilaaha illallah hanya diucapkan dengan lisan, tetapi harus dengan mengerti maknanya, mengamalkan konsekuensinya, dan memenuhi syarat-syaratnya. Syarat syahadat Laa ilaaha illallah ada tujuh:
1. Ilmu yang menghilangkan kebodohan,
2. Yakin yang menghilangkan keraguan,
3. Penerimaan yang menghilangkan penolakan,
4. Patuh yang menghilangkan pengabaian,
5. Ikhlash yang menghilangkan syirik,
6. Jujur yang menghilangkan dusta,
7. Mahabbah yang menghilangkan lawannya.
Sedangkan maksud dari syahadat Anna Muhammadan Rosulullah adalah mengerti maknanya dan mengamalkan konsekuensinya. Bukan pula yang dimaukan hanya semata-mata mengucapkannya, tetapi yang dimaukan adalah membenarkan semua yang beliau kabarkan, mentaati semua yang beliau perintahkan, meninggalkan semua yang beliau larang dan cegah, dan beribadah kepada Allah dengan yang Dia syari'atkan melalui lisan rosul yang mulia ini, tidak beribadah dengan hawa, tidak pula dengan bid'ah.
Maka wajib atas setiap muslim untuk mengerti makna dua syahadat dengan pemahaman yang benar dan mengamalkan konsekuensinya dengan baik, yaitu dengan membenarkan, beriman, dan mengamalkan semua yang datang dari Rosulullah dalam al Kitab dan as Sunnah berkenaan dengan aqidah, ibadah, dan hukum syari'at di dalam semua sendi kehidupan.
Faidah yang bisa diperoleh dari hadits:
1. Sesungguhnya tauhid adalah asas Islam.
2. Bahwa rukun terpenting setelah tauhid adalah menegakkan sholat.
3. Bahwa rukun Islam yang paling wajib setelah sholat adalah zakat fardlu, yang merupakan haknya harta.
4. Bahwasanya imam / pemimpin adalah yang berkuasa untuk menarik zakat dan membagikannya, baik dilakukannya sendiri atau melalui wakilnya.
5. Dalam hadits ini terdapat dalil cukupnya mengeluarkan zakat kepada satu golongan saja.
6. Tidak boleh menyerahkan zakat kepada orang kaya.
7. Haram bagi 'amil (panitia) zakat mengambil harta yang berharga.
8. Peringatan untuk berhati-hati dari segala jenis kezholiman.
9. Diterimanya kabar yang datang dari satu orang yang adil dalam perkara aqidah dan menetapkan wajibnya suatu amalan.
10. Agar seorang da'i memulai dari yang terpenting kemudian yang penting.
Sumber: مذكرة الحديت النبوي في العقيدة والإتباع

Hadits Kedua: Keutamaan Aqidah Tauhid
Syaikh Robi' bin Hadi al Madkholi
عن عبادة بن الصامت – رضي الله عنه – قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
« من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمداً عبده ورسوله، وأن عيسى عبد الله ورسوله وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه، والجنة حق والنار حق أدخله الله الجنة على ما كان من العمل ».
( رواه البخاري ومسلم وأحمد ).
Dari Ubadah bin ash Shamit rodliyallahu 'anhu, beliau berkata: Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang haq kecuali Allah semata tiada sekutu bagiNya, dan bahwasanya Muhammad hamba dan rosulNya, dan bahwasanya Isa hamba Allah, rosulNya, kalimatNya yang Dia lemparkan kepada Maryam, dan ruh dariNya; dan bahwasanya surga itu haq dan neraka itu haq, akan Allah masukkan ke surga sesuai dengan amalnya." (HR al Bukhori[1], Muslim[2], dan Ahmad[3]).
Periwayat Hadits:
Ubadah bin ash Shamit al Anshori, beliau menyaksikan bai'at Aqobah yang pertama dan kedua bersama Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau juga mengikuti seluruh pertempuran bersama Rosulullah. Beliau pengajar al Qur`an di Madinah kemudian di Syam. Wafat di Baitul Maqdis tahun 32 H, semoga Allah meridhoinya.
Kosakata:
شهد أن لا إله إلا الله : mengucapkan syahadat dengan lisan, meyakini dengan hatinya, dan mengamalkan konsekuensinya dengan anggota badan.
وحده : satu, sendirian.
عيسى : putra Maryam dalam keadaan masih perawan.
كلمته : yakni ciptaanNya dengan firmanNya "Kun" (jadilah), maka jadilah Isa karena kekuasaanNya dan hikmahNya, dinamakan kalimah karena diadakan dengan firmanNya Ta'ala "Kun".
روح منه : bahwa Isa adalah ruh dari ruh-ruh yang telah Allah ciptakan dan adakan.
الجنة و النار حق : yakni bahwa surga dan neraka benar-benar telah tetap adanya, tidak ada keraguan padanya.
Makna secara Global:
Hadits ini mengandung lima perkara, barangsiapa beriman dengannya dan mengamalkannya lahir batin akan masuk surga:
Pertama, sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, "Barangsiapa bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang haq kecuali Allah semata tiada sekutu bagiNya." Yakni beriman kepada Allah dengan jujur, yakin, mengakui keesaan Allah Ta'ala, dan memurnikan dari ibadah kepada selainNya; dan mengamalkan apa yang ditunjukkan oleh syahadat Laa ilaaha illallah, seperti mengikuti perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya dengan lisan dan perbuatan.
Kedua, syahadat anna Muhammadan Rosulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni barangsiapa meyakini dengan keyakinan yang pasti tanpa keraguan bahwasanya Muhammad itu Rosulullah yang telah Allah utus kepada jin dan manusia dengan risalah yang sempurna dan utuh; dan meyakini bahwa beliau adalah penutup para nabi, risalahnya adalah penutup semua risalah, dan beriman sesungguhnya beliau hamba dari hamba-hamba Allah yang Allah muliakan dengan membawa risalahNya untuk alam semesta ini. Juga membenarkan terhadap yang beliau kabarkan, mentaati perintahnya, dan menjauhi hal-hal yang beliau larang dan cegah.
Ketiga, keyakinan bahwa Isa 'alaihis salaam hamba dari hamba-hamba Allah, rosul dari rosul-rosulNya. Dan sesungguhnya beliau bukan anak hasil perzinaan sebagaimana tuduhan Yahudi dan dia bukan Allah, bukan anak Allah, bukan pula yang ketiga dari yang tiga seperti sangkaan Nashoro. Tetapi beliau adalah hamba dari hamba-hamba Allah, yang telah Allah utus kepada Bani Isroil mendakwahi mereka supaya menyembah Allah semata. Sungguh Allah telah menciptakan Isa dengan kalimat "Kun" yang menunjukkan hal menjadikan. Beliau juga ruh dari ruh-ruh yang telah Allah ciptakan, firman Allah Ta'ala,
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ ءَادَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
"Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia." (QS Ali Imron: 59).
Keempat, sesungguhnya surga itu haq, yaitu meyakini bahwasanya surga yang telah Allah siapkan bagi orang-orang yang bersuka hati dari hamba-hambanya adalah telah tetap keberadaan dan hakikatnya tanpa keraguan, dan surga itu sesungguhnya tempat terakhir yang kekal bagi orang yang beriman kepada Allah dan mengikuti rosul-rosulNya.
Kelima, sesungguhnya neraka itu haq, yaitu meyakini sesungguhnya neraka yang Allah telah mengancam dengannya orang-orang kafir dan munafiq benar adanya tanpa keraguan. Neraka itu telah Allah siapkan bagi yang mengingkari, menentang, dan bermaksiat kepadaNya.
Barangsiapa membenarkan dan beriman dengan kelima perkara ini dan mengamalkan tuntutannya akan Allah masukkan surga walaupun amalannya sedikit dan mempunyai dosa-dosa. Yang demikian itu disebabkan dia mentauhidkan dan mengikhlaskan ibadah untuk Allah semata.
Faidah yang bisa diperoleh dari hadits:
1. Faidah tentang keutamaan mentauhidkan Allah, dan sesungguhnya Allah akan menghapuskan dosa-dosa dengan tauhid itu.
2. Luasnya karunia dan rahmat Allah terhadap hamba-hambaNya.
3. Dari sabda beliau tentang Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba dan rosulNya dapat diambil faidah, yaitu pengertian tentang hak-hak para nabi khususnya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa berlebih-lebihan dan tanpa melecehkan.
4. Sesungguhnya orang yang bermaksiat dari orang-orang yang mentauhidkan Allah tidak kekal di dalam neraka.
5. Wajib mengimani surga dan neraka.
Sumber: مذكّرة الحديت النبوي في العقيدة والإتباع



[1] Kitab al Anbiyaa: hadits nomor 3435.
[2] Kitab al Iman: hadits nomor 46, 47.
[3] 5/314.
Hadits Ketiga: Haq Allah atas para hambaNya
Syaikh Robi' bin Hadi al Madkholi
عن معاذ بن جبل – رضي الله عنه – قال كنت رديف النبي صلى الله عليه وسلم  على حمار، فقال لي : « أتدري ما حق الله على العباد وما حق العباد على الله؟ قلت : الله ورسوله أعلم. قال حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئاً، وحق العباد على الله أن لا يعذب من لا يشرك به شيئاًِ. قلت : يا رسول الله أفلا أبشر الناس؟ قال : لا تبشرهم فيتكلوا ».
(أخرجه البخاري ومسلم والترمذي وابن ماجه وأحمد).
Dari Mu'adz bin Jabal rodhiyallahu 'anhu beliau berkata: Saya pernah membonceng Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam di atas himar, beliau berkata kepada saya, "Tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-hambaNya dan apa hak hamba atas Allah?" Saya berkata, "Allah dan RosulNya lebih tahu." Beliau bersabda, "Hak Allah atas hambaNya ialah agar mereka menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun. Dan hak hamba atas Allah ialah tidak diadzab selama dia tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun." Saya berkata, "Wahai Rosulullah, bolehkah aku memberi kabar gembira ini kepada manusia?" Beliau berkata, "Jangan engkau kabarkan, nanti mereka bersandar dengannya."
(Dikeluarkan oleh al Bukhori[1], Muslim[2], Tirmidzi[3], ibnu Majah[4], dan Ahmad[5]).
Periwayat Hadits:
Beliau adalah Mu'adz bin Jabal bin 'Amr bin Aus al Anshori al Khozroji Abu Abdirrohman, sahabat yang terkenal termasuk sahabat yang terkemuka. Beliau mengikuti perang Badr dan setelahnya. Telah sampai kepada beliau ilmu, hukum-hukum, dan al Qur'an. Meninggal tahun 18 H di Syam dalam bencana penyakit pes.
Kosakata:
رديف : menunggang di belakang seseorang.
حق الله على العباد : apa-apa yang menjadi hak Allah atas para hambaNya dari ibadah dan ketaatan.
حق العباد على الله : pemberian nikmat-nikmat dan keutamaan, Allah mewajibkan hal tersebut kepada diriNya sendiri sebagai keutamaan dan kebaikan atas orang-orang yang bertauhid dan ikhlas. Dan tidak ada bagi Allah, hak yang diwajibkan oleh akal sebagaimana sangkaan kaum Mu'tazilah.
أفلا أبشر الناس : mengabari mereka berita yang menggembirakan.
يتكلوا : bersandar.
Makna secara Global:
Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ini tujuan Allah menciptakan makhluk, yaitu mengesakan Allah semata dalam ibadah dan ikhlas untukNya. Karena sungguh ini hak yang paling besar, tidak dimiliki oleh siapa-siapa kecuali hanya milik Allah Maha Pencipta, Maha Agung, Maha Pemberi nikmat, dan Maha Pemberi Keutamaan.
Sebagaimana Rosul yang mulia telah menjelaskan balasan yang berhak diperoleh hamba dari Allah - jika mereka menegakkan kewajiban yang paling besar ini (mengikhlaskan ibadah) – yaitu balasan bahwa Dia menyelamatkan mereka dari adzab neraka dan memasukkan mereka ke surga yang penuh kenikmatan.
Perkara ini menyenangkan dan menggembirakan orang yang beriman sehingga berkata Mu'adz meminta ijin Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam: "Bolehkah aku memberi kabar gembira ini kepada manusia?" Tetapi Rosul shollallahu 'alaihi wa sallam melarang Mu'adz untuk kemaslahatan umatnya dan rasa kasih sayang beliau supaya umatnya bersungguh-sungguh dalam beramal yang dapat mendekatkan kepada Allah dan supaya mereka berlomba-lomba di dalamnya sehingga mereka memperoleh derajat yang tinggi di sisi Allah karena kesungguhan, jihad, dan berlomba-lombanya mereka. Sebaliknya, jika mereka berlambat-lambat dalam beramal dan menyandarkan kepada janji semacam ini maka sungguh mereka akan kehilangan banyak kebaikan dan pahala yang besar.
Faidah yang diperoleh dari hadits:
1. Sikap hikmah Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam dalam mengajar di mana beliau membuka pelajaran dengan pertanyaan supaya lebih berpengaruh dalam diri dan lebih terang bagi pemahaman orang yang belajar.
2. Tawadhu' dan baik akhlaqnya Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau menaiki himar (keledai) memboncengkan sahabatnya di atas tunggangan.
3. Terdapat penjelasan hak Allah yang paling besar atas hamba-hambaNya, yaitu tauhid kepada Allah dan mengesakanNya dalam ibadah.
4. Terdapat keutamaan yang diberikan Allah kepada hambaNya yang menunaikan hak tersebut dengan balasan terbaik.
5. Disunnahkan memberi kabar gembira kepada kaum muslimin.
6. Sikap takut dari bersandar kepada luasnya rahmat Allah, karena akan banyak merugikan orang-orang yang bodoh.
Sumber: مذكّرة الحديت النبوي في العقيدة والإتباع



[1] Kitab al Libas: hadits nomor 5967.
[2] Kitab al Iman: hadits nomor 48-51, 53.
[3] Kitab al Iman: hadits nomor 2643, 26/5.
[4] Kitab az Zuhd: hadits nomor 4269, 1435/12.
[5] 3/260-261.
Hadits Keempat: Larangan Tabarruk dari Pepohonan dan Sejenisnya
Syaikh Robi' bin Hadi al Madkholi
عن أبي واقد الليثي – رضي الله عنه – قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى حنين ونحن حدثاء عهد بكفر، وللمشركين سدرة يعكفون عندها وينوطون بها أسلحتهم يقال لها ذات أنواط، فمررنا بسدرة، فقلنا يا رسول الله اجعل لنا ذات أنواط، كما لهم ذات أنواط فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
« الله أكبر إنها السنن قلتم والذي نفسي بيده، كما قالت بنو إسرائيل لموسى: ﴿اجعل لنا إلهاً كما لهم آلهة قال إنكم قوم تجهلون﴾ لتركبن سنن من كان قبلكم ».
(أخرجه أحمد والترمذي وصححه ، وعبد الرزاق وابن جرير وابن المنذر وابن أبي حاتم والطبراني بنحوه).
Dari Abu Waqid al Laitsi rodhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Kami keluar bersama Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam ke Hunain dan kami baru saja keluar dari kekafiran. Kaum musyrikin mempunyai pohon yang mereka tinggal di sekitarnya dan mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon itu, dinamai Dzaatu Anwaath. Maka kami melewati pohon itu, lalu kami katakan, 'Wahai Rosulullah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath sebagaimana Dzaatu Anwaath punya mereka.' Lalu berkata Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam, "Allahu Akbar, demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh kalian telah berkata seperti Bani Isroil telah berkata kepada Musa, ['... buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).' Musa menjawab: 'Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).'] Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan orang sebelum kalian."
(Dikeluarkan oleh Ahmad[1], Tirmidzi[2] dan beliau menshohihkannya, Abdur Rozzaq[3], ibnu Jarir[4], ibnul Mundzir[5], ibnu Abi Hatim, dan ath Thobroni[6] dengan yang semisalnya).
Periwayat Hadits:
Beliau adalah Abu Waqid al Laitsi nisbat kepada Laits bin Abd Manaf, dikatakan namanya al Harits bin Malik, dikatakan oleh yang lain ibnu 'Auf. Al Jama'ah telah meriwayatkan darinya, dan beliau mempunyai dua hadits di dalam Shohihain. Dikatakan bahwa dia mengikuti perang Badr, dan dikatakan juga bahwa dia termasuk muslim yang mengalami masa Fathul Makkah. Meninggal tahun 68 H ketika berumur 85 tahun.
Kosa Kata:
حنين : tempat yang dekat dengan Makkah.
حدثاء عهد بكفر : artinya masa mereka dekat dengan kekafiran (baru masuk Islam, pent.)
سدرة : satu jenis dari pohon.
يعكفون عندها : al 'ukuf adalah tinggal di suatu tempat.
ينوطون : menggantungkan senjata-senjata pada pohon itu dalam rangka mencari berkah.
السنن : jalan-jalan atau metode-metode.
Makna Global:
Ketika perang Hunain, di dalam pasukan Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam ada orang-orang yang baru masuk Islam, belum kokoh dalam keIslamannya, dan belum mantap dalam memahami dakwah Islamiyyah dan dalam memahami aqidah dan asas-asas karena masih dekat dengan masa kejahiliyahan dan kesyirikan. Mereka melewati kaum musyrikin yang sedang tinggal di sekitar pohon dalam rangka mencari berkah dan mengagungkannya. Orang-orang yang baru masuk Islam melihat mereka melakukan hal itu sehingga mereka minta kepada Rosulullah untuk membuatkan pohon tempat menggantungkan senjata-senjata guna mencari berkah dan bukan bermaksud untuk menyembahnya. Menurut sangkaan mereka, Islam memperbolehkan pencarian berkah semacam ini dan dengan cara ini mereka dapat mencapai kemenangan atas musuh-musuh mereka.
Permintaan yang aneh dan ajaib ini mengejutkan Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau mengatakan kalimat pengagungan yang sepantasnya dapat diambil pelajaran bagi umatnya sampai hari kiamat: "Allahu Akbar, demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh kalian telah berkata seperti Bani Isroil telah berkata kepada Musa, ['... buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).' Musa menjawab: 'Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).']"
Alangkah pentingnya bagi muslimin untuk memahami pelajaran ini dan alangkah pentingnya bagi ulama khususnya untuk meneriakkan kalimat ini dengan kuat dan keras di hadapan orang awam dan yang sejenisnya di mana mereka mencari berkah kepada orang hidup, orang mati, pohon, dan batu dengan sangkaan bahwa itu termasuk agama Islam. Dan orang yang tidak takut kepada Allah dan tidak mengharap kepada Allah dan hari akhir dari budak-budak harta dan jabatan menghiasi perbuatan itu dan memunculkan perasaan-perasaan bodoh dan polos, sehingga mengokohkan mereka di atas kebatilan dan menarik mereka ke kancah peperangan melawan al haq dan tauhid.
Faidah yang diperoleh dari Hadits:
1. Larangan menyerupai orang-orang jahiliyah.
2. Penyerupaan Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam antara permintaan mereka dengan permintaan Bani Isroil.
3. Sesungguhnya perbuatan yang dicela untuk Bani Isroil, juga dicela untuk umat ini jika mereka melakukannya.
4. Dalam hadits terdapat pemberitaan tentang kaidah menutup pintu kejelekan.
5. Juga terdapat sebuah tanda dari tanda-tanda kenabian yaitu terjadinya peristiwa yang telah dikabarkan Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam sebelumnya.
6. Takut dari kesyirikan dan bahwa manusia terkadang menganggap baik sesuatu yang dia kira dapat mendekatkan diri kepada Allah yang ternyata malah sangat menjauhkannya dari rahmatNya bahkan mendekatkan kepada kemurkaanNya.
Sumber: Mudzakkirotul Hadits an Nabawiy fil Aqidah wal Ittiba'



[1] 5/228.
[2] Kitab al Fitan: hadits nomor (2180), (4/475).
[3] (11/369) hadits nomor 10763.
[4] (9/45-46).
[5] Lihat ad Durrul Mantsur (3/533).
[6] (3/275) hadits nomor (3290-3294).
Berjabat Tangan Yang Dianjurkan Islam
Bab ini memuat tiga hadits, yaitu:
Pertama, dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, yang mempunyai beberapa sanad, di antaranya: Dari Quza'ah, ia berkata: "Ibnu Umar Radhiyallahu anhu mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu ia berkata: 'Kemarilah, aku akan mengucapkan selamat jalan kepadamu, sebagaimana ucapan selamat tinggal Nabi Shallallahu Alaihi wa Salam kepadaku ketika beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Kemudian ia mengucapkan:
"Aku menitipkan agamamu, amanatmu untuk segala akhir perbuatanmu kepada Allah". Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (n0. 2600) Imam Hakim (2/97), Imam Ahmad (juz 2/25, 38 dan 136), dan Imam Ibnu Asakir (14/290/2 dan 15/469/1) diperoleh dari Abdulaziz bin Umar bin Abdulaziz yang mendengarnya dari Quza'ah. Perawi-perawinya tergologn tsiqoh (konsisten terhadap ajaran Islam, cerdas dan kuat ingatannya) tetapi ada yang diperselisihkan yaitu Abdulaziz.
Sebagian Ulama meriwayatkannya dengan sanad seperti itu, tapi sebagian lain ada pula yang memasukkan satu orang perawi antara Abdulaziz dan Quza'ah. Orang yang dimasukkan tersebut adalah Ismail bin Jari, namun sementara ulama juga ada yang menyebutkannya Yahya bin Ismail bin Jarir. Sedang Al-Hafizh Ibnu Asakir menyebutkan beberapa riwayat yang berbeda-beda. Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya Al-Taqrib mengatakan: Yang benar adalah "Yahya bin Ismail".
Saya (Al-albani) berpendapat: bahwa hadits itu adalah dha'if, tetapi kemudian menjadi kuat oleh karena adanya sanad-sanad lain. Di dalam riwayat Ibnu Asakir terdapat matan sebagai berikut: "Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam mengucapkan selamat tinggal kepadaku, lalu ia menjabat tangan saja. Setelah itu ia mengucapkan: (Ia menyebutkan kalimat seperti hadits di atas).
Diriwayatkan dari Salim, bahwa Ibnu Umar selalu mengucapkan kepada orang yang hendak bepergian: 'Izinkan aku mengucapkan selamat jalan kepadamu, sebagaimana Nabi Shallallahu Alaihi wa Salam mengucapkannya kepadaku, lalu ia berucap: (seperti kalimat pada hadits yang pertama)." Hadits ini dtahrij oleh Imam Tirmidzi (2/255, cet. bulaq), Imam ahmad (2/7), dan Abdul Ghany Al-Maqdisy di juz 63 (41/1) dari Sa'id bin Khutsaimin dari Handzallah yang dikutip dari Salim. Imam tirmidzi berkomentar: "Hadits ini statusnya hasan shahih gharib (ada diantara ketida status tersebut), yang dimaksud adalah yang diriwayatkan oleh Salim."
Saya (Al-Albani) berpendapat: "hadits ini sesuai dengan syarat Muslim, hanya saja sanad yang dari Sa'id masih dipertentangkan. Oleh karena itu Imam Hakim meriwayatkannya (1/442 dan 2/97) dari Ishak bin Sulaiman dan Walid bin Muslim yang dikutip dari Handzalah bin Abu Sufyan diperoleh dari Al-Qasim bin Muhammad yang mengisahkan: "Saya berada di samping Ibnu Umar. Tiba-tiba datang seorang laki-laki dan berkata: "Saya hendak pergi." Lalu Ibnu Umar berkata:Tunggulah, aku akan mengucapkan selamat jalan kepadar£íu: (Kemudian Al-Qasim bin Muhammad menyebutkan kalimat seperti hadits pertama)."
Imam Hakim berkomentar; "Hadits ini statusnya shahih menurut syarat Bukhari-MusIim." Penilaiannya ini disetujui oieh Adz-Dzahabi.
Kemungkinan Imam Tirmidzi menganggap gharib (Hadits yang periwayatannya terdapat perawi yang menyendiri, baik di dalam keberadaan, sifat maupun keadaannya) hadits yang diriwayatkan melalui jalur Salim ini tsiqah. karena dua orang perawi tsiqah, yaitu lshak bin Sulaiman dan AI-Walid bin Musiim, yang berbeda dengan lbnu Khutsaim, sebab lbnu Khutsaim meriwayatkannya dan Handzalah dan Salim, sedangkan kedua perawi tsiqah tersebut mengatakan dari Handzalah yang diperoieh dari AI-Qasim bin Muhammad, dari Salim. Dan inilah yang nampaknya lebih shahih.
Abu Ya'la mentakhrij hadits ini di dalam musnad-nya(2/270), dari jalur AI-Walid bin Muslim saja.
Dari Mujahid, yang menceritakan: "Saya dan seorang laki-laki pergi ke Irak. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan Abdullah lbnu Umar. Tatkala akan berpisah ia berkata: "Aku tidak mempunyai sesuatu yang akan aku nasihatkan kepada kalian. Tetapi aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Jika ia (musafir) menitipkan sesuatu kepada Allah, maka mudah- mudahan Allah berkenan menjaganya. Dan saya menitipkan agama, amanat dan akibat perbuatan kalian kepada Allah s-wt. "
Hadits dengan riwayat ini disampaikan oieh lbnu Hibban di dalam kitab Shahihnya (2376), dengan sanad yang shahih.
Dari Nafi¡ Radiyallahu 'anhu dikutip dari Mujahid yang menuturkan: "Apabila Rasulullah saw meninggalkan seseorang, maka beliau meraih tangannya. Dan beliau tidak akan melepaskan genggamannya kecuali orang itu sendiri yang melepaskannya, dan beliau berkata: (Kemudian perawi menyebutkan ucapan selamat tinggal seperti hadits yang pertama). "
Hadits ini diriwayatkan oieh Imam Tirmidzi (2/255, cet. Bulaq), yang menilainya gharib.
Saya berpendapat, bahwa yang dimaksudkan oieh penilaian Imam Tirmidzi itu adalah dha 'if dari segi jalur (sanad) ini. Hal itu bisa demikian karena hadits itu diriwayatkan oieh lbrahim bin Abdurrahman bin Zaid bin Umayyah dari Nafi¡Ç. Padahal lbrahim ini tidak dikenal (majhul).
Tetapi lbrahim tidak meriwayatkan hadits ini seorang diri. namun ada perawi lain yang juga meriwavatkannya yaitu Ibnu Majah (2/943 nomor 2826), yang diperoleh dari Ibnu Abi Laila dari Nafi¡Ç. Akan tetapi Ibnu Abi Laila adalah orang yang kurang baik hafalannya. Nama sebenarnya, Muhammad bin Abdurrahman. la tidak menyebutkan cerita tentang berjabat tangan.
Hadits kedua dari Abdullah AI-Khathami yang menceritakan: "Adalah Rasulidlah saw jika hendak meninggalkan tentaranya, bersabda: (kemudian rawi menyebutkan kalimat yang diucapkan oleh Nabi saw seperti pada hadits pertama). "
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Sina di dalam "Amalul-Yaum Wal-Lailah" (nomor: 498) dengan sanad yang shahih menurut Muslim.
Hadits ketiga, dari Abu Hurairah yang memberitakan: "Rasulullah saw jika meninggalkan seseorang beliau bersabda: (sebagaimana kalimat pada hadits pertama). "
Hadits dengan sanad ini diriwayatkan oieh Imam Ahmad (2/358); dari lbnu Luhai'ah yang mengutip dari AI-Hasan bin Tsauban dari Musa Ibnu Wirdan yang diperolehnya dari Abu Hurairah.
Saya berpendapat, bahwa seluruh perawinya adalah tsiqah. Hanya lbnu Luhai'ah agak buruk hafaiannya. Matan yang dipakainya pun berbeda dengan yang dipakai oieh AI-Laits bin Sa'ad dan Sa'id bin Abi Ayyup yang diperolehnya dari Hasan bin Tsauban yang menuturkan: "Aku akan menitipkanmu kepada Allah yang tidak pemah menyia-nyiakan barang titipan-Nya, "
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ini lebih shahih dan sanadnya jayyid (shahih). Hadits ini juga diriwayatkan oieh Imam Ahmad (403/1)
Saya juga melihat bahwa lbnu Luhai'ah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang sama pada riwayat yang ditakhrij oieh lbnu Sina (nomor: 501) dan lbnu Majah (2/943, nomor: 2825). Sedang saya sendiri merasa yakin kesalahannya ada pada redaksi yang pertama.
Faedah-faedah Hadits
Dari hadits yang shahih ini dapat diambil beberapa faedah:
l. Disyariatkannya ucapan selamat tinggal dengan kalimat yang telah berlaku, yaitu :¡ÉASTAU DI¡ÇULLAHA DIINAKA WA AMAANATAKA WAKHAWAATIIMA ¡ÆAMALIKA¡É (artinya: Aku menitipkan agamamu, amanatmu, dan segala akhir perbuatanmu kepada Allah)
atau (yang artinya: "Aku akan menitipkanmu kepada Allah yang tidak pemah menyia-nyiakan barang titipan-Nya. ")
2. Bersalaman dengan satu tangan. Hal ini disebutkan pada banyak hadits. Dan jika ditinjau dari segi etimologi, maka kata al-mushafahah artinya: al-akhdzu bil-yadi memegang tangan atau menggenggamnya. Di dalam Lisanul Arab disebutkan: Kata al-mushafahah berarti menggenggam tangan. Begitu juga dengan kata at-tashajuh, Ar-rajul yushafihur-rajul, artinya seseorang menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan orang lain dan keduanya saling menempelkan telapak tangan mereka serta saling berhadapan. Arti yang sama dipakai pada hadits mushafahah (ketika bertemu). Kata itu merupakan tindakan menempelkan telapak tangan seseorang dengan telapak tangan orang lain dengan berhadap-hadapan.
Menurut saya ada beberapa hadits yang senada dengan arti tersebut, seperti hadits marfu¡Ç yang diriwayatkan oieh Hudzaifah:
"Jika seorang mukmin bertemu dengan orang mukmin lainnya, lalu mengacapkan salam dan berjabatan tangan, maka semua kesalahan kedua orang itu akan rontok, seperti daun-daun yang berguguran, "
Sementara itu AI-Mundziri (3/270) berkomentar: "Imam Thabrani meriwayatkan hadits ini di dalam ¡ÈAll-Ausath'' dan sepengetahuan saya, perawi-perawinya tidak ada yang terkena jarh (cacat).
Saya berpendapat, hadits ini mempunyai beberapa syahid (hadits penguat) yang dapat meningkatkan statusnya menjadi shahih. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Anas di dalam kitabnya Al-Mukhtarah (nomor: 240/1-2). AI-Mundziri menaikkannya kepada Imam Ahmad dan Imam lainnya.
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang disunnahkan di dalam berjabat tangan adalah dengan satu tangan. Apa yang dilakukan oleh beberapa Syaikh, yakni berjabatan tangan dengan dua tangan adalah menyelisihi sunnah. Hal ini perlu kita ketahui secara detail.
3. Berjabatan tangan juga diajarkan ketika akan berpisah. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi saw:
"Merupakan kesempurnaan penghormatan adalah berjabatan tangan. "
Hadits ini dilihat dari segi sanadnya, bagus sekali. Sebenarnya saya bermaksud menampilkan judul tersendiri tentang pernbahasan ini dengan disertai penjelasan mengenai sanad-sanadnya. Akan tetapi setelah saya teliti, temyata sanadnya dha'if dan tidak patut dibuat hujjah. Oleh karena itu, saya hanya menyebutkannya di dalam As-Silsilasul-Ukhra (Rangkaian Hadits yang Lain) (1288).
Adapun mengenai pengambilan dalil pembuktian kebenarannya tentang disyaratkannyasalam ketika berpisah adalah sabda Nabi saw: "Jika salah seorang di antara kalian memasaki masjid, maka ucapkanlah salam. Dan jika ia keluar, maka juga ucapkanlah salam. Salam yang pertama tidaklah lebih utama dari salam yang kedua. "
Hadit ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan lainnya dengan sanad hasan. Melihat hadits ini maka pendapat sebagian ulama' yang mengatakan bahwa berjabatan tangan ketika berpisah adalah bid'ah, sama sekali tidak mempunyai dalil. Memang, orang yang berpendapat tentang adanya hadits-hadits yang mengenai jabat tangan ketika bertemu adalah lebih banyak dan lebih kuat daripada ketika berpisah, tetapi orang yang tajam pemahamannya akan menyimpulkan bahwa intensitas disyari'atkannya berjabatan tangan ketika bertemu dengan ketika berpisah tidak sama. Misalnya berjabatan yang pertama adalah sunnah, sedangkan yang kedua adalah anjuran {mustahabbah}. Sedang bila jabatan tangan yang kedua dikatakan bid'ah, sama sekali tidak mempunyai dasar.
Adapun berjabatan tangan selepas shalat adalah bid'ah. Hal ini tidak diregukan lagi, kecuali antra dua orang yang tidak pernah bertemu sebelumnya, maka dalam kondisi itu berjabatan tangan memang disunnahkan. *)
(Dikutip dari: "Silsilah Hadits Shahih" karya Al-Muhadits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Pustaka Mantiq, Buku I th 1995, hal 38 - 44)
Hadits-hadits lemah tentang mengusap muka setelah berdo'a
Banyak orang yang mengusap muka mereka setelah melakukan sholat ataupun berdo'a. Namun benarkah amalan itu pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya? Risalah ini insya Allah akan menjelaskan tentang lemahnya hadits-hadits mengenai mengusap wajah.
1. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdo'a, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya.
Hadits ini lemah. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2/244), Ibnu 'Asakir (7/12/2). Dengan sanad :Hammaad ibn 'Isa al-Juhani dari Hanzalah ibn Abi Sufyaan al-Jamhi dari Salim ibn 'Abdullah dari bapaknya dari 'Umar ibn al-Khatthab.
At Tirmidzi berkata : "Hadits ini gharib, kami hanya mendapatkannya dari Hammad ibn 'Isa Al Juhani. Dan dia menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini. Dia hanya mempunyai (meriwayatkan) beberapa hadits saja, tapi orang-orang meriwayatkan darinya."
Bagaimanapun juga hadits ini lemah, berdasarkan pada perkataannya Al Hafidh Ibnu Hajar di dalam At Taqrib, dimana beliau menjelaskan tentang riwayat hidupnya dalam At Tahdzib : "Ibnu Ma'in berkata:'Dia adalah Syaikh yang baik', Abu Hatim berkata:'Lemah didalam (meriwayatkan) hadits', Abu Dawud berkata:'Lemah, dia meriwayatkanhadits-hadits munkar'.
Hakim dan Naqash berkata:'Dia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak kuat dari Ibnu Juraij dan Ja'far Ash Shadiq', Dia dinyatakan lemah oleh Ad Daraquthni, Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia meriwayatkan sesuatu yang salah melalui jalur Ibnu Juraij dan Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz, tidaklah diperbolehkan untuk menjadikannya sebagai sandaran, Ibnu Makula berkata:'mereka semua mencap hadits-hadits dari dia sebagai hadits lemah'".
Terdapat hadits yang sejenis dengan hadits 1: "Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengannya" Hadits ini Dha'if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1492) dari Ibnu Lahi'ah dari Hafsh bin Hisyam bin 'Utbah bin Abi Waqqash dari Sa'ib bin Yazid dari ayahnya.
Ini adalah hadits dha'if berdasarkan pada Hafsh bin Hisyam karena dia tidak dikenal (majhul) dan lemahnya Ibnu Lahi'ah (Taqribut Tahdzib).
Hadits ini tidak bisa dikuatkan oleh dua jalur hadits berdasarkan lemahnya hadits yang pertama.
2. "Jika kamu berdo'a kepada Allah,kemudian angkatlah kedua tanganmu (dengan telapak tangan diatas), dan jangan membaliknya,dan jika sudah selesai (berdo'a) usapkan (telapak tangan) kepada muka".
Hadits ini lemah. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1181, 3866), Ibnu Nashr dalam Qiyaamul-Lail (hal. 137),Ath Thabarani dalam Al-Mu'jam al-Kabir (3/98/1) & Hakim (1/536), dari Shalih ibn Hassan dari Muhammad ibn Ka'b dari Ibnu 'Abbas radiallaahu 'anhu (marfu').
Lemahnya hadits ini ada pada Shalih bin Hassan, Sebagai munkarul hadits, seperti dikatakan Al Bukhari dan Nasa'i,"Dia tertolak dalam meriwayatkan hadits"; Ibnu Hibban berkata:"Dia selalu menggunakan (mendengarkan) penyanyi wanita dan mendengarkan musik, dan dia selalu meriwayatkan riwayat yang kacau yang didasarkan pada perawi yang terpercaya"; Ibnu Abi Hatim berkata dalam Kitabul 'Ilal (2/351):"Aku bertanya pada ayahku (yaitu Abu Hatim al-Razi) tentang hadits ini, kemudian beliau berkata:'Munkar'."
Hadits dari Shalih bin Hasan ini diriwayatkan juga oleh jalur lain yaitu dari Isa bin Maimun, yaitu yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ka'ab, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Nashr. Tapi hal ini tidaklah merubah lemahnya hadits ini, sebab Isa bin Maimun adalah lemah.
Ibnu Hibban berkata:"Dia meriwayatkan beberapa hadits,dan semuanya tertolak". An Nasa'i berkata:"Dia tidak bisa dipercaya".
Hadits dari Ibnu Abbas ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (1485), dan Bayhaqi (2/212), melalui jalur 'Abdul Malik ibn Muhammad ibn Aiman dari 'Abdullah ibn Ya'qub ibn Ishaq dari seseorang yang meriwayatkan kepadanya dari Muhammad ibn Ka'b, dengan matan sebagai berikut : "Mintalah kepada Allah dengan (mengangkat) kedua telapak tanganmu,dan minta pada-Nya dengan membaliknya, dan jika kau selesai, maka usaplah mukamu dengannya".
Hadits ini sanadnya dha'if. Abdul Malik dinyatakan lemah oleh Abu Dawud. Dalam hadits ini terdapat Syaikhnya Abdullah bin Ya'qub yang tidak disebutkan namanya, dan tidak dikenal - Bisa saja dia adalah Shalih Bin Hassan atau Isa bin Maimun. Keduanya sudah dijelaskan sebelumnya.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hakim (4/270) melalui jalur Muhammad ibn Mu'awiyah, yang berkata bahwa Mashadif ibn Ziyad al-Madini memberitahukan padanya bahwa dia mendengar hal ini dari Muhammad ibn Ka'b al-Qurazi. Adz Dzahabi menyatakan bahwa Ibnu Mu'awiyah dinyatakan kadzab oleh Daraquthni, Maka hadits ini adalah maudhu'.
Abu Dawud berkata tentang hadits ini:"hadits ini telah diriwayatkan lebih dari satu jalur melalui Muhammad ibn Ka'b; semuanya tertolak."
Mengangkat kedua tangan ketika melakukan qunut memang terdapat riwayat dari Rasulullah tentangnya, yaitu ketika beliau berdoa terhadap kaum yang membunuh 15 pembaca Al Qur'an (Riwayat Ahmad (3/137) & AthThabarani Al-Mu'jamus-Shaghir (hal. 111) dari Anas dengan sanad shahih. Serupa dengan yang hadits yang diriwaytakan dari Umar dan yang lainnya ketika melakukan qunut pada sholat Witir. Namun mengusap muka sesudah du'a qunut maka tidaklah pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, tidak juga dari para shahabatnya, ini adalah bid'ah yang nyata.
Sedangkan mengusap muka setelah berdoa diluar sholat berdasarkan pada dua hadits. Dan tidaklah dapat dikatakan benar kedua hadits tersebut bisa menjadi hasan,seperti yang dikatakan oleh Al Manawi, berdasarkan pada lemahnya sanad yang ditemukan pada hadits tersebut.
Inilah yang menjadikan alasan Imam An Nawawi dalam Al Majmu bahwa hal ini tidak dianjurkan, menambahkan perkataan Ibnu 'Abdus-Salaam yang berkata bahwa "hanya orang yang sesat yang melakukan hal ini".
Bukti bahwa mengusap muka setelah berdo'a tidak penah dicontohkan adalah dikuatkan bahwa terdapat hadits-hadits yang tsabit yang menyatakan diangkatnya tangan untuk berdo'a, tapi tidak ada satupun yang menjelaskan mengsuap muka setelahnya, dengan hal ini, wallahu a'lam, hal ini tidak diterima dan tidak pernah dicontohkan.
Wallahu a'lam bish shawab Sumber : Kitab Irwa'ul Ghalil 2/178-182. Karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani
Keutamaan Orang yang Mengetahui dan Mengajar
Kitab Fathu Bari - Hadits nomor 79 (yang artinya) :
Dari Abi Musa Radhiallahu Anhu, katanya Nabi Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda, "Perumpamaan petunjuk dan ilmu pengetahuan, yang oleh karena itu Allah mengutus aku untuk menyampaikanya, seperti hujan lebat jatuh ke bumi; bumi itu ada yang subur, menyerap air, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput-rumput yang banyak. Ada pula yang keras tidak menyerap air sehingga tergenang, maka Allah memberi manfaat dengan hal itu kepada manusia. Mereka dapat minum dan memberi minum (binatang ternak dan sebagainya), dan untuk bercocok tanam. Ada pula hujan yang jatuh kebagian lain, yaitu di atas tanah yang tidak menggenangkan air dan tidak pula menumbuhkan rumput. Begitulah perumpamaan orang yang belajar agama, yang mau memanfaatkan sesuatu yang oleh karena itu Allah mengutus aku menyampaikannya, dipelajarinya dan diajarkannya. Begitu pula perumpamaan orang yang tidak mau memikirkan dan mengambil peduli dengan petunjuk Allah, yang aku diutus untuk menyampaikannya."Abu Abdillah berkata, bahwa Ishaq berkata," Dan ada diantara bagian bumi yang digenangi air, tapi tidak menyerap."
Kandungan Hadits
Tentang hadits diatas, setelah memaparkan keterangan yang menjelaskan hadits diatas dari segi bahasa (arab), Ibnu Hajar Al-Asqalani -penulis kitab fikih (klasik) Bulughul Maram- dalam kitabnya Fathul Bari, menjelaskan :
Al Qurtubi dan yang lainnya mengatakan bahwa Rasulullah ketika datang membawa ajaran agama, beliau mengumpamakannya dengan hujan yang diperlukan ketika mereka membutuhkannya. Demikianlah kondisi manusia sebelum Rasulullah diutus. Seperti hujan menghidupkan tanah yang mati, demikian pula ilmu agama dapat menghidupkan hati yang mati.
Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai macam tanah yang terkena air hujan, diantara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajar. Orang ini seperti tanah subur yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.
Diantara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengerjakan, akan tetapi dia mengejarkannya untuk orang lain, maka bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang diindikasikan dalam sabda beliau, "Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia mengerjakannya seperti yang dia dengar." Diantara mereka juga ada yang mendengar ilmu namun tidak menghafal atau menjaganya serta mengamalkannya dan tidak pula mengajarkannya kepada orang lain, maka dia seperti tanah yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilignya.
Dikumpulkannya perumpamaan bagian pertama dan kedua, adalah karena keduanya sama-sama bermanfaat. Sedangkan dipisahkannya bagian ketiga, karena tercela dan tidak bermanfaat.
Kemudian dalam setiap perumpamaan terdiri dari dua kelompok. Perumpamaan pertama telah kita jelaskan tadi, sedang perumpamaan kedua, bagian pertamanya adalah orang yang masuk agama (Islam) namun tidak mendengarkan ilmu atau mendengarkan tapi tidak mengamalkan dan tidak mengajarkannya. Kelompok ini diumpamakan Nabi Shallallahu Alaihi was Sallam dalam sabdanya, "Orang yang tidak mau memikirkan" atau dia berpaling dari ilmu sehingga dia tidak bisa memanfaatkannya dan tidak pula dapat memberi manfaat kepada orang lain.
Adapun bagian kedua adalah orang yang sama sekali tidak memeluk agama, bahkan telah disampaikan kepadanya pengetahuan tentang agama Islam, tapi dia mengingkari dan kufur kepadanya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah datar yang keras, dimana air mengalir diatasnya tapi tidak dapat memanfaatkannya. Hal ini diisyaratkan dengan perkataan beliau, "Dan tidak perduli dengan petunjuk Allah".
Ath-Thibi mengatakan, "Manusia terbagi menjadi dua. Pertama, manusia yang memanfaatkan ilmu untuk dirinya namun tidak mengajarkan kepada orang lain. Kedua, manusia yang tidak memanfaatkan untuk dirinya, tapi dia mengajarkan kepada orang lain. Menurut saya kategori pertama masuk dalam kelompok pertama, karena secara umum manfaatnya ada walaupun tingkatnya berbeda. Begitu pula dengan tanaman yang tumbuh, diantaranya ada yang subur dan memberi manfaat kepada manusia dan ada juga yang kering. Adapun kategori kedua walaupun dia mengerjakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang sunnah, sebenarnya dia termasuk dalam kelompok kedua seperti yang telah kita jelaskan; dan seandainya dia meninggalkan hal-hal wajib maka dia adalah orang fasik dan kita tidak boleh mengambil ilmu darinya. Orang semacam ini termasuk dalam, man lam yar fa' bi dzalika ro san. Wallahu a'lam"
Penutup
Dari uraian diatas, mari kita berkaca pada pribadi masing-masing. Termasuk dalam kelompok manakah kita ; kelompok tanah yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain, ataukah kelompok tanah yang yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilingnya? Semoga Allah memudahkan jalan kebaikan dan (kemudian) menempuhnya untuk yang telah menulis dan membaca tulisan ini, Amin.
dinukil dari kitab Fathul Bari (penjelasan kitab Shahih Al Bukari) karya Ibnu Hajar Al Asqalani (terjemahan). Penerbit Pustaka Azzam [Materi dengan judul serupa pernah disampaikan pada kajian Rutin Jum'at Sore - 18 Jumadil Ula 1424 H (18 Juli 2003) di Mushola GRABIK FK Unair (http://www.musholla.cjb.net), dengan pemandu : Ustadz Agus Suaidi - staf pengajar Ma'had Al Bayyinah, Sedayu, Gresik] - Gebang Kidul, 20 Jumadil Ula 1424 H.
Hadits Shahih tidak akan bertentangan dgn Al-Qur`an
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Bani ditanya: "Ada sebagian orang yang berkata bahwa apabila terdapat sebuah hadits yang bertentangan dengan ayat Al-Qur'an maka hadits tersebut harus kita tolak walaupun derajatnya shahih. Mereka mencontohkan sebuah hadits: "Sesungguhnya mayit akan disiksa disebabkan tangisan dari keluarganya."
Mereka berkata bahwa hadits tersebut ditolak oleh Aisyah Radliyallahu 'anha dengan sebuah ayat dalam Al-Qur'an surat Fathir ayat 18: "Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain."Bagaimana kita membantah pendapat mereka ini ?
Jawaban:
Mengatakan ada hadits shahih yang bertentangan dengan Al-Qur'an adalah kesalahan yang sangat fatal. Sebab tidak mungkin Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang diutus oleh Allah memberikan keterangan yang bertentangan dengan keterangan Allah yang mengutus beliau (bahkan sangat tidak mungkin hal itu terjadi).
Dari segi riwayat/sanad, hadits di atas sudah tidak terbantahkan lagi ke-shahih-annya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Umar bin Khattab dan Mughirah bin Syu'bah, yang terdapat dalam kitab hadits shahih (Bukhari dan Muslim).
Adapun dari segi tafsir, hadits tersebut sudah ditafsirkan oleh para ulama dengan dua tafsiran sebagai berikut :
1.Hadits tersebut berlaku bagi mayit yang ketika hidupnya dia mengetahui bahwa keluarganya (anak dan istrinya) pasti akan meronta-ronta (nihayah) apabila dia mati. Kemudian dia tidak mau menasihati keluarganya dan tidak berwasiat agar mereka tidak menangisi kematiannya. Orang seperti inilah yang mayitnya akan disiksa apabila ditangisi oleh keluarganya. Adapun orang yang sudah menasihati keluarganya dan berpesan agar tidak berbuat nihayah, tapi kemudian ketika dia mati keluarganya masih tetap meratapi dan menangisinya (dengan berlebihan), maka orang-orang seperti ini tidak terkena ancaman dari hadits tadi
Dalam hadits tersebut, kata al-mayyit menggunakan hurul alif lam (isim ma'rifat) yang dalam kaiah bahasa Arab kalau ada isim (kata benda) yang di bagian depannya memakai huruf alif lam, maka benda tersebut tidak bersifat umum (bukan arti dari benda yang dimaksud). Oleh karena itu, kata "mayit" dalam hadits di atas adalah tidak semua mayit, tapi mayit tertentu (khusus).
Yaitu mayit orang yang sewaktu hidupnya tidak mau memberi nasihat kepada keluarganya tentang haramnya nihayah.
Demikianlah, ketika kita memahami tafsir hadits di atas, maka kini jelaslah bagi kita bahwa hadits shahih tersebut tidak bertentangan dengan bunyi ayat:"Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain."
Karena pada hakikatnya siksaan yang dia terima adalah akibat kesalahan/dosa dia sendiri yaitu tidak mau menasihati dan berdakwah kepada keluarga.
Inilah penafsiran dari para ulama terkenal, di antaranya Imam An-Nawawi.
2.Adapun tafsiran kedua adalah tafsiran yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah di beberapa tulisan beliau bahwa yang dimaksuddengan azab (siksaan) dalam hadits tersebut adalah bukan adzab kubur atau azab akhirat melainkan hanyalah rasa sedih dan duka cita. Yaitu rasa sedih dan duka ketika mayit tersebut mendengar rata tangis dari keluarganya. Tapi menurut saya (Syaikh Al-Albani), tafsiran seperti itu bertentangan dengan beberapa dalil. Di antaranya adalah hadits shahih riwayat Mughirah bin Syu'bah:"Sesungguhnya mayit itu akan disiksa pada hari kiamat disebabkan tangisan dari keluarganya."
Jadi menurut hadits ini, siksa tersebut bukan di alam kubur tapi di
akhirat, dan siksaan di akhirat maksudnya adalah siksa neraka, kecuali apabila dia diampuni oleh Allah, karena semua dosa pasti ada kemungkinan diampuni oleh Allah kecuali dosa syirik.Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (QS. An-Nisa' : 48).
Banyak hadits-hadits shahih dan beberapa ayat Al-Qur'an yang mengatakan bahwa seorang mayit itu tidak akan mendengar suara orang yang masih hidup kecuali saat tertentu saja. Di antaranya (saat-saat tertentu itu) adalah hadits riwayat Bukhari dari shahabat Anas bin Malik Radliyallahu 'anhu:"Sesungguhnya seorang hamba yang meninggal dan baru saja dikubur, dia mendengar bunyi terompah (sandal) yang dipakai oleh orang-orang yang mengantarnya ketika mereka sedang beranjak pulang, sampai datang kepada dia dua malaikat." Kapan seorang mayit itu bisa mendengar suara sandal orang yang masih hidup? Hadits tersebut menegaskan bahwa mayit tersebut hanya bisa mendengar suara sandal ketika baru saja dikubur, yaitu ketika ruhnya baru saja dikembalikan ke badannya dan dia didudukkan oleh dua malaikat. Jadi, tidak setiap hari mayit itu mendengar suara sandal orang-orang yang lalu lalang di atas kuburannya sampai hari kiamat. Sama sekali tidak !
Seandainya penafsiran Ibnu Taimiyyah di atas benar, bahwa seorang mayit itu bisa mendengar tangisan orang yang masih hidup, berarti mayit tersebut bisa merasakan dan mendengar apa yang terjadi di sekelilingnya, baik ketika dia sedang diusung atau dia dimakamkan, sementara tidak ada satupun dalil yang mendukung pendapat seperti ini.
Hadits selanjutnya adalah:"Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang bertugas menjelajah di seluruh permukaan bumi untuk menyampaikan kepadaku salam yang diucapkan oleh umatku." Seandainya mayit itu bisa mendengar, tentu mayit Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam lebih dimungkinkan bisa mendengar. Mayit beliau jauh lebih mulia dibandingkan mayit siapapun, termasuk mayit para nabi dan rasul. Seandainya mayit beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam bisa mendengar, tentu beliau mendengar salam dari umatnya yang ditujukan kepada beliau dan tidak perlu ada malaikat-malaikat khusus yang ditugasi oleh Allah untuk menyampaikan salam yang ditujukan kepada beliau.
Dari sini kita bisa mengetahui betapa salah dan sesatnya orang yang ber-istighatsah (minta pertolongan) kepada orang yang sudah meninggal, siapapun dia. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling mulia di sisi Allah dan beliau tidak mampu mendengar suara orang yang masih hidup, apalagi selain beliau. Hal ini secara tegas diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur'an surat Al-A'raf ayat 194: "Sesungguhnya yang kalian seru selain Allah adalah hamba juga seperti kalian."Juga di dalam surat Fathir ayat 14 :"Jika kalian berdo'a kepada mereka, maka mereka tidak akan mendengar do'a kalian." Demikianlah, secara umum mayit yang ada di dalam kubur tidak bias mendengar apa-apa kecuali saat-saat tertentu saja. Sebagaimana yang sudah diterangkan dalam beberapa ayat dan hadits di atas.
(Dikutip dari "Kaifa yajibu 'alaina annufasirral qur'anil karim" Syaikh Al Albani, edisi Bahasa Indonesia "Tanya Jawab dalam Memahami Isi Al-Qur'an")
Hadits Pertama Arbain Nawawi
Oleh Ibnu Daqiqil 'Ied
Dari Amirul Mukminin Abi Hafs Umar bin Khattab Radhiyallahu 'Anhu: Aku mendengar Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang mndapatkan sesuai apa yang diniatkan, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang akan didapatkan atau wanita yang akan dinikahi maka hijrahnya sesuai dengan apa yang dia niatkan. (HR. Bukhori Muslim)
Syarah:
Hadits ini telah disepakati keshahihannya, juga telah disepakati agungnya kedudukan hadits ini dalam Islam. Hadits ini sangat banyak faedahnya. Diriwayatkan oleh Abu Abdillah Al Bukhari dalam banyak tempat di kitabnya, dan Imam Abul Hasan Muslim bin Hajjaj meriwayatkan di akhir kitabul jihad. Hadits ini merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Imam Syafi'I dan Imam Ahmad berkata: Telah ada dalam hadits ini sepertiga ilmu, ucapan ini diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya, sebabnya dikatakan demikian adalah karena perbuatan hamba terjadi degan hati, lisan, dan anggota badannya. Dan niat adalah salah satu dari tiga bagian ini. Juga telah diriwayatkan bahwa Imam Syafi'I pernah berkata: :Hadits ini masuk dalam tujuh puluh bab masalah fiqih. Sekelompok ulama ada yang berkata: Hadits ini sepertiga ilmu.
Para ulama juga menganjurkan agar memulai karangan-karangan degan hadits ini, diantara ulama yang memulai kitabnya dengan hadits ini adalah Imam Abu Abdillah Bukhari. Abdurrahman bin Mahdi brekata: Semua pengarang buku hendaknya memulai kitabnya dengan hadits ini, untuk mengingatkan thalibul ilmi agar membenarkan niatnya.
Hadits ini jika dilihat dari akhir sanadnya adalah hadits masyhur, tapi jika dilihat dari awal sanadnya adalah hadits gharib, karena tidak ada yang meriwayatkan dari Nabi Shallahu 'Alaihi wa Sallam kecuali Umar bin Khattab, tidak ada yang meriwayatkan dari Umar kecuali Alqamah bin Abi Waqas, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Alqamah kecuali Muhammad bin Ibrahim attaimi, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim kecuali Yahya bin Sa'd al anshari. Kemudian setelah itu masyhur diriwayatkan oleh lebih dari dua ratus orang dan sebagian besar mereka adalah imam.
Lafadz innama untuk hashr (pembatasan): menetapkan yang disebutkan dalam konteks hadits dan menafikan yang selainnya, lafadz ini sebagai pembatas yang mutlak dan kadang sebagai pembatas yang khusus, hal ini dipahamai dengan adanya qarinah, seperti firman Allah: Engkau hanyalah seorang pemberi peringatan. (An Nazi'at:45)
Dhahir ayat ini menunjukkan pembatasan tugas Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam hanya sebagai pemberi peringatan, padahal Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam sifatnya tidaklah terbatas itu saja, bahkan dia mempuyai sifat yang banyak dan bagus, seperti pembawa kabar gembira dan lainya.
Demikian pula firman Allah: Kehidupan dunia hanyalah permainan dan sia-sia.
Dhahir ayat -wallahu a'lam- pembatasan jika dilihat dari pengaruhnya, adapun jika dilihat pada hakikat dunia itu sendiri, kadang dunia menjadi sebab satu kebaikan, ayat ini hanya menunjukkan pengaruh dunia terhadap mayoritas manusia.
Jika ada lafadz innama perhatikanlah, apabila konteks dan maksud pembicaraan menunjukkan pembatasan yang khusus katakanlah demikian, jika tidak maknakanlah dengan pembatasan yang mutlak. Diantaranya sabda Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam : Amalan itu tergantung niatnya. Yang dimaksud amalan dalam hadits ini adalah amalan syari'ah. Maknanya: amalan tidak dianggap jika tanpa niat, sepreti wudhu, mandi, tayammum demikian pula shalat, zakat, puasa, haji, I'tikaf dan seluruh ibadah. Adapun menghilangkan najis tidak butuh kepada niat karena itu termasuk bab tark dan bab tark tidak butuh pada niat. Ada juga sekelompok ulama berpendapat sahnya wudhu dan mandi tanpa niat.
Dalam sabda Rasulullah Shallahu 'Alaihi wa Sallam : Amalam itu tergantung niat ada kata yang mahdzuf (dihilangkan), para ulama ikhtilaf dalam menentukan lafadz yang mahzuf, ulama ynag mensyaratkan niat dalam ibadah menyatakan: Sahnya amalan itu dengan niat, ulama yang tidak mensyaratkan niat menyatakan: Sesungguhnya sempurna tidaknya amalan itu tergantung niat.
Sabda beliau: Sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan Al Khattabi berkata, Kalimat ini memberikan makana khusus berbeda dengan kalimat ang pertama yaitu menentukan amalan dengan niat. Syaikh Muhyidin menyebutkan faedah yang ia sebutkan: Bahwasanya menentukan amalan dengan niat adalah syarat, kalau seseorang mempunyai kewajiban shalat qadha, dia tidak cukup meniatkan shalat yang terluput, tapi disyaratkan untuk menentukan apakah shalat tersebut shalat dhuhur, ashar atau selain keduanya. Kalaulah tidak ada kalimat yang kedua (yakni: Sesungguhnya setiap ornag mendaptakan apa yang ia niatkan) maka kalimat pertama hanya menunjukkan bahwa sahnya amalan itu dengan niat tanpa mewajibkan untuk menentukan niat, atau akan mengesankan demikian, wallahu a'lam.
Sabdanya: Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang telah disepakati oleh ahli bahasa arab:
Syarat dan jaza (jawab dna syarat) serta mubtada dan khabar haruslah berbeda, akan tetapi dalam hadits ini antara syarat dan jaza tidak berbeda. Jawabnya adalah: Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dalam niat dan tujuannya Maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dalam hukum dan syariat.
Hadits ini teriwayatkan karena ada sebab, para ulama menukilkan bahwa ada seorag yang hijrah dari Mekkah ke Medinah untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais, dia tidak menginginkan keutamaan hijrah, hingga iapun dijuluki muhajir ummu Qais 1) wallahu a'lam.
Catatan kaki:
1) Ibnu Rajab menyatakan dalam kitabnya Jami'ul Ulul Wal Hikam: Telah masyhur bahwa kisah muhajir Ummu Qais adalah sebab diucapkannya hadits: Barang siapa hijrahnya untuk dunia yang ia dapatkan atau wanita yang ia nikahi ... banyak orang mutaakhirin yang menyebutkan hal ini dalam kitab-kitab mereka, tapi kami tidak dapatkan keterangan ini dalam sanad yang shahih. , wallahu a'lam.
Syaikh Salim berkata: Inilah yang benar, Al Hafidz telah menegaskan dalam kitabnya Fathul Bari 1/10: (Walaupun hadits muhajir Ummu Qais shahih) tapi tidak ada keterangan hadits innamal a'malu binniyat disebabkan oleh kejadian (hadits) tersebut, aku tidak temukan sedikitpun dalam banyak sanad hadits ini yang menegaskan hal tersebut. (Dinukil dari kitab Iqadhul Himam hal:37 -pent)
** Faedah (Fiqih) hadits pertama di antaranya:
  1. Harusnya berniat dalam seluruh amalan.
  2. Niat tempatnya di hati bukan di lisan menurut kesepakatan muslimin, dalam seluruh ibadah bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad dan lainnya. Melafadzkan niat adalah bid'ah, telah keliru orang membolehkan mengucapkan niat ketika haji dan lainnya, karena mereka tidak bisa membedakan antara niat dan talbiyah.
  3. Amalan shalih terwujud dengan niat yang shalih, tapi niat yang baik tidak bisa menjadikan perkara mungkar menjadi baik atau perkara bid'ah jadi sunnah, betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi tidak mencapainya.
  4. Ikhlas untuk Allah adalah syarat diterimanya amal, karena Allah tidak menerima amalan kecuali yang paling murni dan benar, yang paling murni adalah yang ditujukan hanya untuk Allah dan yang paling benar adalah yang sesuai dengan sunnah yang shahih.
(Disarikan dari kitab Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhus Shalihin:I. 31-32)
Diketik ulang dari:Terjemah Syarah Arba'in an Nawawi (1-20)', Ibnu Daqiqil 'Ied. Penerbit: Al Mubarak, Cileungsi, Cet.I, Dzul Qa'dah 1420 H/ Februari 2000 M, hal.10-16

Tafsir / Indonesia / Sebab turun / Surah Al Hujuraat 12

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)

Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Abu Mulaikah menceritakan, bahwa ketika penaklukan kota Mekah Bilal langsung naik ke atas Kabah kemudian mengumandangkan suara azan, sebagian orang-orang ada yang mengatakan, "Apakah hamba sahaya yang hitam ini berani azan di atas Kabah?" Sebagian dari mereka mengatakan, "Jika Allah murka, niscaya Dia akan mencegahnya." Lalu Allah swt. menurunkan firman-Nya, "Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan..." (Q.S. Al Hujurat, 13) Ibnu Asakir di dalam kitab Mubhamat mengatakan, "Aku telah menemukan di dalam manuskrip yang ditulis oleh Ibnu Basykuwal, bahwa Abu Bakar bin Abu Daud mengetengahkan sebuah hadis di dalam kitab tafsir yang ditulisnya, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Hindun. Rasulullah saw. memerintahkan kepada Bani Bayyadhah supaya mereka mengawinkan Abu Hindun dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Lalu mereka menjawab, "Wahai Rasulullah! Apakah pantas bila kami menikahkan anak-anak perempuan kami dengan bekas hamba sahaya kami?" Lalu turunlah ayat ini.
STATUTA TAFSIR
 BI’R-RA’YI ANTARA YANG DIBOLEHKAN DAN YANG DILARANG

PENGERTIAN

(a). Tafsir:
Pengertian yang berkembang mengenai makna tafsir di kalangan para ahli berputar pada 3 (tiga) pengertian, (1). Tafsir adalah ta’wil. Kedua makna ini bertemu pada arti ar-raj’iy, yaitu mengembalikan maksud ayat sesuai dengan kehendak al-Qur’an. Ta’wil yang diakui oleh ulama salaf pada era awal perkembangan ilmu ini hanya ta’wil dzahiri seperti ungkapan “dzalika khairun wa ahsanu ta’wilâ (4:59), bukan ta’wil bathini seperti dalam wa mâ ya’lamu ta’wîlahû illa’l-Lâh (3:7) yang biasa dipakai kalangan pemuja berat rasionalisme dan transendentalisme untuk membenarkan pemakaian ta’wil Qur’ani. Di kemudian hari oleh ulama khalaf kedua makna ini dibedakan, tafsir lebih terkonsentrasi pada lafal, sedang ta’wil pada makna. Tafsir lebih menjurus ke makna tertentu, sedang ta’wil mengandung banyak kemungkinan. Perubahan ini sekaligus membawa pengaruh signifikan terhadap corak tafsir di era selanjutnya lewat 2-madzhab pikir yang sulit dikawinkan (rujuk-ulang), salafi (original) dan khalafi (eksoteris).
(2). Tafsir dengan makna ta’rif atau frase, rumusan atau batasan maksud yang terkandung dari sebuah kalimat/kata tertentu. Ta’rif bergantung kepada “siapa” pelakunya atau standard “apa” yang dipakainya. Karena yang akan dita’rifkan itu ayat Qur’an, maka tentu saja harus memakai standard pemiliknya, Allah s.w.t yang sudah diwahyukan kepada Rasul-Nya lewat tafsir sunnah, baik dengan cara muthabiq (korelatif, seperti tafsir sholat wushta dengan sholat ‘Ashar, 2:238), taladzum (imperatif, seperti perintah do’a dalam 40:60 dengan beribadah) dan tadhamun (include, seperti tafsir akhirat dengan kubur, karena kubur sebagian dari akhirat (14:27).
(3). Tafsir sebagai sebuah ilmu yang terikat oleh sistem, metode, tujuan dan struktur obyektif lainnya baru dikenal pada periode ke-2 menyusul proyek penyusunan hadits di masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz (99-101 H) pada abad II H. Jasa gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad Ibn ‘Amr Ibn Hazm (w.120 H), juga penghapal wanita murid ‘Aisyah r.ah, Amrah bint Abdirahman bin Sa’ad ibn Zurarah (w.106 H) serta Fuqaha’ Tujuh di Madinah, sangat besar sekali. (Prof.Hasbi Ash-Shiddieqy,1954:79-81). Tafsir ditulis mendampingi bab-bab hadits, sehingga satu dengan yang lain saling mendukung satu sama lain. Tafsir inilah yang dikenal dengan tafsir bil ma’tsur yang terpercaya itu, karena memiliki sandaran riwayat yang dhabit (dokumentif) dan metode yang teruji. Dhabit karena dilengkapi dengan asbab nuzul, ta’yin (referentif), dan penjelasan mutlak atas mujmal, khas (khusus) atas ‘amm (umum),  atau antara ‘amm dengan istisna’ (pengecualian), juga muqaddam (terdahulu) dan mu’akhar (terakhir).
(b). Ra’yu adalah antitesis dari tafsir riwayat (bil ma’tsur). Ra’yu pada awalnya dikenal sinonim dengan makna ijtihad (inovasi), istinbath (metode konklusi) dan qiyas (analogi). Makna ini kemudian bergeser menyusul fenomena menjamurnya madzhab kalam dan berhasilnya pengawinan-purna madzhab hati (sofisme) dan akal (filosof), pasca perang salib dan kolonialisme ke dunia Islam. Ra’yu menjadi piur rasio yang mereka perhalus dengan istilah akal-budi. Ra’yu dipakai dengan kental oleh pemuja filsafat, mutakallimun, bathiniyah dan para sufi, secara subyektif dengan cara metafisis dan terkadang penuh desepsi (tipu) dalam memperlakukan al-Qur’an, terutama sekali ayat-ayat khabariyah (informatif) dan I’tiqadiyah (teologi). Ra’yu pun dicerca, meskipun yang lain memujanya. Ada ra’yu yang mahmûd (terpuji/diperpolehkan), namun tidak sedikit ra’yu yang madzmûm (tercela & dilarang).   

METODE & CORAK TAFSIR TERBAIK

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H) pernah ditanya murid-muridnya, “famâ ahsanu thuruq at-tafsir, Metode tafsir manakah yang terbaik?”. Jawaban atas pertanyaan ini oleh sang Guru dituangkan dalam bentuk kitab yang ditulisnya dari ba’da ‘ashar sampai maghrib, “Muqaddimah Fi Ushul at-Tafsir”. Tokoh garda salafi ini menjawab: Ketika kalian ditanya seperti itu, maka jawablah bahwa metode tafsir terbaik (sekaligus paling aman) adalah dengan cara tafsir (ayat) Qur’an dengan (ayat) Qur’an. Ayat mujmal (global) pada satu tempat, ternyata ada bayan (rinciannya) pada tempat lain. Ayat mukhtashar (ringkas) pada suatu tempat, ternyata ada mabsuth (kembangannya) diayat lain. Jika tidak ditemukan, maka jawabannya terdapat dalam sunnah. Karena sunnah adalah syarah muwadhihah (komentator terjelas) bagi Al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan oleh Imam As-Syafi’i (150-241 H):
 كُلُّ مَا حَكَمَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ مِمَّا فَهِمَهُ مِنَ اْلقُرْأنِ
“Semua masalah yang telah diputuskan oleh Rasulullah s.a.w berasal dari pemahaman beliau terhadap al-Qur’an.” Sebagaiman firman Allah dalam 4:105; 16:44, 64 juga sabda Nabi s.a.w:
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا إِنِّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ *
Dari Miqdam Ibn Ma’di Karib, dari Rasulullah s.a.w, beliau bersabda: “Ketahuilah, bahwasanya aku diberi Qur’an dan semacam Qur’an besertanya. Ingatlah, seorang laki-laki senantiasa menghimpun di atas balai-balai tempat duduknya, ia berkata: “Wajib atas kalian akan Qur’an ini. Apa saja yang kalian dapati di dalamnya dari yang halal, maka halalkanlah. Dan apa saja yang kalian dapati dari yang haram, maka haramkanlah.” (HR. Abu Dawud, Sunnah:3988; Turmudzi, Ilmu:2588; Ibnu Majah, Muqaddimah:12)
Kecuali itu, lanjut Syeikhul Islam, sunnah juga adalah wahyu. Qur’an melalui proses nuzul, hadits pun ia. Qur’an dibacakan oleh malaikat Jibril, sunnah pun ada yang begitu. Masalah ini dengan panjang lebar sudah dijelaskan oleh Imam Syafi’i dan ulama lain dalam kitab monumental mereka dengan dalil tak terbantahkan.
Jika dalam sunnah tidak terdapat, maka serahkanlah penafsirannya pada aqwal sahabat. Karena mereka adalah saksi awal (syawahid al-awa’il) nuzulnya Qur’an dalam semua keadaan. Kapasitas pemahaman sahabat, kelurusan ilmu dan amal shalih mereka tidak perlu disangsikan. Sebut saja di antaranya, Ibnu Mas’ud, ahli qira’ah berbadan kecil ini mengatakan: “Demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia, tidaklah ayat dalam Qur’an itu turun, kecuali aku tahu kapan dan di mananya.” Begitu pula dengan Ibnu Abbas, sang Jubir Nabi dalam bidang Qur’an yang dijamin oleh Nabi s.a.w dengan do’a beliau.
Metode ini bisa menggabungkan pendekatan tafsir ijmali (global), muqaran (komparasi), Tahlili (analisis) dan maudhu’i (tematik), bergantung bagaimana kita mengembangkannya. Tafsir bi’r-ra’yi masuk dalam khazanah Islam ketika terjadi krisis intelektual muslim ‘Arab yang terus memburuk atau lebih tepatnya diperburuk oleh pengaruh helenistik dan kaum orthodok akibat dampak nyata imperialisme dan kolonialisme ke dunia Islam dipenghujung abad-18, pasca perang salib. Dikuti oleh akulturasi budaya lokal dan luar, kajian orientalisme sampai proyek pengiriman studi atas nama bea siswa ke universitas barat. Tafsir aliran, kemudian bermunculan sejalan dengan menjamurnya organisasi sosial-politik dan jama’ah Islami. Memang benar, imperialisme -sebagaimana sering disetir banyak ahli- adalah kemenangan barat dan kemunduran timur.  

HUKUM TAFSIR BI’R-RA’YI

Dasar Pertimbangan:
1)       Bahwa Qur’an adalah kitab mubarak yang wajib diikuti (6:155-156) berdasarkan pemahaman Rasulullah s.a.w yang juga diikuti oleh para Sahabat ridhwanu’l-Lahi ajma’in (3:53; 4:114).
2)       Bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah s.a.w (Khairul Kalami Kalamu’l-Lah) dan bahwa Sahabat Nabi tidak akan pernah berijma’ dalam kesesatan (La tajtami’u Ummatî ‘alâ dhalâlah)
3)       Bahwa ayat Qur’an terdiri dari muhkamat (terang/jelas) dan mutasyabihat (samar) seperti dijelaskannya dalam 3:7, maka demi keselamatan kita bersama wajib mengikuti pola “ar-rasikhuwna bi’l-ilm (para ahli yang dalam ilmunya) dan menghindari cara-cara ahlu’z-zaigh (condong pada kesesatan).
Aisyah r.a meriwayatkan, tatkala Rasulullah s.a.w selesai membacakan Ali Imran 7 ini kepada para Sahabat, Nabi s.a.w bersabda:
فَإِذَا رَأَيْتَ الّّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرُوْهُمْ
 “Apabila kalian melihat orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat, maka mereka itulah yang dimaksud oleh Allah. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap mereka.” (Bukhari, kitab Tafsir, Muslim, kitab Ilmu, LLM. No:1705)
4)       Mengingat ketinggian bahasa i’jaz Qur’an, aspek balaghah serta redaksional Qur’an yang piur wahyu, maka dibutuhkan persyaratan dan etika moral penafsiran Qur’an sebagaimana digariskan salafuna’s-shalih antara lain fatwa Imam Ibnu Taimiyah dalam Muqaddimah Fi Ushul at-Tafsirnya, juga Imam Ibnu Katsir dalam muqadimah Tafsir Qur’an al-Adzimnya.
5)       Karena ra’yu dekat pada dzann (53:28) dan cenderung berkaloborasi dengan al-ahwa (28:49-50). 
Mengingat:
1.       Isyarat Nabi s.a.w tentang bahaya tahrif (penyimpangan), intihal (manipulasi) dan ta’wil (pemalingan makna), seperti bunyi hadits:

يَحْمِلُ هَذَا اْلِعلْمَ مِنْ كُلِّ عُدُوْلُهُ, يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفُ اْلغَالِيْنَ, وَانْتِحَالُ الْمُبْطِلِيْنَ, وَتَأْوِيْلُ الْجَاهِلِيْنَ

Ilmu ini akan dibawa dan dipelihara oleh orang-orang adil dari setiap generasi. Mereka ini akan membersihkannya dari tahrif/penyimpangan kaum ekstrim, manipulasi kaum sesat dan penakwilan orang bodoh.” (HR. Ibn ‘Ady, Abu Na’im, Ibnu Asakir, Ad-Dailami. Dishahihkan oleh Ibn Wazir, Ahmad dan Ibn Abdil Bar serta ditarjihkan oleh al-‘Uqaily).
2.       Perintah untuk mengikuti (ittiba’) petunjuk Rasulullah (4:115; 5:116) dan bahwa petunjuk itu adalah jalan keselamatan (20:47), serta larangan menyelisihi tata-cara beragama Rasulullah s.a.w (59:7; 24:63).
3.       Penyesalan tak berguna dari mereka yang menyelisihi jalan Rasul di hari Qiamat (25:27-8).
4.       Larangan untuk mengikuti prasangka (53:28), hawa nafsu (45;18; 5:48-49) dan pendapat tanpa ilmu (17:36).
5.       Larangan Nabi s.a.w untuk menafsirkan al-Qur’an dengan akal:
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مْنَ النَّارِ". هذا حديث حسن صحيح
Rasulullah s.a.w  bersabda : “Barangsiapa mengatakan sesuatu tentang al Qur’an, tanpa ilmu (dengan pendapatnya sendiri), maka bersiaplah ia untuk menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Turmudzi, sebagaimana dalam Jami’  Shahih Sunan Tirmidzi, V:183 no. 2950, ia berkata: Hadits ini hasan shahih. Periksa juga Muqaddimah Tafsir Ibnu Katsir hal 13, Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ Tirmidzi, VIII: 277).
6.       Kekhawatiran Sahabat tentang bahaya tafsir bi’r ra’yi:
a. Abu Bakar As-Shiddiq: “Tanah mana yang akan menampungku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku mengatakan tentang 1-ayat saja dari kitabu’l-Lah berdasarkan ra’yu atau dengan sesuatu yang tidak aku ketahui.”
b. ‘Umar bin Khathab berkhutbah di atas mimbar: “Wahai sekalian manusia, sesunguhnya ra’yu itu hanyalah yang berasal dari Rasulullahlah yang benar, sesungguhnya Allah s.w.t telah memberitahukan kepadanya. Dan yang datang dari kita hanyalah praduga dan terkaan semata. Khalifah ke-2 bergelar Amirul Mu’minin ini selanjutnya membaca ayat, “sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kalian mengadili manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepada kalian (4:105).”
c. Ali bin Abu Thalib sebagaimana diriwayatkan Abu Karib Muhammad bin al-A’la menceritakan dari Hafs bin Ghayats dari A’masy dari Abu Ishaq as-Sya’bi dari Abul Kheir dari ‘Ali bin Abu Thalib. Khalifah ke-4 ini berkata:
“Seandainya agama dibangun berdasarkan ra’yu, niscaya mengusap bagian bawah sepatu lebih baik daripada mengusap bagian atasnya.” (HR. Abu Dawud).
Dengan mengharap maghfirah dan hidayah dari Allah s.w.t setelah melakukan penelitian dan pengkajian yang seksama, maka statuta tafsir bi’r-ra’yi adalah sebagai berikut:
  1. Dibolehkan, jika memenuhi sejumlah persyaratan sebagai berikut:
q       Pertama: Ra’yu’n-Nushush (pendapat yang didasarkan pada nash shahih dan sharih). Hatinya bersih, pikirannya jernih, fitrahnya suci, ilmunya luas dan ‘aqidahnya lurus.
q       Kedua: ra’yu al-istidlal (ra’yu yang berargument) didasarkan pada hujjah, burhan dan istinbath dalil, seperti dilakukan oleh Abu Bakar ketika ditanya tentang makna kalalah dalam 4:176 (orang yang meninggal tanpa orang tua dan keturunan). “Jika jawaban saya benar, maka itu dari Allah. Jika salah, maka itu dari saya dan setan”.
q       Ketiga: ra’yu ijma’ (pendapat konsensus) seperti kita saksikan pada ijma’ sahabat atau fatwa institusi ulama, karena ummatku, kata Nabi s.a.w, tidak akan berkumpul dalam kesesatan.
q       Keempat: ra’yu al-mashadir (pendapat yang memiliki sumber) yang digali dari salafuna’s-shalih, karena pada hakekatnya pemikiran manusia khususnya tentang agama, sudah terpikirkan oleh pendahulu kita (ulama mutaqaddimin). Demikian Imam Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’innya.
  1. Dilarang, jika tidak terdapat persyaratan di muka dan terjebak pada deretan kesalahan berikut:
q       Mengabaikan nash yang sejatinya wajib diikuti, baik nash Qur’an maupun Sunnah. Pengabaian terhadap nash, bisa disebabkan oleh:
o        ketidak-mengertian mereka terhadap ketetapan nash (al-jahl) atau
o        al-hawa, nash ada tapi dicampur-adukan (talbis) dan atau sengaja disembunyikan (kitman).
o        kesalahan metodologi yang berakibat pada kekeliruan istinbath hukum.
q       Tidak ‘alim (tidak punya kapasitas memadai) terhadap Qur’an-Hadits berikut perangkat ilmunya, sehingga menyebabkan pelakunya terjebak pada kekeliruan memahami nash atau menyimpang dari konteksnya (dalil dan madlulnya atau shahih-sharihnya). Akibatnya, dia sendiri sesat dan menyesatkan orang lain.
q       Tidak paham tentang dunia kalam, terutama menyangkut tafsir aliran yang memungkinkan pelakunya terjebak pada penafsiran mereka, sehingga tanpa sadar mengkonsumsi pikiran mereka. Mengaku mujaddid padahal sebenarnya mubaddid, menyangka shalih padahal hakekatnya thalih.
q       Mengabaikan ijma’ yang telah ditetapkan para ulama mutaqaddimin, seperti kesukaan mereka menggugat sesuatu yang sudah qath’iyud dilalah (konkrit definitif).
q       Menafsirkan Qur’an-Hadits yang menyangkut wilayah qath’iyat (nyata-nyata kepastiannya) dan mutasyabihat (samar-samar) dengan cara-cara yang tidak dibenarkan syara’, seperti menggunakan qiyas tidak pada kedudukannya, contohnya qiyas fasid (analogi yang merusak) atau qiyas ba’id (analogi sangat jauh). Atau dengan menta’aqqulikan nash ta’abbudi dan menta’abbudikan sesuatu yang ta’aqquli. Demikian Syeikh Shalih Ali As-Syeikh dalam kitab Manahij al-Mufassirin.  Simaklah sabda Nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Jundab bin ‘Abdullah al-Bajali r.a, Rasulullah s.a.w bersabda:
إِقْرَءُوْا اْلقُرْأَنَ مَاأْتَلَفَتْ عَلَيْهِ قُلُوْبُكُمْ فَإِذَا اخْتَلَفْتُمْ فَقُوْمُوْا عَنْهُ
 “Bacalah al-Quran selama hati kalian bersatu. Apabila kalian berselisih pendapat, maka bubarlah (dari majelis itu).” (Bukhari, kitab Fadhai’ Qur’an, Muslim, kitab Ilmu, LLM no:1706).
Wa’l-Lahu A’lam bi’s-Shawab.
TAFSIR AYAT POLIGAMI
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Ayat
tentang poligami dalam Al-Qur'an berbunyi :"Artinya : Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka(kawinilah) seorang saja" [An-Nisa : 3] Dan dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara stri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian" [An-Nisa : 129]
Dalam ayat yang pertama disyaratkan adil tetapi dalam ayat yang kedua ditegaskan bahwa untuk bersikap adil itu tidak mungkin. Apakah ayat yang pertama dinasakh (dihapus hukumnya) oleh ayat yang kedua yang berarti tidak boleh menikah kecuali hanya satu saja, sebab sikap adil tidak mungkin diwujudkan?
Jawaban.
Dalam dua ayat tersebut tidak ada pertentangan dan ayat yang pertama tidak dinasakh oleh ayat yang kedua, akan tetapi yang dituntut dari sikap adil adalah adil di dalam membagi giliran dan nafkah. Adapun sikap adil dalam kasih sayang dan kecenderungan hati kepada para istri itu di luar kemampuan manusia, inilah yang dimaksud dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala."Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian" [An-Nisa : 129]
Oleh sebab itu ada sebuah hadits dari Aisyah Radhiallahu 'anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah membagi giliran diantara para istrinya secara adil, lalu mengadu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam do'anya: "Artinya : Ya Allah inilah pembagian giliran yang mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yang tidak mampu aku lakukan" [Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim] [Fatawa Mar'ah. 2/62]

SIKAP ADIL BUKAN HANYA TERHADAP ANAK YATIM

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : "Sebagian orang mengatakan bahwa menikah lebih dari satu tidak dianjurkan kecuali bagi orang yang mengurusi anak yatim karena takut tidak mampu berbuat adil maka jika demikian dia boleh menikah dengan ibu anak yatim atau salah satu dari anak perempuannya. Mereka berdalih dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat" [An-Nisaa : 3] Mohon dijelaskan hakekat sebenarnya .?
Jawaban.
Pendapat tersebut batil, makna ayat yang benar adalah barangsiapa yang mengurusi anak-anak yatim, terus jika dia menikah dengan anak yatim tersebut, dia takut tidak bisa memberi mahar dengan wajar seperti wanita lain maka lebih baik menikah dengan wanita selainnya. Karena selain anak yatim masih banyak wanita yang siap menikah. Ayat tersebut memberi anjuran untuk menikah lebih dari satu baik dua, tiga atau empat, demi untuk lebih menjaga pandangan, kemaluan, kesucian dan memperbanyak keturunan serta melindungi kehormatan hidup seorang wanita. Seperdua, sepertiga atau seperempat suami lebih baik bagi wanita daripada tidak mempunyai suami sama sekali, dengan syarat suami mampu bersikap adil, dan barangsiapa yang tidak mampu berbuat adil, maka cukup satu saja dengan ditambah budak yang dimilikinya. Perintah ini dikuatkan dengan keteladanan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliau wafat dengan meninggalkan sembilan orang istri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tuladan yang baik bagimu" [Al-Ahzab : 21] Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa untuk umatnya tidak boleh menikah lebih dari empat istri, adapun lebih dari empat orang istri itu merupakan keistimewaan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam [ Fatawa Mar'ah, 2/61]
APAKAH POLIGAMI HARUS MENDAPAT IZIN DARI ISTRI PERTAMA Pertanyaan.
Lajnah Da'imah Lil Ifta ditanya : "Tidak diragukan lagi bahwa berpoligami dianjurkan di dalam Islam, akan tetapi apakah suami harus meminta izin dari istri yang pertama untuk berpoligami?"
Jawaban.
Seseorang jika ingin berpoligami tidak harus mendapat izin dari istri yang pertama, tetapi secara moral dan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, maka sebaiknya suami memberitahu hal tersebut kepada istri pertama, untuk menjaga perasaan dan memperingan sakit hatinya sesuai dengan tabi'at wanita pada umumnya, dengan ungkapan bahasa dan tutur kata yang santun serta pemberian materi jika diperlukan. [Majalatul Buhuts, 25/67] [Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah (Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 20, hal 168-170, Darul Haq]
Ada suatu buku yang bagus dan baru terbit , semoga dapat menyediakan waktunya dengan membacanya untuk menambah pengetahuannya tentang ilmu syar'i ini khususnya tentang masalah Taaddud yang dikenal dimasyarakat dengan nama Poligami. Tiada kata yang lebih membakar telinga kaum wanita, selain kata poligami alias ta addud ini. Terlebih bagi wanita yang telah bersuami. Bahkan, wanita yang hampir ketinggalan bahtera antipati terhadap poligami. Padahal dengan poligami mereka telah menyelamatkan sesama wanita Muslimah untuk dapat ikut merasakan nikmatnya mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga.  Tidak sedikit kaum wanita yang konsisten menentang poligami, walaupun  dengan
resiko harus menjadi perawan tua.  Bagi mereka " harga diri " lebih utama dari pada dimadu dan menjadi madu . Bahkan sebagian wanita lebih memilih atau membiarkan jika suaminya berselingkuh;  naudzubillah min dzolik.Mereka yang menentang poligami mengajukan berbagai alasan. Sebagian besar alasan yang mereka katakan hanyalah berdasarkan perasaan , bukan kajian secara Qur'ani dan As-Sunnah. Kenyataan yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, jumlah wanita jauh lebih banyak dari jumlah pria , tentunya akan banyak wanita yang tidak bersuami jika poligami ( taaddud ) tidak disyari'atkan Alloh Subhanahu Wa Ta'ala. Lalu, bagaimana caranya mereka melampiaskan naluri biologisnya ?? Pacaran, kumpul kebo dsb.nya. yang hal ini dengan perasaan mereka malah dianggap halal alias tidak ada masalah bagi mereka asal jangan dengan menikah resmi alias dimadu atau  menjadi madu. Buku ini membedah permasalahan poligami secara tuntas. Berdasarkan hasil penelitian ilmiah yang bisa dipertanggung jawabkan bukan berdasarkan perasaan atau dugaan.Diharapkan setelah membaca buku ini kaum wanita menyadari bahwa hukum Alloh itu adil .
Akankah kita meragukan keadilan Allah ?
Judul Buku      : ISTRIKU MENIKAHKANKU
Penulis : As-Sayyid bin Abdul As-Sa'dani
Penerbit           : Darul Falah.
Tafsir QS 49:12  DEPAG
Dalam ayat ini, Allah SWT memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman, supaya mereka menjauhkan diri dari prasangka terhadap orang-orang yang beriman dan jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka kalimat itu harus diberi tanggapan yang baik, ditujukan kepada pengertian yang baik, dan jangan sekali-kali timbul salah paham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan prasangka. Umar telah berkata yang artinya demikian:
"Jangan sekali-kali kamu menerima ucapan yang keluar dari mulut saudaramu, melainkan dengan maksud dan pengertian yang baik, sedangkan kamu sendiri menemukan arah pengertian yang baik itu."
Dan diriwayatkan dan Rasulullah saw bahwa sesungguhnya Allah mengharamkan dari orang mukmin darahnya, kehormatannya dan menyangka kepadanya dengan sangkaan yang buruk, atau dilarang berburuk sangka. Adapun orang yang secara terang-terangan berbuat maksiat, atau sering dijumpai berada di tempat orang yang biasa minum arak hingga mabuk, maka buruk sangka terhadap mereka itu tidak dilarang.
Imam Baihaqi dalam kitabnya Syu'abul Iman meriwayatkan sebuah hadis dari Said bin Musayyab sebagai berikut:
كتب إلي بعض إخواتي من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أن ضع أمر أخيك على أحسنه ما لم يأتك ما يغلبك ولا تظنن بكلمة خرجت من امرئ مسلم شرا وأنت تجد لها في الخير محملا, ومن عرض نفسه للتهم فلا يلومن إلا نفسه ومن كتم سره كانت الخيرة في يده وما كافأت من عصى الله فيك بمثل أن تطيع الله فيه وعليك بإخوان الصدق فكن في اكتسابهم فإنهم زينة في الرخاء وعدة عند عظيم البلاء ولا تتهاون بالحلف فيهينك الله تعالى ولا تسألن عما لم يكن حتى يكون ولا تضع حديثك إلا عند من تشتهيه وعليك بالصدق وإن قتلك واعتزل عدوك واحذر صديقك إلا الأمين ولا أمين إلا من خشي الله وشاور في أمرك الذين يخشون ربهم بالغيب
Artinya:
Beberapa saudaraku di antara sahabat Rasulullah saw telah menyampaikan sebuah tulisan kepadaku yang berisi beberapa petunjuk, di antaranya, "Letakkanlah urusan saudaramu di atas sangkaan yang sebaik-baiknya selagi tidak datang kepadamu yang membantah sangkaanmu itu dan jangan sekali-kali engkau memandang buruk perkataan yang pernah diucapkan oleh seorang muslim, padahal engkau menemukan tafsiran yang baik pada ucapannya itu; dan barangsiapa yang menempatkan dirinya di tempat purbasangka, maka janganlah ia mencela, kecuali kepada dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang menyembunyikan rahasianya, maka pilihan itu berada di tangannya, dan tidak engkau balas seorang yang mendurhakai Allah (pada dirimu), dengan contoh yang lebih baik ialah taat kepada Allah demi balasan itu; dan hendaklah engkau selalu bersahabat dengan orang-orang yang benar sehingga engkau berada di dalam lingkup budi pekerti yang mereka upayakan, karena mereka itu menjadi perhiasan dalam kekayaan dan menjadi perisai ketika menghadapi bahaya yang besar. Dan jangan sekali-kali meremehkan sumpah agar kamu tidak dihinakan oleh Allah SWT. Dan jangan sekali-kali bertanya tentang sesuatu yang belum ada sehingga berwujud terlebih dahulu dan jangan engkau sampaikan pembicaraan kecuali kepada orang yang mencintainya. Dan tetaplah berpegang kepada kebenaran walaupun kamu akan terbunuh olehnya. Hindarilah musuhmu dan tetaplah menaruh curiga kepada kawanmu. kecuali orang yang benar-benar sudah dapat dipercaya, dan tidak ada yang dapat dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Dan bermusyawarahlah dalam urusanmu dengan orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka dalam keadaan gaib.
Kemudian Allah menerangkan sebabnya orang-orang mukmin wajib menjauhkan diri dari purbasangka, oleh karena sebagian purbasangka itu mengandung dosa. Berburuk sangka terhadap orang mukmin adalah suatu dosa besar karena Allah nyata-nyata telah melarangnya. Selanjutnya Allah melarang kaum mukminin mencari-cari kesalahan orang lain, mencari kecemaran, dan noda orang lain.
Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadis sahih sebagai berikut:
إياكم والظن إن الظن أكذب الحديث ولا تجسسوا ولا تحسسوا ولا تناجشوا ولا تباغضوا ولا تدابروا وكونوا عباد الله إخوانا ولا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاثة أيام
Artinya:
Jauhilah olehmu berburuk sangka. sesungguhnya berburuk sangka itu termasuk perkataan yang paling dusta. Dan jangan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan buruk sangka. jangan membuat rangsangan dalam penawaran barang, jangan benci-membenci, jangan belakang-membelakangi, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidak halal bagi seorang muslim untuk mengucil saudaranya lebih dari tiga hari
Dan diriwayatkan pula oleh Abi Barzah Al Aslami, sahda Rasulullah saw:
يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوارتهم فإن من اتبع عوارتهم يتبع الله عورته ومن يتبع الله عورته يفضحه في عقر بيته
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman itu belum masuk ke dalam hatinya; jangan sekali-kali kamu bergunjing terhadap kaum muslimin, dan jangan sekali-kali mencari-cari noda atau auratnya. Karena barangsiapa yang mencari-cari noda kaum mukminin, maka Allah akan membalas pula dengan membuka noda-nodanya. Dan barangsiapa yang diketahui kesalahannya oleh Allah, niscaya Dia akan menodai kehormatannya dalam lingkungan rumahnya sendiri.
Imam Tabrani meriwayatkan sebuah hadis dari Harisah bin Nu'man:
ثلاث لازمات لأمتي: الطيرة والحسد وسوء الظن وقال رجل وما يذهبهن يا رسول الله ممن هن فيه? قال صلى الله عليه وسلم: إذا حسدت فاستغفر الله وإذا ظننت فلا تحقق وإذا تطيرت فامض
Artinya:
Ada tiga perkara yang tidak terlepas dari umatku. yaitu anggapan sial karena sesuatu ramalan, dengki dan buruk sangka. Maka bertanyalah seorang sahabat: "Ya Rasulullah saw apa yang dapat menghilangkan tiga perkara yang buruk itu dari seseorang?". Nabi menjawab: "Apabila engkau hasad (dengki), maka hendaklah engkau memohon ampun kepada Allah. Dan jika engkau mempunyai purbasangka, jangan dinyatakan, dan bilamana engkau memandang sial karena sesuatu ramalan maka lanjutkanlah tujuanmu".
Abu Qilabah meriwayatkan bahwa telah sampai berita kepada Umar bin Khattab, bahwa Abu Mihjan As Saqafi minum arak bersama-sama dengan kawan-kawannya di rumahnya. Maka pergilah Umar hingga masuk ke dalam rumahnya, tetapi tidak ada orang yang bersama Abu Mihjan itu kecuali seorang laki-laki, Abu Mihjan sendiri. Maka berkatalah Abu Mihjan: "Sesungguhnya perbuatanmu ini tidak halal bagimu karena Allah telah melarangmu dari mencari-cari kesalahan orang lain". Kemudian Umar keluar dari rumahnya.
Dan Allah melarang pula bergunjing atau mengumpat orang lain, dan yang dinamakan gibah atau bergunjing itu ialah menyebut-nyebut suatu keburukan orang lain yang tidak disukainya sedang ia tidak di tempat itu baik sebutan atau dengan isyarat, karena yang demikian itu, menyakiti orang yang diumpatnya. Dan sebutan yang menyakiti itu ada yang mengenai, keduniaan, badan, budi pekerti, harta atau anak, istri atau pembantunya, dan seterusnya yang ada hubungannya dengan dia.
Telah berkata Hasan (cucu Nabi) bahwa bergunjing itu ada tiga macam, ketiga-tiganya tersebut dalam Alquran, yaitu gibah, ifki dan buhtan. Gibah atau bergunjing, yaitu menyebut-nyebut keburukan yang ada pada saudaramu. Adapun ifki yaitu kamu menyebut-nyebut keburt tentang seseorang mengenai berita-berita yang sampai kepadamu, dan buhtan atau tuduhan yang palsu ialah bahwa engkau menyebut-nyebut kejelekan seseorang yang tidak ada padanya. Dan tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama bahwa bergunjing ini termasuk dosa besar, dan diwajibkan kepada orang yang bergunjing supaya segera bertobat kepada Allah dan minta maaf kepada orang yang bersangkutan.
Mu'awiyah bin Kurrah berkata kepada Syubah: "Jika seandainya ada seorang yang putus tangannya lewat di hadapanmu, kemudian kamu berkata 'itu si buntung', maka ucapan itu sudah termasuk bergunjing".
Allah taala mengemukakan sebuah perumpamaan supaya terhindar dari bergunjing, yaitu dengan suatu peringatan yang berbentuk pertanyaan: "Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging bangkai saudaranya?" Tentu saja kamu merasa jijik kepadanya. Oleh karena itu, jangan pula menyebut-nyebut keburukan seseorang ketika ia masih hidup. Sebagaimana kamu tidak menyukainya yang demikian itu, karena dipandang buruk juga dalam syariat.
Ali bin Husen mendengar seorang laki-laki sedang mengumpat orang lain, lalu ia berkata: "Awas kamu jangan bergunjing karena bergunjing itu sebagai lauk pauk manusia". Nabi sendiri berkhutbah pada hijjatul wada (naik haji yang penghabisan):
إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا
Artinya:
Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu haram bagimu seperti haramnya hari ini dalam bulan ini dan di negerimu ini.
Allah menyuruh kaum mukminin supaya tetap bertakwa kepada-Nya karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun terhadap orang yang bertobat dan mengakui kesalahan-kesalahannya. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang, dan tidak akan mengazab seseorang setelah ia bertobat. Bergunjing itu tidak diharamkan jika disertai dengan maksud-maksud yang baik, yang tidak bisa tercapai kecuali dengan gibah itu. dan soal-soal yang dikecualikan dan tidak diharamkan dalam bergunjing itu ada enam perkara:
1. Dalam rangka kelaliman agar supaya dapat dibela oleh seorang yang mampu menghilangkan kezaliman itu.
2. Jika dijadikan bahan untuk merubah sesuatu kemungkaran dengan menyebut-nyebut kejelekan seseorang kepada seorang penguasa yang mampu mengadakan tindakan perbaikan.
3. Di dalam mahkamah, seorang yang mengajukan perkara boleh melaporkan kepada mufti atau hakim bahwa ia telah dianiaya oleh seorang penguasa yang (sebenarnya) mampu mengadakan tindakan perbaikan.
4. Memberi peringatan kepada kaum Muslimin tentang suatu kejahatan atau bahaya yang mungkin akan mengenai seseorang; misalnya menuduh saksi-saksi tidak adil, atau memperingatkan seseorang yang akan melangsungkan pernikahan bahwa calon pengantinnya adalah seorang yang mempunyai cacat budi pekertinya, atau mempunyai penyakit yang menular.
5. Bila orang yang diumpat itu terang-terangan melakukan dosa di muka umum, seperti minum arak di hadapan khalayak ramai.
6. Mengenalkan seorang dengan sebutan yang kurang baik, seperti a'war (orang yang matanya buta sebelah) jika tidak mungkin memperkenalkannya kecuali dengan nama itu.

Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Hujuraat 12

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)

(Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa) artinya, menjerumuskan kepada dosa, jenis prasangka itu cukup banyak, antara lain ialah berburuk sangka kepada orang mukmin yang selalu berbuat baik. Orang-orang mukmin yang selalu berbuat baik itu cukup banyak, berbeda keadaannya dengan orang-orang fasik dari kalangan kaum muslimin, maka tiada dosa bila kita berburuk sangka terhadapnya menyangkut masalah keburukan yang tampak dari mereka (dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain) lafal Tajassasuu pada asalnya adalah Tatajassasuu, lalu salah satu dari kedua huruf Ta dibuang sehingga jadilah Tajassasuu, artinya janganlah kalian mencari-cari aurat dan keaiban mereka dengan cara menyelidikinya (dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain) artinya, janganlah kamu mempergunjingkan dia dengan sesuatu yang tidak diakuinya, sekalipun hal itu benar ada padanya. (Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati?) lafal Maytan dapat pula dibaca Mayyitan; maksudnya tentu saja hal ini tidak layak kalian lakukan. (Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya) maksudnya, mempergunjingkan orang semasa hidupnya sama saja artinya dengan memakan dagingnya sesudah ia mati. Kalian jelas tidak akan menyukainya, oleh karena itu janganlah kalian melakukan hal ini. (Dan bertakwalah kepada Allah) yakni takutlah akan azab-Nya bila kalian hendak mempergunjingkan orang lain, maka dari itu bertobatlah kalian dari perbuatan ini (sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat) yakni selalu menerima tobat orang-orang yang bertobat (lagi Maha Penyayang) kepada mereka yang bertobat.
Susunan ayat dan surat dalam Al Qur'an
1. Tentang susunan ayat dan surat dalam Al Qur'an
Hal tersebut diatas merupakan ijma dan juga dibuktikan dari nash-nash yang telah banyak diketahui tentang susunan ayat dalam satu surat. Masalah ini sudah dikenal dan mashur. Ijma' dari para ulama ini diriwayatkan banyak ulama diantaranya adalah Al Zarkashi dalam kitab Al Burhan dan Abu Ja'far yang berkata:
ترتيب الآيات في سورها واقع بتوقيفه صلى الله عليه وسلم وأمره من غير خلاف في هذا بين المسلمين . انتهى
Susunan ayat-ayat didalam surah-surah dibuat demikian karena berdasarkan pelajaran dari Rasulullah shalallaahu 'alaihi wassalam dan dalam masalah ini tidak ada perselisihan diantara para ulama.
Dan nash-nash tentang masalah ini diriwayatkan pula dari Imam Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, AnNasaai, Ibnu Hibban, dan Al Hakim dari Ibnu Abbas, yang berkata:
: قلت لعثمان ما حملكم على أن عمدتم إلى الأنفال وهي من المثاني والى براءة وهي من المئين فقرنتم بينهما ولم تكتبوا بينهما سطر بسم الله الرحمن الرحيم ووضعتموهما في السبع الطوال فقال عثمان كان رسول الله صلى الله عليه وسلم تنزل عليه السورة ذات العدد فكان إذا أنزل عليه الشيء دعا بعض من كان يكتب فيقول ضعوا هؤلاء الآيات في السورة التي يذكر فيها كذا وكذا وكانت الأنفال من أوائل ما نزل بالمدينة وكانت براءة من آخر القرآن نزولا وكانت قصتها شبيهة بقصتها فظنت أنها منها فقبض رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يبين لنا أنها منها فمن أجل ذلك قرنت بينهما ولم أكتب بينهما سطر بسم الله الرحمن الرحيم ووضعتها في السبع الطوال. قال الحاكم : صحيح الإسناد ووافقه الذهبي (المستدرك)(2/330)
Aku berkata kepada Utsman,"Apakah yang menyebabkan anda menaruh Al Anfaal yang merupakan Al Matsaani didekat Al Bara'ah yang bagian dari Al Mi'iin? Kenapa anda tidak menaruh baris BismillaahiRahmaaniRahiim diantara keduanya seperti anda menaruhnya diawal surat dari As Sab'ul Tiwaal (7 surah panjang)?" Utsman berkata:"Rasulullah menerima wahyu yang turun dari surat-surat dengan banyak ayat. Ketika wahyu-wahyu tersebut diturunkan, beliau memanggil juru tulis beliau dan mengatakan kepadanya.”Taruh ayat ini didalam surat ini dan yang itu.” Al Anfaal adalah salah satu surat dari surat-surat yang diturunkan di Madinah dan Al Bara’ah adalah salah satu bagian dari Qur’aan yang diturunkan terakhir.  Dan isi didalamnya adalah mirip dengan isi yang ada didalam Al Anfaal (sejarah ataupun cerita dan muatannya), sehingga itu disangka (dianggap) bagian dari surat Al Anfaal. Rasulullah telah meninggal tanpa sempat menjelaskan dimana itu seharusnya apakah bagian dari Al Anfaal atau bukan, sehingga mereka menaruhnya berdekatan satu sama lainnya, dan baris Bismillahirrahmaanirrahim tidak dituliskan diantara kedua surat tersebut, dan Al Bara’ah di taruh sebagai As Sab’ul Tiwaal (7 surat panjang)” (Di Riwayatkan dari Al Hakim yang beliau berkata Sanadnya adalah Sahih dan Ad Dhahabi setuju dengan beliau. Al Mustadrak 2/330)
Kemudian ada hadits-hadits yang menyebutkan ttg akhir surat An Nisaa, kemudian akhir surat Al Baqarah, dan masih banyak lagi.
Al Qaadi Abu Bakr berkata didalam kitab Al Intisaar:
ترتيب الآيات أمر واجب وحكم لازم فقد كان جبريل يقول ضعوا آية كذا في موضع كذا .
Susunan dari ayat-ayat adalah sesuatu yang wajib dan mengikat. Sungguh Jibril ‘Alaihi salam berkata kepada Rasulullah ,”Taruhlah ayat ini disini dan ayat itu disana”
Al Imam Al Baghawi didalam kitab Syarhus Sunnah berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يلقن أصحابه ويعلمهم ما نزل عليه من القرآن على الترتيب الذي هو الآن في مصاحفنا بتوقيف جبريل إياه على ذلك وإعلامه عند نزول كل آية أن هذه الآية تكتب عقب آية كذا في سورة كذا فثبت أن سعي الصحابة كان في جمعه في موضع واحد لا في ترتيبه فإن القرآن مكتوب في اللوح المحفوظ على هذا الترتيب أنزله الله جملة إلى السماء الدنيا ثم كان ينزله مفرّقاً عند الحاجة وترتيب النزول غير ترتيب التلاوة .
 وأما ترتيب السور فهل هو توقيفي أيضاً أو هو باجتهاد من الصحابة ؟ في هذه المسألة خلاف فجمهور العلماء على الثاني منهم مالك والقاضي أبو بكر في أحد قوليه
“Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam memerintahkan para shahabat dan mengajarkan kepada mereka tentang wahyu yang telah turun kepada beliau dari Qur’an dan menyusunnya sebagaimana yang kita lihat dalam Mushaf kita sekarang, susunan yang telah diajarkan Jibril kepada beliau. Ketika tiap ayat turun, Jibril akan memberitahukan kepada beliau, bahwa ayat ini harus ditulis setelah ayat anu dan anu didalam Surah anu dan anu.  Dan adalah jelas merupakan usaha dari para shahabat untuk menyatukan Al Qur’an dalam satu tempat (sebelumnya berceceran walaupun urutannya sudah spt yang ada sekarang) . Al Qur’an ditulis di Lauhul Mahfudz dengan susunannya, kemudian Allah mengirimkannya ke surga tingkat pertama, dan diturunkan sebagian-sebagian sesuai keperluannya, dan susunan ketika diturunkan bukan susunan ketika itu dibaca.”
Adapun susunan dari urutan nomor surat2 yang ada, Apakah ini diajarkan oleh Rasulullah ataukah merupakan Ijtihad dari para shahabat? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama, Jumhur ulama termasuk Imam Malik, Al Qaadi Abu Bakr, menurut salah satu pendapatnya adalah mengambil pendapat yang kedua. (Yaitu merupakan Ijtihaad dari para Shahabat).
Al Bayhaqi berkata didalam kitab Al Madkhil:”Pada zaman Rasulullah, Surat-surat dan ayat-ayat dari Al Qur’aan sudah dalam susunannya, kecuali Al Anfaal dan Al Bara’ah, sebagaimana yang kita lihat berdasarkan hadits Utsman diatas.”
Oleh karena itu dalam masalah ini, susunan surat2 dalam Al Qur’an adalah sebagaimana pendapat Jumhur ulama yang mengatakan bahwa itu merupakan Ijtihaad dari para shahabat, yang tentunya para shahabatpun berdasarkan kepada apa2 yang telah diajarkan oleh Rasulullah.
Wallahu ta’ala ‘alam, mudah2an ini bisa menjawab kenapa Al Fatihah disusun sebagai surat yang pertama, dst….maka jawabannya adalah sebagaimana diatas..bahwa itu sudah merupakan Ijtihaad dari para shahabat yang diajarkan oleh Rasulullah.
Wallahu ta’ala ‘alamu bishowwab.
2. Tentang orang yang berdo’a tanpa membaca al fatihah diakhir do’a apakah do’anya mengambang antara langit dan bumi ?
Sesungguhnya dalam hal ini tidak ada hadits (belum ana temukan tentang masalah al fatihahnya). Adapun kaitannya antara do’a yang mengambang itu adalah dengan Shalawat dan Tahmid, yang mana ini memang ada haditsnya. Berikut adalah beberapa hadits tentang masalah tsb.
وروى البيهقي في شعب الإيمان عن علي رضي الله عنه قال " كل دعاء محجوب حتى يصلَّى على النبي صلى الله عليه وسلم " ورواه بقي بن مخلد عن علي مرفوعا إلى النبي صلى الله عليه وسلم . والحديث صححه الألباني في صحيح الجامع برقم
Diriwayatkan dari Al Baihaqi didalam Syu’abul Iman dari Ali Radiallahu anh (Perhatikan bahwa disini ditulis Ali Radiallahu anhu bukan Karamallaahu wajhahu) berkata “Setiap do’a terhalang sehingga seseorang mengucapkan shalawat kepada Nabi Shalallaahu ‘alaihi wassalam” Dan diriwayatkan oleh Baqiy bin Mukhalid dari Ali secara marfu’ kepada Nabi Shalallaahu ‘alaihi wassalam.  (Dan hadits ini dishahihkan oleh Al Albani didalam kitab Shahihul Jami’ no. 4523)
وقال عمر رضي الله عنه : "إن الدعاء موقوف بين السماء والأرض لا يصعد منه شيء حتى تصلي على نبيك صلى الله عليه وسلم " رواه الترمذي ( 486) وحسنه الألباني في صحيح الترمذي (403).
Dan berkata Umar Radiallahu anh:”Sesungguhnya Do’a mengambang (berdiam) diantara langit dan bumi, dan tidak ada bagian yang diambil dari do’a ini (yang sampai) sehingga kamu membaca shalawat kepada Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wassalam” (DiRiwayatkan oleh At Tirmidzi 486, di hasankan oleh Al Albani didalam kitab Shahih At Tirmidzi 403)
Imam An Nawawi berkata didalam kitab Al Adzkar halaman 176:”
( أجمع العلماء على استحباب ابتداء الدعاء بالحمد لله تعالى والثناء عليه ، ثم الصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وكذلك تختم الدعاء بهما، والآثار في هذا الباب كثيرة مرفوعة ).
Para ulama telah sepakat akan mustahhabnya memulai du’a dengan membaca tahmid (pujian /Alhamdulillah) kepada Allah ta’ala dan kemudian membaca shalawat kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam. Dan diakhir do’a adalah sama dibaca. Dan banyak sekali Atsar yang marfu dalam masalah ini.
Afwan kalau tadi malam ana bilang diakhir do’a tidak perlu membaca, maka ana merujuk kepada pendapat dari Imam Nawawi diatas..bahwa yang Mustahhab adalah membaca tahmid dan shalawat diawal dan diakhir do’a.
Wallahu ta’ala ‘alamu bishowwab.
3. Tentang mengangkat tangan ketika berdo’a
Dalam masalah ini harus kita jelaskan dan dudukan permasalahannya terlebih dahulu antara shalat wajib dan juga waktu2 lainnya.  Hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a itu cukup banyak dan akan ana kutip beberapa saja.
Yang pertama hadits2 tentang Rasulullah tidak mengangkat tangan dalam berdo’a kecuali Istisqa:
عن أنس. قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يرفع يديه في الدعاء. حتى يرى بياض إبطيه.‏
Dari Anas Radhiyalahu 'anhu berkata: Aku melihat Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam mengangkat kedua tangannya didalam berdo’a (istisqa) sehingga nampak putih ketiaknya [.Shahih Muslim, kitab Istisqa'  hadits no 895].
Hadits Kedua
عن أنس ؛ أن نبي الله صلى الله عليه وسلم كان لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء.
Dari Anas Radhiyalahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berdoa dengan mengangkat tangan kecuali dalam shalat Istisqa. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa' 2/12. Shahih Muslim, kitab Istisqa' 3/24].
Penjelasan tentang kedua hadits diatas.
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa hadits tersebut tidak menafikan berdoa dengan mengangkat tangan akan tetapi menafikan sifat dan cara tertentu dalam mengangkat tangan pada saat berdoa, artinya mengangkat tangan dalam doa istisqa' memiliki cara tersendiri mungkin dengan cara mengangkat tangan tinggi-tinggi tidak seperti pada saat doa-doa yang lain yang hanya mengangkat kedua tangan sejajar dengan wajah saja
Hadits-hadits tentang keutamaan mengangkat tangan ketika berdo’a
يقول صلى الله عليه وسلم : ( إن ربكم حييّ ستير ، يستحي من عبده إذا رفع يديه إليه أن يردهما صفراً )
Dari Salman Al-Farisi Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya Tuhan kalian Maha Hidup lagi Maha Mulia, Dia malu kepada hamba-Nya yang mengankat kedua tangannya (meminta-Nya), Dia kembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapat apa-apa [Sunan Abu Daud, kitab Shalat bab Doa 2/78 No.1488, Sunan At-Tirmidzi, bab Daud].
ويقول صلى الله عليه وسلم : ( إن الله تعالى طيب لا يقبل إلا طيباً وإن الله أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين فقال تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم واشكروا لله ) البقرة / 172 ، وقال سبحانه : ( يا أيها الرسل كلوا من الطيبات واعملوا صالحاً ) المؤمنون / 51 ، ثم ذكر الرجل يطيل السفر أشعث أغبر يمد يديه إلى السماء يا رب يا رب ، ومطعمه حرام ومشربه حرام وملبسه حرام وغذي بالحرام ، فأنى يستجاب له ؟ ) رواه مسلم في صحيحه .
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sesungguhnya Allah Maha Baik tidak menerima kecuali yang baik dan
sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti memerintahkan kepada para rasul, Allah berfirman.
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu
menyembah". [Al-Baqarah : 172].
Dan firman Allah : "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [Al-Mukminuun : 51]
Kemudian beliau menyebutkan seseorang yang lusuh mengangkat kedua tangannya ke arah langit berdoa : 'Ya Rabi, ya Rabbi tetapi makanannya haram, minumannya haram dan pakaiannya haram serta darah dagingnya tumbuh dari yang haram, bagaimana doanya bisa dikabulkan .?" [Shahih Muslim, kitab Zakat 3/85-86]
Syeikh Bin Baz beliau menyebutkan bahwa dianjurkan berdo’a mengangkat tangan karena yang demikian adalah penyebab terkabulnya do’a. (lihat Majmoo’ Fataawa wa Maqaalaat li’l-Shaykh Ibn Baaz, 6/124)

Tidak dianjurkan berdoa mengangkat tangan bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya pada waktu berdoa seperti berdoa pada waktu sehabis salam dari shalat, membaca doa di antara dua sujud dan membaca doa sebelum salam dari shalat serta pada waktu berdoa dalam khutbah Jum'at dan Idul fitri, tidak pernah ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan pada waktu waktu tersebut.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah panutan kita dalam segala hal, apa yang ditinggalkan dan apa yang dilaksanakan semuanya suatu yang terbaik buat umatnya, akan tetapi jika dalam khutbah Jum'at khatib membaca doa istisqa', maka dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallah 'alaihi wa sallam. [Shahih Al-Bukhari, bab Istisqa', bab Jamaah Mengangkat Tangan Bersama Imam 2/21].
Dianjurkan mengangkat tangan dalam berdoa setelah shalat sunnah tetapi lebih baik jangan rutin melakukannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak rutin melakukan perbuatan tersebut dan seandainya demikian, maka pasti kita menemukan riwayat dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terlebih para sahabat selalu menyampaikan segala tindakan dan ucapan beliau baik dalam keadaan mukim atau safar.
Adapun hadits yang berbunyi :
"Artinya : Shalat adalah ibadah yang membutuhkan khusyu' dan berserah diri, maka angkatlah kedua tanganmu dan ucapkanlah : Ya Rabbi, ya Rabbi". [Hadits Dhaif, Fatawa Muhimmmah hal. 47-49].
Terakhir sebagai kesimpulan ttg hukum mengangkat tangan ketika berdo’a berdasarkan hadits Anas dan yang lainnya ana kutip pendapat dari Imam Al Mundziri:
Imam Al-Mundziri mengatakan bahwa jika seandainya tidak mungkin menyatukan hadits-hadits diatas, maka pendapat yang menyatakan berdoa dengan mengangkat tangan lebih mendekati kebenaran sebab banyak sekali hadits-hadits yang menetapkan mengangkat tangan dalam berdoa, seperti yang telah disebut Imam Al-Mundziri dan Imam An-Nawawi dalam Syarah Muhadzdzab dan Imam Al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad. Adapun hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari 'Amarah bin Ruwaibah bahwa dia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat tangan dalam berdoa, lalu mengingkarinya kemudian berkata : "Saya melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak lebih dari ini sambil mengisyaratkan jari telunjuknya. Imam At-Thabari meriwayatkan dari sebagian salaf bahwa disunnahkan berdoa dengan mengisyaratkan jari telunjuk. Akan tetapi hadits di atas terjadi pada saat khutbah Jum'at dan bukan berarti hadits tersebut menafikan hadits-hadits yang menganjurkan mengangkat tangan dalam berdoa. [Fathul Bari 11/146-147].
Oleh karena itu kita jangan salah dalam menerapkan dan juga jangan sampai keliru,  sebagian orang ada yang berlebihan dan tidak pernah sama sekali mau meninggalkan mengangkat tangan, dan sebagian yang lainnya tidak pernah sama sekali mengangkat tangan kecuali waktu-waktu khusus saja, serta sebagian yang lain di antara keduanya, artinya mengangkat tangan pada waktu berdoa yang memang dianjurkan dan tidak mengangkat tangan pada waktu berdoa yang tidak ada anjurannya.
Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shalallaahu ‘alaihi wassalam
Wallahu ta’ala ‘alamu bishowwab.
Terjemahan dari Kitab :
Al Fawaaid Al Majmu`ah di
Al Ahadiits Al Maudhu`ah
Karya :
Syaikul Islam
Muhammad Bin `Ali As Syaukaniy
Wafat : 1250 H.
1.      حديث : رجب شهر الله, وشعبان شهري, ورمضان شهر أمتى. فمن صام من رجب يومين. فله من الأجر ضعفان, ووزن كل ضعف مثل جبال الدنيا, ثم ذكر أجر من صام أربعة أيام, ومن صام ستة أيام, ثم سبعة أيام ثم ثمانية أيام, ثم هكذا: إلى خمسة عشر يوما منه.
Artinya : “Rajab adalah bulan Allah, Sya`ban bulan Saya (Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam), sedangkan Ramadhan bulan ummat Saya. Barang siapa berpuasa di bulan Rajab dua hari, baginya pahala dua kali lipat, timbangan setiap lipatan itu sama dengan gunung gunung yang ada di dunia, kemudian disebutkan pahala bagi orang yang berpuasa empat hari, enam hari, tujuah hari, delapan hari, dan seterusnya, sampai disebutkan ganjaran bagi orang berpuasa lima belas hari.
Hadits ini “Maudhu`” (Palsu). Dalam sanad hadits ini ada yang bernama Abu Bakar bin Al Hasan An Naqqaasy, dia perawi yang dituduh pendusta, Al Kasaaiy- rawi yang tidak dikenal (Majhul). Hadits ini juga diriwayatkan oleh pengarang Allaalaiy dari jalan Abi Sa`id Al Khudriy dengan sanad yang sama, juga Ibnu Al Jauziy nukilan dari kitab Allaalaiy.
     1.      حديث : من صام ثلاثة أيام من رجب, كتب له صيام شهر, من صام سبعة أيام من رجب, أغلق الله عنه سبعة أبواب من النار, ومن صام ثمانية أيام من رجب, فتح الله له ثمانية أبواب من الجنة, ومن صام نصف رجب حاسبه الله حسابا يسيرا.
Artinya : “Barang siapa berpuasa tiga hari di bulan Rajab, sama nilainya dia berpuasa sebulan penuh, barang siapa  berpuasa tujuh hari Allah Subhana wa Ta`ala akan menutupkan baginya tujuh pintu neraka, barang siapa berpuasa delapan hari di bulan Rajab Allah Ta`ala akan membukakan baginya delapan pintu sorga, siapapun yang berpuasa setengah dari bulan Rajab itu Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah sekali.”
Diterangkan di dalam kitab Allaalaiy setelah pengarangnya meriwayatkannya dari Abaan kemudian dari Anas secara Marfu` : Hadits ini tidak Shohih, sebab Abaan adalah perawi yang ditinggalkan, sedangkan `Amru bin Al Azhar pemalsu hadits, kemudian dia jelaskan : Dikeluarkan juga oleh Abu As Syaikh dari jalan Ibnu `Ulwaan dari Abaan, adapaun Ibnu `Ulwaan pemalsu hadits.
       2.         حديث : إن شهر رجب شهر عطيم. من صام منه يوما كتب له صوم ألف سنة – إلخ.
Artinya : “Sesungguhnya bulan Rajab adalah bulan yang mulia. Barang siapa berpuasa satu hari di bulan tersebut berarti sama nilainya dia berpuasa seribu tahun-dan seterusnya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Syaahin dari `Ali secara Marfu`. Dan dijelaskan dalam kitab Allaalaiy : Hadits ini tidak Shohih, sedangkan Haruun bin `Antarah selalu meriwayatkan hadits-hadits yang munkar.
       3.         حديث : من صام يوما من رجب, عدل صيام شهر-إلخ
Artinya : “Barang siapa yang berpuasa di bulan Rajab satu hari sama nilainya dia berpuasa sebulan penuh dan seterusnya”.
Diriwayatkan oleh Al Khathiib dari jalan Abi Dzarr Marfu`. Di sanadnya ada perawi : Al Furaat bin As Saaib, dia ini perawi yang ditinggalkan.
Berkata Al Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya “Al Amaaliy” : sepakat diriwayatkan hadist ini dari jalan Al Furaat bin As Saaib- dia ini lemah- Rusydiin bin Sa`ad, dan Al Hakim bin Marwaan, kedua perawi ini lemah juga.
Sesungguhnya Al Baihaqiy juga meriwayatkan hadits ini di kitabnya : “Syu`abul Iman” dari hadits Anas, yang artinya : “Siapapun yang berpuasa satu hari di bulan Rajab sama nilainya dia berpuasa satu tahun.” Di menyebutkan hadits yang sangat panjang, akan tetapi di sanad hadits ini juga ada perawi ; `Abdul Ghafuur Abu As Shobaah Al Anshoriy, dia ini perawi yang ditinggalkan. Berkata Ibnu Hibbaan : “Dia ini termasuk orang orang yang memalsukan hadits”.
       4.         حديث : من أحيا ليلة من رجب, وصام يوما. أطعمه الله من ثمار الجنة – إلخ.
Artinya : “Barang siapa yang menghidupkan satu malam bulan Rajab dan berpuasa di siang harinya, Allah Ta`ala akan memberinya makanan dari buah buahan sorga- dan seterusnya.”
Diriwayatkan dalam kitab Allaalaiy dari jalan Al Husain bin `Ali Marfu`: Berkata pengarang kitab : Hadits ini Maudhu` (palsu).
       5.         ديث : أكثروا من الاستغفار فى شهر رجب. فإن لله فى كل ساعة منه عتقاء من النار, وإن لله لا يدخلها إلا من صام رجب.
Artinya : “Perbanyaklah Istighfar di bulan Rajab. Sesungguhnya Allah Ta`ala membebaskan hamba hambanya setiap sa`at di bulan itu, dan Sesungguhnya Allah Ta`ala mempunyai kota kota di Jannah-Nya yang tidak akan dimasuki kecuali oleh orang yang berpuasa di bulan itu.
Dikatakan dalam “Adz dzail” : Dalam sanadnya ada rawi namanya Al Ashbagh : Tidak bisa dipercaya.
       6.         حديث : فى رجب يوم وليلة, من صام ذلك اليوم, وقام تلك الليلة. كان له من الأجر كمن صام مائة-إلخ.
Artinya : “Di bulan Rajab ada satu hari dan satu malam, siapapun yang berpuasa di hari itu, dan mendirikan malamnya. Maka sama nilainya dengan orang yang berpuasa seratus tahun dan seterusnya.
Dikatakatan dalam “Adz dzail” : Di dalam sanadnya ada nama rawi Hayyaj, dia adalah rawi yang ditinggalkan.
Dan demikian disebutkan tentang : “Berpuasa satu hari atau dua hari di bulan itu.”
Disebutkan juga dalam “Adz dzail : Sanad hadits ini penuh dengan kegelapan sebahagian atas sebahagian lainnya, di dalam sanadnya ada perawi perawi yang pendusta : Dan demikian diriwayatkan : “Bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam berkhutbah pada hari jum`at sepekan sebelum bulan Rajab. Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam berkata : “Hai sekalian manusia! Sesungguhnya akan datang kepada kalian satu bulan yang mulia. Rajab bulan adalah bulan Allah yang Mulian, dilipat gandakan kebaikan di dalamnya, do`a do`a dikabulkan, kesusahan kesusahan akan di hilangkan.” Ini adalah Hadist yang Munkar.
Dan dalam hadits yang lain : “Barang siapa berpuasa satu hari di bulan Rajab, dan mendirikan satu malam dari malam malamnya, maka Allah Tabaraka wa Ta`ala akan membangkitkannya dalam keadaan aman nanti di hari Kiamat- dan seterusnya.”
Di dalam sanad hadits ini : Kadzaabun (para perawi pendusta).
Demikian juga hadits : “Barang siapa yang menghidupkan satu malam di bulan Rajab, dan berpuasa disiang harinya: Allah akan memberikan makanan buatnya buah buahan dari Sorga- dan seterusnya.”
Di dalam sanadnya : Para perawi pembohong/pemalsu hadits.
Demikian juga hadits : “Rajab bulan Allah yang Mulia, dimana Allah mengkhususkan bulan itu buat diri-Nya. Maka barang siapa yang berpuasa satu hari di bulan itu dengan penuh keimanan dan mengharapkan Ridho Allah, dia akan dimasukan ke dalam Jannah Allah Ta`ala- dan seterusnya.”
Di dalam sanadnya : Para perawi yang ditinggalkan.
Demikian juga hadits : “Rajab bulan Allah, Sya`ban bulan Saya (Rasulullahu Shollallahu `alaihi wa Sallam, Ramadhan bulan ummat Saya.” Demikian juga hadits : “Keutamaan bulan Rajab di atas bulan bulan lainnya ialah : seperti keutamaan Al Quran atas seluruh perkataan perkataan lainnya- dan seterusnya.”
Berkata Al Imam Ibnu Hajar : Hadits ini Palsu.
Berkata `Ali bin Ibraahim Al `Atthor dalam satu risalahnya : “Sesungguhnya apa apa yang diriwayatkan tentang keutamaan tentang puasa di bulan Rajab, seluruhnya Palsu dan Lemah yang tidak ada ashol sama sekali. Berkata dia : “`Abdullah Al Anshoriy tidak pernah puasa di bulan Rajab, dan dia melarangnya, kemudian berkata : “Tidak ada yang shohih dari Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam satupun hadist mengenai keutamaan bulan Rajab.” Kemudian dia berkata : Dan demikian juga : “Tentang amalan amalan yang dikerjakan pada bulan ini : Seperti mengeluarkan Zakat di dalam bulan Rajab tidak di bulan lainnya.” Ini tidak ada ashol sama sekali.
Dan demikian juga, “dimana penduduk Makkah memperbanyak `Umrah  di bulan ini tidak seperti bulan lainnya.” Ini tidak ada asal sama sekali sepanjang pengetahuan saya. Dia berkata : “Diantara yang diada adakan oleh orang yang `awwam ialah : “Berpuasa di awal kamis di bulan Rajab,” yang keseluruhannya ini adalah : Bid`ah.
Dan diantara yang mereka ada adakan juga di bulan Rajab dan Sya`ban ialah : “Mereka memperbanyak ketho`atan kepada Allah melebihi dari bulan bulan lainnya.”
Adapun yang diriwayatkan tentang : “Bahwa Allah Ta`ala memerintahkan Nabi Nuh `Alaihi wa Sallam untuk membuat kapalnya di bulan Rajab ini, serta diperintahkan kamu Mu`minin yang bersama dia untuk berpuasa di bulan ini.” Ini Hadits Maudhu` (Palsu).
Diantara bid`ah bid`ah yang menyebar di bulan ini adalah :
Sholat Ar Raghaaib.
Sholat Ar Raghaaib ini diamalkan disetiap awal jum`at di bulan Rajab.
Ketahuilah semoga Allah Tabaraka wa Ta`ala merahmatimu- bahwa mengagungkan hari ini, malam ini sesungguhnya diadakan ke dalam Din Islam ini setelah abad ke empat Hijriyah. (Lihat literatur berikut ini tentang bid`ahnya sholat Raghaib :
1.                  “Iqtida` As Shiratul Mustaqim” : hal.283. Dan “Tulisan Ilmiyah diantara dua orang Imam ; Al `Izz bin `Abdus Salam dan Ibnu As Sholah sekitar Sholat Raghaaib.”
2.                  “Al Ba`itsu `Ala Inkari Al Bida` wa Al Hawaadist” : hal. 39 dan seterusnya.
3.                 “Al Madkhal”  oleh Ibnu Al Haaj : 1/293.
4.                 “As Sunan wal Mubtadi`aat” : hal. 140.
5.                  “Tabyiinul `Ujab bima warada fi Fadhli Rajab” : hal. 47.
6.                  “Fataawa An Nawawiy” : hal. 26.
7.                  “Majmu` Al Fataawa oleh Ibnu Taimiyah”  : 2/2.
8.                  “Al Maudhuu`aat” : 2/124.
9.                  “Allaalaaiy Al mashnu`ah” : 2/57.
10.              “Tanzihus Syari`ah” : 2/92.
11.              “Al Mughni `anil Hifdzi wal Kitab” : hall. 297- serta bantahannya : Jannatul Murtaab.
12.              “Safarus Sa`adah” : hal. 150.
Sepakat `Ulama tentang hadits-hadits yang diriwayatkan mengenai keutamaan bulan Rajab adalah palsu, sesungguhnya telah diterangkan oleh sekelompok Al Muhaditsin tentang palsunya hadits sholat Ar Raghaaib diantara mereka ialah : Al Haafidz Ibnu hajar, Adz Dzahabiy, Al `Iraaqiy, Ibnu Al Jauziy, Ibnu Taimiyah, An Nawawiy dan As Sayuthiy dan selain dari mereka. Kandungan dari hadits-hadits yang palsu itu ialah mengenai keutamaan berpuasa pada hari itu, mendirikan malamnya, dinamakan “sholat Ar Raghaaib,” para ahli Tahqiiq dikalangan ahli ilmu telah melarang mengkhususkan hari tersebut untuk berpuasa, atau mendirikan malamnya  melaksanakan sholat dengan cara yang bid`ah ini, demikian juga pengagungan hari tersebut dengan cara membuat makanan makanan yang enak enak, mengishtiharkan bentuk bentuk yang indah indah dan selain yang demikian, dengan tujuan bahwa hari ini lebih utama dari hari hari yang lainnya.
  
Sholat Ummu Daawud dipertengahan bulan Rajab.
Demikian juga hari terakhir dipertengahan bulan Rajab, dilaksanakan sholat yang dinamakan sholat “Ummu Daawud” ini juga tidak ada asholnya sama sekali. “Iqtidaus Shiraatul Mustaqim” : hal. 293.
Berkata Al Imam Al hafidz Abu Al Khatthaab : “Adapun sholat Ar Raghaaib, yang dituduh sebagai pemalsu hadits ini ialah : `Ali bin `Abdullah bin jahdham, dia memalsukan hadits ini dengan menampilkan rawi rawi yang tidak dikenal, tidak terdapat diseluruh kitab.”  Pembahasan Abu Al Khatthaab ini terdapat dalam :
 “Al Baa`its `Ala Inkaril Bida` wal Ahadist” : hal. 40.
Abul Hasan : `Ali bin `Abdullah bin Al Hasan bin Jahdham, As Shufiy, pengarang kitab : “Bahjatul Asraar fit Tashauf”.
Berkata Abul Fadhal bin Khairuun : Dia pendusta. Berkata selainnya : Dia dituduh sebagai pemalsu hadits sholat Ar Raghaaib. 
Lihat terjemahannya dalam : “Al `Ibir fi Khabar min Ghubar.” : (3/116), “Al Mizan” : (3/142), “Al Lisaan” : (4/238), “Maraatul Jinaan” (3/28), “Al Muntadzim” : (8/14), “Al `Aqduts Tsamiin” : (6/179).
Asal daripada sholat ini sebagaimana diceritakan oleh : At Thurthuusyiy dalam “kitabnya” : “Telah mengkhabarkan kepada saya Abu Muhammad Al Maqdisiy, berkata Abu Syaamah dalam “Al Baa`its” : hal. 33 : “Saya berkata : Abu Muhammad ini perkiraan saya adalah `Abdul `Aziz bin Ahmad bin `Abdu `Umar bin Ibraahim Al Maqdisiy, telah meriwayatkan darinya Makkiy bin `Abdus Salam Ar Rumailiy As Syahiid, disifatkan dia sebagai As Syaikh yang dipercaya, Allahu A`lam.”  Berkata dia: tidak pernah sama sekali dikalangan kami di Baitul Maqdis ini diamalkan sholat Ar Raghaaib, yaitu sholat yang dilaksanakan di bulan Rajab dan Sya`ban. Inilah bid`ah yang pertama kali muncul di sisi kami pada tahun 448 H, dimana ketika itu datang ke tempat kami di Baitil Maqdis seorang laki laki dari Naabilis dikenal dengan nama Ibnu Abil Hamraa`, suaranya sangat bagus sekali dalam membaca Al Quran, pada malam pertengahan (malam keenam belas) di bulan Sya`ban dia mendirikan sholat di Al Masjidil Aqsha dan sholat di belakangnya satu orang, lalu bergabung dengan orang ketiga dan keempat, tidaklah dia menamatkan bacaan Al Quran kecuali telah sholat bersamanya jama`ah yang banyak sekali, kemudian pada tahun selanjutnya, banyak sekali manusia sholat bersamanya, setelah itu menyebarlah di sekitar Al Masjidil Aqsha sholat tersebut, terus menyebar dan masuk ke rumah rumah manusia lainnya, kemudian tetaplah pada zaman itu dimalkan sholat tersebut yang seolah olah sudah menjadi satu sunnah di kalangan masyarakat sampai pada hari kita ini. Dikatakan kepada laki laki yang pertama kali mengada adakan sholat itu setelah dia meninggalkannya, sesungguhnya kami melihat kamu mendirikan sholat ini dengan jama`ah. Dia menjawab dengan mudah : “Saya akan minta ampun kepada Allah Ta`ala.”
Kemudian berkata Abu Syaamah : “Adapun sholat Rajab, tidak muncul di sisi kami di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun 480 H, kami tidak pernah melihat dan mendengarnya sebelum ini.” (Al Baa`itsu : hal. 32-33).
Fatwa Ibnu As Sholaah tentang sholat Ar Raghaaib, Malam Nishfu Sya`ban
Dan Sholat Al Alfiah.
Sesungguhnya As Syaikh Taqiyuddin Ibnu As Sholaah rahimahullah Ta`ala pernah dimintai fatwa tentang hal ini, lalu beliau menjawab :
“Adapun tentang sholat yang dikenal dengan sholat Ar Raghaaib adalah bid`ah, hadits yang diriwayatkan tentangnya adalah palsu, dan tidaklah sholat ini dikenal kecuali setelah tahun 400 H, tidak ada keutamaan malamnya dari malam malam yang lainnya,  
 



0 komentar:

About this blog

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Cilegon, Banten, Indonesia
Mafia Gangster of Ortega. I'm killing machine or kill of bill for any bodies to need of my privacy and free payment for the name of love! Please,contact me immediately if you find something wrong in your live.And I will do it to act without regret and disappoint.

Cari Blog Ini